Goyang Inul Lunturkan Daya Spiritual

Oleh Muthmainnah

Heboh soal Inul Daratista, si goyang “ngebor” asal Pasuruan, Jawa Timur, belum juga usai. Dia dicekal pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang didukung Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. Sementara menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, tak akan banyak berarti jika kita hanya meributkan goyangan Inul namun membiarkan penonjolan erotisme di Tanah Air. Hal senada dikemukakan Ketua Umum Pucuk Pimpinan Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa yang menyatakan persoalan pornografi dan pornoaksi di Indonesia lebih dari sekadar Inul.



Berdendangria dengan angle extreme close up kamera pada organ tubuh wanita seperti pusar, payudara, dan pantat, bukan saja melecehkan jender ini, tetapi sekaligus menyinggung rasa susila masyarakat akibat goyangannya yang ekstrapanas. Itu bisa menggoyang iman pemirsanya. Katarsis kebirahian yang berhimpitan dengan kecabulan ini dalam dunia penyiaran dinamakan broadcastobscenity. Mengumbarnya secara visual lewat televisi power, jelas menjerumuskan tatanan nilai kepribadian bangsa. Budaya entertainer top di atas panggung Inul biasa “menyeret” seorang pria untuk dijadikan pasangan bergoyang dan menampilkan gerakan yang sangat beraroma seks.

Karena itulah Inul kian merangsang untuk ditonton. Bahkan salah satu foto penampilannya dengan suami orang paling penting di negeri ini telah pula menjadi isu komoditas politik. Lepas dari itu, kehadiran Inul dan pencekalannya menjelaskan bagaimana sesungguhnya bangsa ini hidup dalam psiko-kultural yang benar-benar semu. Inul seakan-akan begitu besar, sehingga ia bisa mengancam perkembangan mentalitas bangsa ini. Sebab itu, berbagai organisasi wanita, ormas dan institusi dari kaum ulama, terutama di Jawa Timur, merasa tak cukup hanya dengan protes dan mengecam penampilan Inul. Bahkan mereka pun mengeluarkan larangan penampilannya di beberapa kota.

Eksploitasi Seksual

Fenomena erotisme sudah sejak lama hadir. Sejak era reformasi, erotisme media justru seakan-akan menjandi tontonan yang lumrah. Entah lumrah karena kiblat dan ukuran kita yang ke-Barat-baratan atau lumrah karena masyarakat kita senang “menikmatinya” dan menarik untuk dipasarkan. Yang jelas, erotisme belakangan menjadi mainstream pemasaran media melalui goyangan dangdut ala Inul, sinetron atau telenovela Amerika Latin yang “terlalu” berani memamerkan aurat.

Perkembangan masyarakat kapitalisme global abad ke-21 ini ditandai oleh dua logika. Yaitu logika pelepasan nafsu (libido) dan logika kecepatan, yang kedua-duanya sangat potensial bagi kebangkrutan sosial. Kapitalisme global tidak lagi berkaitan dengan ekspansi kapital, teritorial dan pasar, tetapi kini lebih berkaitan dengan ekspansi arus libido dan perkembangan getaran nafsu (Yasraf Amir Piliang, 1998). Perputaran ekonomi pasar bebas melegitimasi perputaran dan pelepasan nafsu ini secara bebas. Atau, sebaliknya, logika hawa nafsu menjadi paradigma dari berlangsungnya ekonomi pasar bebas.

Dua logika itu ternyata menghasilkan beberapa perubahan mendasar yang meresapi dan mengkontaminasi berbagai bentuk wacana, baik dalam skala lokal, regional maupun global. Kini, berbagai wacana tengah berada dalam keadaan krisis identitas. Wacana-wacana tersebut tidak mampu lagi mempertahankan struktur alamiah dan normatifnya sebagai akibat dari berbagai kontaminasi yang mengelilinginya. Tidaklah mengherankan, jika yang mengalir secara lokal-regional antardaerah di Indonesia adalah sabu-sabu dan show dangdut kampungan yang di-CD-kan secara amatiran.

Dalam pada itu, di dalam masyarakat kapitalisme global terakhir ini terjadi upaya-upaya yang terus-menerus untuk memaksimalkan diskursus seksualitas: mencari bentuk, gaya, kombinasi, teknologi, teknik dan media yang serba baru. Ada upaya untuk menjadikannya transparan: tanpa rahasia, pembatas, bungkus dan rasa malu. Juga ada upaya untuk mengedepankan komersialisasinya: komodifikasi tubuh, penampilan dan kegairahan. Dan, ada pula upaya untuk menularkannya ke dalam diskursus lain: seksualitas ekonomi, politik dan media. Upaya-upaya inilah yang kemudian menghasilkan beberapa efek pelipatgandaan dan intensifikasi energi libido, serta reorientasi dan modifikasi arus hawa nafsu.

Begitulah, apapun yang berkaitan dengan seks -- kegiatan, tindakan dan kejadian seksual -- ditulis, direkam, difoto, di-shooting, dicetak, dibukukan, divideokan, difilmkan, dinanti dan disanjung. Sebaliknya, apapun di luar seks kini diseksualitaskan. Lihat saja, iklan mobil dilatar-depani wanita seksi yang menantang, pameran produk kerajinan di daerah (mesti) dijaga oleh seorang wanita cantik berpenampilan seksi, kampanye politik didampingi para model bertubuh semampai, dan pertandingan olahraga pun kurang meriah tanpa wanita penyorak.

Eksploitasi seksual pada penyanyi dangdut memang jauh lebih besar dibanding yang lain. Tak disangsikan bahwa genre dangdut memang memiliki pendukung dan cakupan wilayah yang lebih luas, dan gebrakan ini memiliki dampak yang cukup kuat pula. Bahkan, getarannya bisa dirasakan sampai lapisan elite di Jakarta. Justru di sinilah peran kota besar dengan “pangsa pasar” yang butuh sensasi akan “petualangan” energi kasar yang dimiliki para pendukung eksistensinya. Kebutuhan sesaat ini telah dimanfaatkan banyak orang yang punya naluri bisnis untuk menggaetnya, sekaligus mengiming-imingi pelakunya (Inul) dengan berbagai pemenuhan selera hedonisme yang memuaskan kenikmatan jasmani dengan segala cara.

Pelecehan moral

Goyang Inul yang menjadi fenomena sosial telah mengusik etika agama karena terkesan berlebihan dalam mengeksploitasi liuk-lekuk tubuh. Berangkat dari fenomena seksualitas yang berkembang secara cepat dan bebas dalam masyarakat global, kita harus menanggung berbagai efek negatif yang merusak moral dan mentalitas bangsa. Sebab, kebebasan seksual dan erotisme media pada dasarnya telah mendekonstruksi nilai-nilai luhur secara besar-besaran, seperti tabu, moral, dan spiritualitas. Di balik gejolak paradigma libidonomics, scientica sexualis, erotika yang berlapis-lapis dan pengeksposan tubuh melalui citraan-citraan media yang tanpa bungkus secara memadai, menyebabkan lenyapnya aura sebatang tubuh. Tubuh telah menjadi tanda dalam satu proses penandaan media.

Dari sinilah dimulainya krisis dan kontradiksi moral dalam masyarakat informasi. Bahkan kasus pornoaksi Inul bisa disigmatisasi sebagai pelecehan moral. Tidak mengherankan, jika perkosaan terjadi setelah menyaksikan video porno bersama-sama. Masyarakat kontemporer kehilangan rasa malu di dalam dirinya. Bagian-bagian tubuh sensitif tanpa bungkus yang memadai di televisi malah bisa “menggoda” seorang kiai yang sedang membaca kitab kuning. Melunturnya daya spiritual menyebabkan semakin merosotnya rasa keagungan nama Tuhan itu sendiri. Seorang artis di televisi, misalnya, bisa berkata dengan ringan: “Tuhan pasti sayang sama gue deh, soalnya Dia ngasih apa saja yang gue mau,” tanpa terbetik sedikit pun rasa tentang kesucian dan keagungan Tuhan serta nilai-nilai spiritual.

Oleh karena itu, kita berharap institusi terkait seperti provider, pemilik modal, pemilik rumah produksi, Lembaga Sensor Film, Lembaga Informasi Nasional, dan Polri dapat melakukan kontrol dan secara tegas menegakkan hukum bagi pelanggaran-pelanggaran pornografi dan pornoaksi. Kalau perlu harus dibentuk satuan tugas tentang pornografi dan pornoaksi serta diperjelas batasan tentang kedua hal tersebut. Jika kita perhatikan, definisi tentang pornografi dan pornoaksi saat ini masih terlalu sederhana. Misalnya, penampilan artis baru dianggap porno jika sudah tidak mengenakan pakaian apa pun, sehingga jika masih ada kain yang menempel, meski sangat minim, dianggap tidak porno.

Sebab itu, pelecehan moral yang kian berkembang lewat pornoaksi di media dalam masyarakat kita dewasa ini seharusnya mendapat penanganan serius, terutama dari semua kalangan yang berkompeten, agar kehancuran moral bangsa kita tidak sampai meluncur ke titik nadir, sehingga bangsa ini tidak hanyut dalam krisis moral yang berkepanjangan. Goyang dangdut yang terkesan dan menjurus kepada pornoaksi di panggung, jelas jauh lebih besar efek rangsangan seksualnya terhadap para pemirsa dibanding yang terpambang gambarnya di surat kabar maupun tabloid/ majalah. Lebih-lebih, goyang dangdut ala Inul diperagakan langsung di depan publik dengan mayoritas dari penonton ABG yang selalu rentan terhadap dorongan-dorongan seksual yang cepat atau lambat imbasnya akan menyebabkan mereka kehilangan rasa malu serta terjadinya degradasi keimanan, sehingga mudah terjerumus pada perbuatan-perbuatan asusila. Kehilangan rasa malu seiring dengan goyangnya keimanan di kalangan elite politik dan elite kekuasaan juga telah ikut menyebabkan mereka melakukan tindak pidana KKN. []

(Penulis adalah alumnus Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta).

Suara Karya, Rabu, 5 Maret 2003

0 tanggapan: