Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro
Pengajar di FAI Universitas Muhammadiyah Gresik
Era pengemis konvensional, tampaknya, segera berakhir. Mereka bakal menjadi objek buruan petugas Satpol PP yang seakan tidak kenal lelah menjebloskan mereka ke "penjara" Liposos. Lebih dari itu, mereka juga bakal kalah bersaing dengan pengemis "kontemporer" dalam berebut rezeki cuma-cuma dari kaum dermawan. Bahkan, kaum dermawan pun seakan terjebak rasa tidak berdaya manakala berhadapan dengan pengemis modern itu.
Selama ini, pengemis konvensional dipandang sebagai "sampah" yang dapat mengotori pemandangan kota. Penampilan mereka yang kumuh, dekil, dan bau tubuh yang tidak sedap dinikmati hidung kerap dipandang sebagai hal yang menjijikkan. Belum lagi wilayah operasi mereka tidak pandang bulu. Umumnya, mereka tersebar di terminal, pasar, atau door to door dari rumah ke rumah.
Pendek kata, pengemis "konvensional" itu lebih mengedepankan kepapaan dan ketidakberdayaan mereka untuk mengekspresikan diri sebagai orang miskin. Mereka tidak pernah lelah menyusuri jalan. Pengemis ini tidak terlalu berharap pemberian lebih dari dermawan. Selaras dengan kesederhanaan alat yang mereka gunakan, yakni kaleng dan batok kelapa, uang receh pun mereka terima dengan ekspresi syukur melalui ucapan terima kasih kepada pemberinya.
Seiring dengan kian berkurangnya pengemis konvensional, sekarang marak kemunculan pengemis kontemporer. Penampilan mereka benar-benar berbalik 180 derajat jika dibandingkan dengan penampilan pengemis konvensional. Mereka tidak lagi bersenjata kaleng atau tempurung kelapa. Mereka membawa amplop berlabel nama yayasan pendidikan, panti asuhan, atau panitia pembangunan masjid, lengkap dengan alamat dan nomor telepon.
Pengemis model baru ini juga melengkapi diri dengan penampilan yang modis, berdasi, berbaju rapi, dan bersepatu. Yang perempuan umumnya memakai busana muslim (berjilbab). Pengemis kontemporer seakan memberikan pesan kepada calon dermawan bahwa mereka bukan "pengemis", melainkan pekerja sosial yang sedang menjalankan tugas mulia. Karena itu, memberikan bantuan kepada mereka sama artinya dengan menyalurkan bantuan yang tepat sasaran.
Pengemis gaya baru ini juga relatif lebih cerdas dalam membidik sasaran. Mereka umumnya nongkrong di tempat anjungan tunai mandiri (ATM), SPBU, kantor pos, dan fasilitas pelayanan publik lain. Mereka tidak perlu berkeringat dan ber-capek-capek menyusuri jalan. Mereka juga tidak perlu mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil sekadar untuk meminta sedekah ala kadarnya. Sebagian di antara mereka memang ada yang bergerilya ke kompleks perumahan atau ke kampung/desa. Namun, mereka melengkapi diri dengan proposal, kuitansi, dan daftar penyumbang.
Penampilan mereka cukup menarik calon donatur untuk memberikan bantuan relatif banyak dibandingkan yang biasa diberikan kepada pengemis konvensional. Umumnya, para donatur menyumbang minimal seribu. Tidak sedikit pula yang memberikan lima atau sepuluh ribu rupiah. Itu, sepertinya, sebanding dengan beban psikologis yang memancar dari amplop kosong yang mereka terima sebelum masuk ATM untuk diisi uang sekeluar dari ATM. Sang donatur seakan tersandera oleh "kekuatan" amplop tersebut dan menganggap tidak pantas bila harus memasukkan uang receh ke dalam amplop. Meski ada pula yang akhirnya mengembalikan amplop itu dalam kondisi tetap kosong.
Kemunculan pengemis kontemporer itu dapat dijadikan indikasi kian kompleksnya penyakit sosial di masyarakat. Tidak saja kemiskinan masih menggurita di kehidupan masyarakat, mentalitas miskin juga kian mengkristal pada sebagian individu yang masih berada dalam usia produktif. Dengan begitu, menjadi pengemis "gaya baru" itu menjadi pilihan untuk mendapatkan dana segar dalam waktu singkat. Dengan sedikit memermak penampilan diri dan menyamar sebagai pekerja sosial (dari yayasan, panti asuhan, atau masjid), mereka bisa dengan enjoy mengemis tanpa merasa kehilangan harga diri.
Menghilangkan penyakit sosial memang tidak mudah. Dibutuhkan langkah-langkah sistematis dengan melibatkan seluruh aspek kehidupan. Pertama, pemerintah harus berani bertindak tegas terhadap para pekerja sosial "gadungan" atau tidak jelas identitasnya. Penegakan aturan harus dijalankan dengan konsisten. Bila mereka terbukti berbohong (mencatut nama lembaga sosial tertentu atau bahkan membuat identitas palsu), sudah sepantasnya mereka dijerat pasal penipuan.
Kedua, masyarakat umum seyogianya tidak mudah tergerak hati untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak jelas latar belakangnya, baik pribadi maupun lembaga yang dibawanya. Sebab, memberikan amal sejatinya tidak semata-mata berlandasan aspek keikhlasan semata. Asas manfaat bagi peruntukannya juga perlu dipertimbangkan. Niat baik saja tidak cukup, bahkan bisa menjadi mudarat kalau salah sasaran. Misalnya, mengakibatkan seseorang menjadi kian tergantung pada profesi pengemis.
Lebih bijaksana dan bermanfaat bila masyarakat yang berniat beramal menyalurkan hartanya ke lembaga-lembaga yang diketahui identitasnya dengan jelas dan memang sedang membutuhkan bantuan keuangan. Atau, bantuan bisa juga diarahkan ke badan-badan amil zakat, infak, dan sodaqoh yang sudah mengantongi izin dari pemerintah dan punya reputasi positif.
Ketiga, lembaga-lembaga sosial, baik yayasan pendidikan, panti asuhan, maupun masjid, tidak selayaknya menggerakkan jamaahnya untuk menjalani profesi sebagai pengemis. Meski (andai kata) hasil dari mengemis itu seluruhnya untuk kepentingan lembaga. Apalah artinya membangun lembaga sosial kalau ujung-ujungnya hanya memproduksi pengemis-pengemis profesional. (soe)
Jawa Pos [Jum'at, 17 Oktober 2008]
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar