Menolak Pembenaran Goyang Inul


Oleh Sirikit Syah *

Hampir sebulan belakangan ini, setiap kita membuka koran, selalu ada Inul. Ada berita tentang Inul, foto Inul dengan berita lain, artikel tentang Inul, komentar-komentar, SMS, dan banyak lagi. Semuanya mendukung eksistensi Inul. Meski sesungguhnya tidak ada yang membantah atau memprotes Inul melalui media massa, banyak tokoh sibuk membela, menyokong, dan memuji-mujinya.



Tak kurang dari dua doktor melegitimasi Inul sebagai ikon Jawa Timur. Dr Ayu Sutarto dari Universitas Negeri Jember menggarisbawahi dukungannya dengan mengutip filosof Jerman, Adorno. Menurut dia, “kesenian memang sudah kehilangan auranya”, dengan persepsi yang keliru. Sebab, Adorno jelas tidak pro pada kesenian yang kehilangan aura, tetapi mencemaskannya.

Ayu bahkan mengimbau agar bangsa Indonesia bangga. Sebab, Inul bisa disejajarkan dengan Shakira, penyanyi seksi dari Amerika Latin. Mirip kebanggaan Nafa Urbach yang disamakan dengan Britney Spears, sedangkan Nur Halizah bangga menjadi diri sendiri, seorang gadis Melayu.

Dr Sam Abede Pareno dari Universitas Dr Soetomo menambahkan, goyang Inul yang dianggap seronok itu merupakan fenomena budaya yang harus diterima. Dia bahkan mengatakan, ”Mengapa MUI ikut campur mengurusi Inul?” Seolah, Sam tidak mengakui bahwa MUI memang mengurusi hal-hal yang ditengarai bisa merusak moral pemuda atau bangsa.

Ketika Inul dicekal MUI dan wakil wali kota Jogjakarta, tak kurang dari anggota PKB membelanya. Seolah tak ada agenda yang lebih penting daripada membela Inul. Adhie Massardi mengatakan, “Banyak hal lebih penting yang perlu kita soroti, yaitu korupsi dan penegakan hukum.” Ternyata, dia repot-repot membela Inul. Hal itu masih ditambah pernyataan Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzahdi. Dia mengatakan, “Terlalu kecil berbicara Inul dibandingkan budaya erotisme yang demikian besar yang harus dikikis.”

Ternyata, Inul bukan merupakan hal kecil bagi Hasyim. Dan, boleh dikata, dia cukup berarti bagi PKB untuk dibela. Hasyim mungkin lupa bahwa yang dimaksud dengan erotisme tentu termasuk goyang Inul --kalau sudah menonton Inul, beliau mungkin mahfum. Dan, kalau erotisme harus dikikis habis, mengapa goyang Inul diizinkan?

Pembenaran Salah Kaprah
Terjadi sebuah hegemoni budaya pop yang luar biasa di khalayak Jawa Timur, bahkan Indonesia umumnya. Yang menolak dan mengecam goyang Inul umumnya hanya rasan-rasan atau melampiaskan kejengkelan secara diam-diam. Tetapi, yang membela dan mendukungnya menggunakan sarana media massa. Sehingga, seolah-olah “seluruh Indonesia” sebenarnya membela Inul.

Kita tidak boleh lupa bahwa ada seorang istri meninggal dunia. Dia menggantung diri karena suaminya keseringan nonton Inul. Lembaga konsumen media ditelepon seorang ibu rumah tangga yang tidak tahu harus mengadu kemana. Ibu itu mengatakan, ”Kok semua mendukung Inul, bukankah Inul itu tidak baik untuk anak-anak kita?”

Saya percaya, masih banyak ibu-ibu yang merasakan hal yang sama. Bahkan, tak sedikit bapak-bapak yang juga tidak suka terhadap goyang Inul yang erotis dan cenderung mesum -saya memilih kata ini setelah menonton VCD-nya.

Goyang Inul, bagi yang belum pernah menontonnya, sesungguhnya bukan merupakan goyang dangdut. Dia sama sekali tidak bisa berjoget atau menari ketika sedang menyanyi. Goyangnya sama sekali tidak estetis. Goyang Liza Natalia -penyanyi yang paling “heboh”-, menurut saya, bahkan terasa lebih indah dibandingkan goyangan Inul.

Misalnya, dia membelakangi penonton, lalu pantat dan pinggulnya diputar-putar di depan mata penonton dalam gerakan yang, maaf, seperti adegan mesum. Para seniman dangdut yang mengomentari hal itu sebagai merendahkan martabat kesenian dangdut malah dicap iri oleh pendukung Inul. Benar-benar pembenaran yang salah kaprah.

Saya sebetulnya tak tertarik untuk berpolemik mengenai Inul. Sebab selera kesenian itu sesungguhnya berbeda-beda dan merupakan hak setiap orang. Boleh boleh saja Ayu Sutarto, Sam Abede Pareno, Adhie Massardie, Cak Nun, KH Hasyim Muzadi, dan lelaki lainnya menyukai tontonan Inul. Tetapi, “selera” tersebut tidak perlu dilegitimasi. Sehingga, hal itu menjadi semacam pembenaran bahwa there is nothing wrong with Inul.

Hal itu merupakan suatu upaya hegemoni seperti yang pernah dilakukan Menteri Penerangan di masa Orba yang mendiktekan pakem-pakem pewayangan dengan cerita-cerita pembangunan. Saya menulis ini untuk memberikan suara bahwa ada --bila tak bisa dikatakan lebih banyak-- yang tidak mendukung Inul.

Bila dikatakan Inul adalah ikon Jawa Timur, analoginya adalah tuak sebagai minuman khas Jawa Timur dan Adu Dara --Adu Merpati, biasanya judi-- merupakan olahraga kebanggaan rakyat Surabaya. Bahkan, ekstasi menjadi camilan paling populer yang digemari anak-anak muda perkotaan. The bottom line is: sesuatu yang populer dan digemari tidak identik dengan sesuatu yang harus dibenarkan.

Bagaimana dengan komik-komik atau majalah porno yang laris seperti kacang goreng? Bolehkah kita mengatakan “Itu kan fenomena budaya, harus kita terima.” Ketika Cak Nun mengatakan, “Masyarakat kita memang menuju Inul”, apakah berarti “inulisasi” tak perlu dihentikan, malah justru harus disokong?

Kembalilah Jadi Penyanyi

Saya terus terang mengagumi suara Inul. Materi vokalnya bagus, lebih dari rata-rata penyanyi Indonesia umumnya. Dia tahu musik karena sebagian penyanyi yang sudah populer pun masih tidak nge-match atau bahkan fals. Inul tidak.

Dibandingkan Britney Spears atau F4, suara Inul jauh lebih bermutu. Mengherankan, mengapa Inul tidak menjual suaranya? Mengapa dia menjual goyangnya yang menghebohkan tersebut? Apakah itu merupakan kesalahan manajemen?

Sebagai penyanyi, Inul cukup menjanjikan. Saya di antara banyak orang akan mendukung Inul bila dia kembali menjadi penyanyi, bukan penggoyang.[]

Sirikit Syah, dosen dan pengamat media

Sumber: Jawa Pos, Senin, 24 Feb 2003

0 tanggapan: