Melihat Sisa Peradaban Majapahit di Dusun Beteng, Sidomekar, Semboro, Jember

Diyakini Berasal dari Benteng Pertahanan Brawijaya V

Bisa jadi tak banyak yang tahu bahwa kemajuan peradaban Majapahit juga meninggalkan sisa di Jember, tepatnya di Dusun Beteng, Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, Jember. Seperti apa jejak sejarah kerajaan yang disebut-sebut pernah menyatukan Nusantara itu?



DI sebuah pelataran luas itu, dua pohon beringin besar seolah tertancap kokoh. Di bawahnya, fondasi dengan batu bata besar membujur ke segala arah. Di ujung pelataran tersebut, terlihat sebuah rumah sederhana. Di bagian dinding rumah itu masih tegak berdiri batu bata dengan ukuran sangat besar. Siapa pun tentu mafhum bahwa pelataran itu merupakan komplek peninggalan sejarah.

"Daerah ini disebut Beteng (benteng, Red). Dan, dari sini nama Dusun Beteng, Desa Sidomekar, Kecamatan Semboro, berasal. Tapi, ini beteng dari kerajaan apa, saya sendiri tidak tahu," kata Gito, salah seorang warga setempat.

Wajar saja banyak warga yang tidak tahu. Sebab, kondisinya saat ini tidak menggambarkan sebuah bangunan benteng pertahanan. Di areal itu hanya terdapat pohon-pohon besar dari sebuah rumah yang ditempati Ngadulgani, seorang lelaki tua. "Pak Ngadulgani ini menjadi juru kunci wilayah ini. Dia yang tahu banyak tentang lokasi ini," kata Gito memperkenalkan juru kuci saat Erje berkunjung ke lokasi tersebut.

Setelah berbincang-bincang, Ngadulgani akhirnya membuka rahasia tempat itu. Menurutnya, dia sendiri sebagai penerus dari pendahulunya, yakni Mat Salam, yang juga ayah kandung Ngadulgani.

Menurut Ngadulgani, sang juru kunci, daerah itu disebut dengan Beteng. "Ini sisa kejayaan Kerajaan Majapahit. Beteng dalam bahasa Jawa atau benteng dalam bahasa Indonesia ini dibangun oleh Raja Kertabumi atau terkenal dengan sebutan Brawijaya V," papar pria sepuh yang umurnya sudah mencapai 65 tahun ini.

Konon, kata dia, kala itu Majapahit diserang oleh kerajaan Demak. Penyerangan itu dipimpin Raden Patah yang juga masih anak turun Raden Brawijaya V. Setelah kerajaan Majapahit berhasil dikalahkan, Raja Brawijaya dan seluruh pasukannya lari ke Tengger.

Raden patah belum puas dan nekat mengejar Brawijaya sampai ke Tengger. Terus terdesak, Brawijaya lari ke arah timur dan akhirnya masuk ke Jember dan menemukan daerah lapang di daerah ini. Kemudian dia mendirikan benteng pertahanan.

Selama di tempat tersebut yang tidak lain adalah asal muasal Dusun Beteng, Brawijaya membangun peradababan baru. Dia juga menciptakan sebuah kota yang akhirnya diberi nama Kedawung, yang sekarang menjadi nama sebuah dusun di sebelah utara Dusun Beteng. "Lokasinya tak jauh dari beteng ini. Dan dulunya berfungsi sebagai pasar," kata Ngadulgani.

Keberadaan benteng ini kian ramai hingga terdengar oleh pasukan Raden Patah. Pengejaran dilakukan. Namun Brawijaya terus berlari hingga masuk ke Blambangan, Banyuwangi. "Seluruh peralatan dan beberapa benda pusaka pun ditinggal di sini. Termasuk bendera merah putih dan bangunan beteng ini," katanya.

Akibat kalah perang, lokasi ini ditinggal begitu saja. Banyak barang-barang warisan sejarah yang ditinggalkan rombongan Brawijaya V. "Saya berhasil mengamankan barang yang ada. Namun semua berbentuk batu yang gunanya untuk peralatan membuat ramuan jamu," katanya.

Kemudian Ngadulgani mengajak ke sebuah bilik di rumahnya. Di tempat yang kecil itu terdapat banyak peralatan dari batu. Seperti lumpang (alat penumbuk, Red), batu pipisan, gerusan, bengkok (alat pembuat jamu, Red) dan serpihan keramik. "Sebetulnya banyak peninggalan. Namun banyak juga diambil orang. Yang ada di sini tinggal sisanya," katanya.

Sisa benteng pertahanan itu, sambung dia, sempat tidak terurus. Setelah itu, benteng kembali ditemukan pada 1908 oleh Mat Salam, seorang warga Pagerwojo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.

Kedatangan Mat Salam ke lokasi itu sebetulnya bukan untuk mencari situs sejarah Majapahit. Namun dia nyantrik (berguru, Red) ke Markonah, warga Semboro. "Saat itu Markonah tengah menikahkan anaknya. Dan Mat Salam di suruh mencari kayu bakar. Di daerah ini masih hutan," paparnya.

Karena di dalam hutan tidak ada kayu yang kering, Mat Salam pun mencari lebih jauh lagi. Sampai kemudian dia menemukan hamparan lahan seluas 2 hektare. Dan di tengah hamparan itu ada sebuah gundukan tanah setinggi 2,5 meter yang tidak lain adalah sisa benteng pertahanan tersebut.

Kemudian di dalam gundukan itu terdapat bangunan yang temboknya memiliki tebal 20 cm. Bahan yang digunakan sebagai tembok dari batu bata dengan ukuran 30-55 cm. "Dan batu bata itu masih banyak yang utuh. Lihat di dinding rumah itu," katanya sambil menunjuk bukti batu bata sisa situs Majapahit.

Mat Salam pun akhirnya menjadikan tempat itu sebagai lokasi peristirahatan. Dan, masih cerita Ngadulgani, dia sering menjumpai peristiwa aneh di luar akal manusia. Kemudian setahun kemudian Mat Salam menjadikan lokasi itu sebagi tempat ritual larung sukerto (penyucian benda pusaka di situs Majapahit, Red).

Seiring dengan perkembangan, lokasi itu dibersihkan. Dan sangat jelas bahwa lokasi itu merupakan benteng pertahanan. "Dahulu ada tembok keliling," katanya.

Namun bangunan itu rusak setelah peristiwa 1968. Bangunan itu dihancurkan oleh gerakan yang dimotori para mahasiswa. Bahkan, patung Siwa yang ada di tengah lokasi itu diambil dan dibuang ke Sungai Menampu.

Sejak itu bangunan tersebut rusak dan tidak terurus. Banyak barang-barang sejarah hilang entah ke mana. "Sampai saat ini lahan beteng terus berkurang oleh bangunan-bangunan yang ada di sebelahnya," katanya.

Dari tempat itu, banyak ditemukan benda-benda bersejarah warisan dari Majapahit. Seperti tombak yang berdiri dengan sudut 45 derajat yang kala itu ditemukan Sukadi tahun 1956. Kemudian keris lekuk sembilan ditemukan Mat Salam pada 1958, batu lempeng yang ditemukan berjarak 500 meter dari lokasi pada 1961.

Selain itu, lumpang ukuran besar ditemukan 150 meter dari pusat situs pada 1991, 1992, dan 1994. Dan, pada 1995 ditemukan batu akik warna merah. Selain itu beberapa kotak, uang logam mata uang China.

Bahkan dari informasi di lokasi tersebut masih tersimpan beberapa senjata pusaka. Di antaranya pedang Kongkam Pamor Kencono yang menjadi senjata Brawijaya V, bendera Merah Putih sebagai simbol kejayaan Majapahit, mahkota raja, Bokor Kencono, dan beberapa peti senjata.

"Namun sampai saat ini benda itu di mana banyak orang yang tidak tahu. Yang jelas ini semua peninggalan Majapahit. Itu terlihat ada kesamaan dari peningggalan yang ada di Trowulan, Mojokerto," kata Ngadulgani.

Selain itu dari bentuk prakiraan bangunan, semua mirip dengan arsitek khas Majapahit. Di dalam beteng itu, terdapat tempat pemujaan, podium, gapura, dan kebun kelapa. Dan ciri yang tidak bisa hilang adalah kelapa bercabang dua dan tiga. "Jika dijumlah, hasilnya lima dan itu merupakan Bhineka Tunggal Ika yang disimbolkan dengan Pancasila. Ini sudah ada sejak zaman Majapahit," ujar Ngadulgani dengan gaya yang meyakinkan.

Meski hanya sebatas pelataran, namun sampai saat ini daerah tersebut masih banyak dikunjungi orang. Mereka ada yang berasal dari Wonogiri Jawa Tengah, Surabaya, Semarang, bahkan Bali. Tidak lain yang dilakukan para "peziarah" itu adalah melakukan ritual. [BARID ISHOM, Jember]

Radar Jember, Jumat, 28 Mar 2008

1 tanggapan:

Memang dari omongan orang-orang sekitar Beteng, dulu disitu daerah pertahanan Ratu Majapahit dari serangan orang-orang Blambangan, bangsane kebo marcuet. Disitu doeloe Batu Batanya Tebal dan ukuran Besar.