Wahyu Trisno Budoyo, Grup Ketoprak Lansia dari Nganjuk

Bila Sudah Manggung, Pemain Pun Lupa Utang

IKA MARIANA, Nganjuk

Usia tua tak mengendurkan semangat berkesenian orang-orang ini. Impitan ekonomi pun tak mengurangi antusias mereka. Latihan dan pentas pun menggunakan gamelan pinjaman. Bila diminta pemiliknya, mereka terpaksa berlatih tanpa iringan suara gamelan.



Siang itu, beberapa orang bekrumpul di rumah sederhana yang ada di RT 02 RW 04 Kelurahan Kertoraharjo, Kecamatan Nganjuk. Rata-rata berusia di atas empat puluh tahun.

Mereka adalah anggota kelompok ketoprak Wahyu Trisno Budoyo. Kelompok ketoprak yang bernaung di Karang Werda Ngudi Mukti. Saat itu, kelompok ketoprak tersebut tengah berkumpul di rumah Gendut Sudarman, yang juga penggagas kelompok seni tersebut.

Empat tahun silam, Gendut mendapat tawaran tampil di panggung seni Agustusan. Kebetulan Gendut punya latar belakang sebagai pemain wayang orang. Dia pun mengajak beberapa tetangganya yang berbadan gemuk. Yang diminta untuk menari gambyong.

Ternyata, yang datang puluhan orang. "Ada 27 warga sini yang ingin tampil, saya yang jadi bingung," kenang Gendut sambil menahan tawa.

Bersama Sukarniati, istrinya yang juga mantan pemain wayang orang, keduanya membuat fragmen seni rakyat. Dan sukses! Dari situlah awal mereka terlibat dalam kesenian ketoprak. Di antara penonton terdapat orang dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Nganjuk. Selesai pentas, Gendut pun didatangi orang tersebut dan diminta agar terus mengembangkan kelompok ketopraknya.

Akhirnya, 13 September 2004 dipilih sebagai hari lahir kelompok tersebut. Dibimbing ketua RW, kelompok ini mulai berlatih. Anggotanya lansia yang sebenarnya tak punya latar belakang seni. Dengan pekerjaan yang beragam. Mulai PNS, penjual cenil, tukang becak, pemilik warung, hingga ibu rumah tangga. Kemudian, mereka mengembangkan latihan karawitan sebagai pengiring. Saat ini, jumlah anggota ketoprak 30 orang dan pengrawitnya 13 orang. "Kami biasa latihan bersama menjelang pentas, yang main ketoprak dan pengrawit," tutur pria 57 tahun yang masih tampak bugar tersebut.

Sayang, sampai sekarang kelompok ini tak punya perangkat gamelan. Tapi, mereka tetap semangat. Latihan di rumah Gendut berlangsung dengan gamelan pinjaman. "Biasanya pinjem ke dinas pariwisata, pernah juga pinjem punya koperasi guru Guyub Rukun," sahut sang istri.

Sayangnya, jika gamelan diminta pemiliknya mereka harus segera mengembalikan. Akibatnya, latihan terpaksa tanpa menggunakan iringan gamelan. "Sekarang ini kami dipinjami dispora. Tapi latihannya harus di sana," lanjut perempuan yang juga guru taman kanak-kanak ini.

Kerja keras mereka tak sia-sia. Undangan tampil tak terbatas pada panggung Agustusan. Tapi juga saat hari jadi Nganjuk, tahun baru, atau tampil bareng dengan grup ketoprak luar kota. Pada 2006 misalnya, mereka pentas bareng dengan ketoprak dari Kudus, Semarang, Blitar, dan Kediri.

Selain itu, beberapa lomba sudah diikuti. Hasilnya, juara harapan I pada lomba Karang Werda 2006 se-Jatim mereka raih. Juga, pada 2007, mereka jadi penyaji terbaik dalam lomba Acara Adat Tradisi Nyadranan di Nganjuk.

Bagi anggota kelompok ini, bisa manggung saja sudah suatu kehormatan. Kalau perlu, tak dibayar pun mau. "Diberi makan saja sudah seneng sekali," gelak Gendut, yang pensiunan anggota satpol PP ini.

Sebenarnya, di antara anggota kelompok ini ada yang buta huruf. Karena itu, bila latihan mereka tak menggunakan naskah. Ketika berlatih hanya diberi tahu agar mengatakan ini. Selanjutnya, improvisasi mereka. Hebatnya, sekali arahan, mereka langsung bisa.

Pariyem, penjual cenil, termasuk yang tak bisa baca tulis itu. Saat ditanya tentang bermain ketoprak, dia menjawab lugu. "Nggih remen, gawe guyu (Ya senang, buat tertawa, Red)," ujar perempuan 50 tahun yang sering didapuk jadi mbok emban ini.

Demikian juga dengan Suparti, 60, seorang ibu rumah tangga. "Seneng main ketoprak, iso lali karo utang (bisa lupa kalau punya utang, Red)," ujar perempuan yang dijuluki Bu Gembrot karena badannya yang besar dan lucu ini.

Soal cerita, kebanyakan karya Gendut. Tapi, ketika menulis skenario dia berkonsultasi dulu dengan seniornya. Beberapa karya Gendut di antaranya ’Joko Pengung’ yang bercerita tentang kisah bersaudara yang mencari jodoh. Juga, ’Sendang Biru’ yang ditulis berdasarkan kisah nyata. Menceritakan mata air empat warna. "Saya hanya otak-atik tapi akhirnya mathuk, ya baguslah," aku bapak tiga anak ini.

Kelompok ini berharap nantinya kesenian ketoprak dan karawitan yang dirintis tersebut bisa diwariskan kepada generasi yang lebih muda. Meskipun saat ini hanya sedikit anak muda yang tertarik. "Semoga juga bupati yang baru bisa memperhatikan nasib orang-orang seni dan kegiatan kebudayaan yang beragam sekali di Nganjuk ini," harapnya. [fud]

Jawa Pos Radar Kediri, Selasa, 25 Mar 2008

0 tanggapan: