Bahasa Tubuh


INDONESIA berdangdut sampai ke pelosok-pelosok negeri bahkan luar negeri, dan juga bergoyang. Dangdut dan goyang adalah "seni rupa Indonesia (ran)" saat ini. Tapi, Siti Nurhaliza dari Semenanjung (Malaysia) berdendang tanpa goyang, itulah dendang Melayu, jenis irama musik awal.



PERNAH dikembang-populerkan oleh Lily Suhaery dari Medan, Saiful Bahri di Studio RRI Jakarta, dan A Kadir-Sinar Kumala Surabaya, sekadar menyebut tiga contoh, dalam kemasan bernama Orkes Melayu, yang syair dan lagunya sama pentingnya. Nuansanya berbeda dengan "dangdut".

Dalam perhelatan "orang Melayu" ada dua perkara tak pernah terlewatkan: Silat Pulut atau pencak silat pertunjukan dan joget/dendang/orkes Melayu. Joget "Serampang Duabelas" mendominasi tari pergaulan Indonesia pada tahun 1950-1960-an. Adat dan seni kait-berkait, jalin-menjalin, bak rotan saga. Tak ada adat tanpa berseni, tak ada seni tanpa beradat.

Dangdut: kosakatanya berasal dari bunyi, wajar dan mengena karena ragam musiknya didominasi tingkah pukulan gendang, menyiratkan joget/goyang. Tapi istilah itu dicetuskan dengan "ejekan" oleh kelompok lain: majalah Aktuil-Bandung, semasa Remy "Mbeling" Sylado. Kelompok "anak sekolahan", progresif, dengan minat besar pada musik pop, rock, teater, dan "puisi mbeling", pada tahun 1970-1980-an. Sebagai ejekan (sinisme) terhadap jenis musik "kampungan, rakyat jelata, bukan sekolahan".

Rhoma Irama terlalu serius menanggapinya dengan merilis lagu gugatannya, "Musik". Tapi istilah itu seperti api menyulut semak belukar, cepat tersebar-terkenal, dan publik menyambut-iyakan bukan motif ejekannya, tapi semacam parodi: humor dan cerdas.

Dan tampaknya musik dangdut adalah seni parodi, dengan keterus-terangan, langsung, apa-adanya. Tidak terlalu peduli pada allusion (gaya pengandaian) yang bersastra-sastra. Cermin kesenian rakyat yang bloko-suto, tanpa tedeng aling-aling, blak-blakan, atawa blakutang.

TJAHJONO Widianto, "Kesenian Tradisi dan Konflik Budaya" (Kompas, Kamis, 30 Januari 2003), memilah ragam kesenian menjadi: keraton, rakyat, abangan, dan santri, akibat tiga konflik budaya: pedalaman versus pesisiran, keraton (Mentaraman)-rakyat, santri-abangan. (Bisa ditambah satu lagi: modern versus tradisional)

Mencirikan kesenian rakyat sebagai produk dari sistem masyarakat grass-root yang menafikan keteraturan, kecanggihan, dan kerumitan yang menjadi ciri kebudayaan keraton. Kehalusan, kerumitan, dan kerumitan sebagai standar estetika budaya keraton dilawan dengan kebebasan, ke-ekspresif-an, dan kebebasan improvisasi.

Tanpa ketertutupan atau suasana khusus, tapi berlangsung dengan suasana pesta dan hiruk-pikuk yang kemudian menghadirkan suasana yang serba permisif. Estetika kesenian rakyat atau pesisiran secara sadar mendudukkan dirinya sebagai kesenian atau kebudayaan massa.

Produk kebudayaan massa: adalah suatu produk tanpa maesenas atau patronase gaya keraton/tradisional, tapi langsung diserahkan pada hukum ekonomi bisnis, pasar terbuka, yang merayakan siapa yang terlaris. The best seller. Publik yang melahapnya selalu menanyakan "barang baru" atau "sensasi baru".

Obsolete: produk dan bintang relatif cepat aus masa berlakunya. Yang baru meng-obsolete, mengauskan, yang lama. Media baru, contohnya, mengobsolete buku.

KEHINGAR-bingaran "Inal-inul" atawa fenomena Inul (maaf, Mbak Inul Daratista) yang fenomenal karena dia meng-obsolete bintang-bintang dangdut yang menganggap diri mereka mapan.

Dalam produk kebudayaan massa tidak ada yang benar-benar mapan, semua yang ada "sedang". Wajah baru sudah siap mengganti, meng-aus-kan, meng-obsolete. Dan di belakangnya sudah banyak yang antre ganti mengkudeta. Barangkali, untuk Inal-inul lebih tepat istilah coup de theatre: perubahan peristiwa yang dramatik dan sensasional.

Dua goyangan. Sebenarnya, ada dua event paralel tentang goyang-menggoyang di Jakarta. Para mahasiswa menggoyang Megawati-Hamzah Haz, dan Inal-inul menggoyang ratu-ratuan di kerajaan dangdut. Tapi coup de theatre Inal-inul lebih menghebohkan karena dalam kerangka hiburan/entertainment. Sedang demo para mahasiswa lebih nggegirisi atau gege-mongso karena bayangan malapetaka/katastrofe akibat kerusuhan serta dampak sosial-politiknya. Keduanya jalin-menjalin, kait-berkait, dalam "belantara rotan saga" infotainment.

Di tengah kemarahan dan acungan serta teriakan para demonstran, kita dihibur oleh "bahasa tubuh" Inal-inul yang menimbulkan beragam komentar. Dangdut Inal-inul bukan lagi dangdut kata-kata.

Sudah lama dangdut kurang peduli atau memperhatikan syair lagu, tapi menekankan goyangannya, jadi Inal-inul hanya melanjutkan perkembangan terkini, termasuk saweran ke panggung pertunjukan langsung.

Fetishisme. Publik tidak hirau apakah tema cinta, cerai, doa, selingkuh, putus, mbah dukun, pak dokter, ataukah satu atau semua lelaki, dan lain sebagainya, mereka lebih kesengsem pada "goncangan gunung berapi" bernama "tubuh wanita".

Semua bagian tubuh berpotensi. Rambut, kepala, wajah, mata, mulut, leher, tengkuk, pundak, lengan, ketiak, tangan, jari-jari, kuku, dada, punggung, pinggang, pusar, pinggul, paha, lutut, kaki, betis, tumit, jari-jari, jempol kaki…

Selain pakaian atau benda jimat maka organ tubuh, di luar genital, termasuk obyek fetishisme: pemujaan organ tubuh yang berhubungan dengan rangsangan nafsu syahwat dan kepuasan erotis, yang sebenarnya adalah pathological displacement (pengalihan patologis).
Ternyata, organ tubuh paling seksi adalah otak.

AKHUDIAT Budayawan, dari makalah pada Diskusi Fenomena Inul di Balai Pemuda Surabaya, 5 Februari 2003


Sumber: Kompas-Jatim, Jumat 07 Februari 2003

0 tanggapan: