Goyang Inul, Pasar, dan Pengadilan Budaya


*) Ayu Sutarto

POLITIK Politik ubuh bukan hanya digunakan penguasa sebagai strategi punitif yang terkait dengan siksaan, hukuman, dan disiplin seperti dikemukakan Michel Foucault. Melainkan juga dimanfaatkan seniman sebagai alat untuk "menghipnotis" pasar agar produk kesenian yang ditawarkannya mendapat respons positif. Inul Daratista, penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jatim, merupakan salah satu contoh seniman yang mampu mengelola politik tubuhnya untuk memasarkan ekspresi kesenian sehingga laku jual.



Goyang pinggul, goyang dada, dan lirikan mata menggoda merupakan ekspresi politik tubuh yang digunakan penyanyi dangdut Indonesia, termasuk Inul Daratista, sebagai alat menaklukkan pasar dan mengikat pelanggan (baca: pemirsa/penikmat kesenian).

Inul tidak sendirian. Elvie Sukaesih, misalnya, tercatat sebagai penyanyi dangdut senior yang berhasil mengekspresikan politik tubuhnya dengan apik tanpa harus mendapat respons negatif para penggemarnya. Goyang pinggul dan lirikan mata Elvie masih dianggap santun. Hal serupa dialami Camelia Malik. Goyang pinggul dan goyang dada pelantun lagu Colak-Colek ini, yang konon terilhami goyang jaipong, cukup memesona dan tidak dituduh berbau asusila.

Namun, goyang pinggul Inul bernasib lain. Goyangnya yang sangat unik bukan hanya menuai decak kagum penggemarnya, melainkan juga mengundang protes beberapa elemen masyarakat karena dinilai merusak moral bangsa. Setelah Muhammadiyah Kota Blitar memprotesnya dan mengusulkan agar yang berwajib mencekalnya, kini Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kabupaten Mojokerto juga bertekad mencekal goyangan mautnya. Inul tidak boleh tampil di beberapa daerah (Jawa Pos, 27 Januari 2003).

Masyarakat penggemar Inul terbelah menjadi dua kelompok. Pertama, mereka yang memberikan respons positif. Kelompok ini dengan suka cita menikmati dan memahami ekspresi seninya. Kedua, mereka yang memberikan respons negatif karena menganggap goyang Inul sebagai representasi simbolis dari suatu entitas yang asusila. Inul menjadi sebuah fenomena sosiokultural yang diperhitungkan.

Namun, siapa pun dan seperti apa Inul, dia telanjur diterima pasar sebagai komoditas laris manis dan pemuas kebutuhan manusia akan kreasi estetik simboliknya. Dia berhasil memadukan musik dangdut dengan bahasa tubuh erotik-seksual yang berbeda dari penyanyi dangdut pendahulunya. Goyang Inul yang unik mampu menggeser ke pinggir goyang jaipong dan goyang dombret. Goyang pinggulnya sangat unik dan sensasional, sehingga menjadi komoditas yang dapat menangguk uang. Goyangnya juga tak tertandingi oleh goyang gaya Jawa Timuran yang lain, misalnya, goyang gandrung Banyuwangi atau goyang tayub dari Nganjuk dan Tuban.

Goyang pinggul Inul, yang mendapat tanggapan luas dari masyarakat, merupakan prestasi Inul dalam menaklukkan pasar yang terkenal sangat perkasa dan tidak berkompromi. Bahkan, keunikan goyangnya membuahkan dua kosa kata baru. Yaitu ngebor dan molen (pencampur bahan beton). Goyang pinggul Inul disebut ngebor karena ekspresi estetik simbolik dari politik tubuhnya menyerupai gerakan bor putar yang bergerak memutar dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Bor putar adalah alat pembuat lubang yang menggunakan gerak perputaran batang dan matanya untuk menembus kayu atau batu.

Ekspresi politik tubuhnya juga disebut gaya molen, yakni alat yang digunakan untuk mencampur dan mengaduk bahan bangunan yang terdiri atas semen, batu, dan pasir yang bergerak memutar. Tentu saja dua kosa kata baru tersebut memiliki makna seksual yang sangat kental.

Perjalanan karir Inul memang sangat hebat karena penyanyi dangdut yang satu ini berhasil mendongkrak popularitasnya dari penyanyi tingkat kondangan dan hajatan di kampung-kampung menjadi penyanyi dangdut kelas nasional. Tetapi, strategi politik tubuh yang unik tersebut sekarang ini harus berhadapan dengan pengadilan budaya dari pasar lain yang memberikan respons negatif. Pengadilan budaya dalam kasus Inul berangkat dari dua pendekatan, yakni etno estetik dan religio estetik. Dari kaca mata etno estetik, apa yang dilakukan Inul dipandang sebagai hal biasa-biasa saja. Sebab, ekspresi estetik simbolik seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai jenis tari di Indonesia. Misalnya, jaipong, tayub, gandrung, lengger, dan lain-lain.

Karena itu, hukum positif akan sulit diterapkan terhadap ekspresi berkesenian Inul. Apalagi, jika gerakan tubuh itu dikaitkan dengan masalah erotika, pornografi, atau perusak moral bangsa. Agaknya, dakwaan itu terlalu dicari-cari. Tetapi, bila penilaian itu berangkat dari religio estetik, persoalannya akan menjadi lain. Sebab, agama memang sudah mempunyai patokan tertentu mengenai aurat dan batas-batas ekpresi politik tubuh yang dapat mengundang syahwat. Religio estetik tidak akan memberi ruang sedikit pun kepada Inul.

Menyalahkan Inul saja, tampaknya, tidak adil. Sebab, sikap seperti itu sama saja dengan menyalahkan pelacur di lokalisasi. Artinya, Inul tidak akan laku atau pelacuran pasti akan bubar bila pasar tidak merespons positif. Penerimaan pasar kepada Inul menunjukkan bahwa apa yang disajikan Inul pas dengan selera sebagian masyarakat. Karena itu, masyarakat mengonsumsi ekspresi simboliknya. Inul hanyalah seorang pencari rezeki yang berprofesi sebagai penyanyi dangdut. Dia hanya sebuah produk; yang menentukan hidup matinya adalah pelanggan.

Dari kasus Inul, kita dapat berkaca dan memetik beberapa pelajaran penting. Pertama, untuk mendongkrak popularitas berkesenian, seniman di negeri ini masih menggunakan politik tubuh dan bahasa tubuh yang beraroma seksual. Mereka masih yakin bahwa pasar meminatinya. Karena itu, jika ingin memberantas gejala tersebut, yang harus dihilangkan bukan hanya produk keseniannya, melainkan juga selera rendah masyarakat pemirsa atau penikmatnya.

Kedua, produk kesenian etnik sebagai sebuah entitas yang terkait dengan kreasi estetis simbolis tidak hanya harus dilihat dari perspektif religio estetik. Sebab, para senimannya hampir tidak pernah menggunakan takaran itu.

Ketiga, pengadilan budaya sulit dilaksanakan dalam suatu negara yang masyarakatnya berbudaya majemuk. Meskipun demikian, toleransi dapat dibangun berdasarkan sikap saling menghargai. Solusinya, jika show diselenggarakan di tempat terbuka, hendaknya Inul mengurangi kualitas ekspresinya dengan tidak harus melepas semua keunikannya. Tetapi, jika show diselenggarakan di tempat-tempat hiburan tertutup, seperti kelab malam, karaoke, diskotek, atau restoran, dia dapat tampil semaksimal mungkin. Toh di sana banyak hal yang lebih "seram" dari itu.

Saya bukannya membela Inul, tetapi menuduhnya sebagai perusak moral bangsa sangatlah menggelikan. Di sekitar kita terdapat banyak gejala sosial dan kultural lain yang lebih parah dari fenomena Inul. Lebih merusak moral bangsa. Gitu saja kok repot! []

(Dr Ayu Sutarto, ahli humaniora pada Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 1 Feb 2003

0 tanggapan: