MEMPERTIMBANGKAN SASTRA BURUH MIGRAN

Oleh: Beni Setia


Insya Allah kalau tak ada rintangan, awal Februari mendatang, Tarini Sorrita - penulis yang bekerja sebagai buruh di Hong Kong - akan meluncurkan antologi cerpennya, Penari Naga Kecil, di Surabaya. Peristiwa budaya dengan pelaku khusus buruh migran ini bukan yang pertama kali, karena pada minggu terakhir Desember 2005 pernah dilakukan launching yang serupa - lihat, "Sastra Buruh Migran: Ad-vokasi tentang Kondisi TKI" [Suplemen Jatim, Kompas, 22/12. 2005, hlm. H].



Meski respon dari para sastrawan Surabaya yang non-buruh-migran terasa menyakitkan. Kenapa? Karena, dengan arogan mereka bilang, kalau pada dasarnya, hakikat dari genre sastra buruh migran itu hanya teks yang ditulis oleh buruh migran, dan melulu berkutetan dalam derita menjadi buruh migran. Maksudnya mungkin terlalu subyektif, maksudnya mungkin tidak mempertimbangkan kekayaan estetika, pola kreativitas dan model ekspresi sastra yang ada, dan mungkin juga imajinasi yang miskin dan empati yang dangkal. Mungkin. Tapi apakah itu salah?

[]

Per definisi sastra merupakan genre seni yang bergerak di wilayah fiksi dan dengan mempergunakan medium bahasa secara subyektif. Karenanya berseberangan dengan karya ilmiah atau berita yang berada di wilayah fakta, mengutamakan penelitian dan dikomunikasikan dengan medium bahasa obyektif yang mengutamakan validitas dari fakta yang diungkapkan.

Dengan komparasi ini kita tidak lagi tergerak untuk membandingkan puisi dan prosa, sebagai sutu teks yang lebih fiktif atau lebih kongkrit faktanya, dan diungkapkan dengan medium bahasa yang lebih subyektif atau lebih obyektif. Karena sebuah esei pun lebih berada di dunia sastra bukan karena faktanya yang dievaluasinya dan diperluas eksistensinya dalam wawasan dan referensi minat subyektif dari penulisnya, tapi terutama dikarenakan cara dan gaya [berbahasa] dari si eseis di dalam mengungkapkan hal itu --menggunakan bahasa yang khas personal.

Dengan kata lain, sebuah sastra adalah sebuah sastra. Sangat tergantung dari eksistensi si sastrawan, tergantung dari latar belakang wawasan dan referensi subyektivitas saat memperkaya ilham yang faktual atau imajinatif - di dalam proses diskurus sebelum terpancing mengkongkritkannya di dalam teks sastra. Sehingga sebuah sastra buruh migran tak bisa tidak harus melulu berkutetan dalam permasalahan menggejolaknya rasa tak puas karena diperlakukan majikan secara tak adil - akibat bargaining position yang jomplang. Sekaligus - supaya orsinil -, harus ditulis oleh TKW atau TKI di LN, yang merasakan langsung situasi eksploitatif akibat kondisi kerja yang tidak genah itu.

[]

Ada kontroversi tentang apa yang mendorong seorang Multatuli, menulis dan menerbitkan roman Max Havelaar - yang episode Saijah dan Adinda-nya dijadikan film itu. Di satu sisi ada anggapan kalau Multatuli lebih terdorong untuk menuntut haknya sebagai pegawai negeri [Belanda] yang ditempatkan di tanah jajahan, yang diberhentikan secara tidak terhormat karena tak patuh pada atasan dan garis tugas. Ketimbang gagasan mulia seorang humanis, yang ingin berjuang membela hak-hak pribumi negeri jajahan, sehingga rela kehilangan hak azasinya - seperti JH Princen.

Bahwa dengan menulis roman itu ia bukan hanya sekedar menunjukkan nasib pribumi Inlander yang dieksploitasi oleh kapitalisme sistim Tanam Paksa, yang merupakan kongkalikong antara aparat korup kolonial dengan penguasa lokal feodalistik yang sejak awal sudah korup. Sehingga ide dasar roman itu mencocoki protes, - tuntutan dari kalangan oposisi di parlemen Belanda -, supaya pemerintah kolonial Belanda melakukan sedikit kebaikan bagi pribumi di negeri jajahan, dalam gerakan politik Balas Budi.

Dan karenanya banyak kalangan merasa kalau justru pencapaian literal karier kesusastraan Multatuli - bahkan sumbangan gaya bahasa Multatuli - lebih dominan dari roman bertendens Max Havelaar itu. Sebuah pencapaian yang sama sekali di luar harapan dan angan-angan seorang Multatuli. Sekaligus tuntutan akan perlunya ada perubahan sikap, agar pemerintahan kolonial Belanda lebih etis di dalam memperlakukan orang jajahan ketika mengeksploitasi kekayaan tanah jajahan diabaikan.

Terlebih lagi keinginannya untuk rehabilitasi nama baik dan jaminan pemenuhan hak pensiun bagi pegawai yang tidak patuh. Terutama karena hal itu dilakukan di puncak kejayaan kolonial Belanda. Kenapa? Karena seorang JH Princen pun, yang melakukan disertir karena simpati kepada perjuangan kemeredekaan Indonesia, dianggap pengkhianat besar, dan tidak diakui lagi sebagai warga negara yang patut dibanggakan. Beda, misalnya, dengan seorang Westerling yang melakukan pembantaian di Sulawei Selatan dan Bandung itu, yang merupakan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, yang tetap dibela sebagai warga negara yang terhormat.

[]

Atau novel berikut ini, yang dengan tegas mengungkapkan nasib buruk buruh tani dalam sistim agroindustri kapitalisme Belanda di awal abad XX di Sumatra, yang ditulis dengan kondisi yang sangat bersipat sastra buruh migran. Lihat novel Kuli Kontrak, yang ditulis oleh M.H. Szekely-Lulofs, yang mengungkapkan penderitaan buruh migran [pribumi] kontrak di perkebunan swasta otonom di Deli. Sebuah novel yang ditulis oleh seorang nyonya buruh migran Belanda - meski kelas gajinya eksekutif rendahan tapi empatinya menyebabkan ia ada dan hadir sebagai kaum marginal - yang bekerja di Indonesia dan terusik oleh penderitaan buruh migran pribumi. Tumbal eksploitasi ekonomi yang dianggap biasa dalam mitos kapitalisme. Sebuah laporan kemanusiaan dalam bahasa Belanda bagi orang Belanda di Belanda - meski kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

Atau karya yang menjadi sangat klasik, yang telah disinggung di atas, yang mengungkapkan nasib rakyat di tengah feodalisme priyayi [pribumi] yang memanpaatkan struktur eksploitatif kolonial di dalam karya Multatuli, Max Havelaar. Yang berbicara tentang padat karya yang tak dibayar sepeser pun - bayarannya masuk ke kantung para penguasa kolonial dan feodal. Teks sastra yang sangat bersipat sastra buruh migran, karena ditulis di dalam bahasa Belanda dan ditujukan untuk orang Belanda di Belanda - kemudian diterjemakhan ke dalam bahasa Indonesia. Dan bagaimana dengan elit pribumi kita? Lantas kenapa mereka mempedulikan orang lain kalau mereka lahir dan datang ke tanah jajahan ini sebagai yang memiliki kekuasaan dan berhak memanpaatkan kekuasaan?

Jawabannya, tak bisa tidak, karena para buruh pribumi itu tidak berdaya, dan karena [di sisi lainnya] mereka lebih paham dan bisa mengungkapkan eksploitasi itu secara literal tertulis. Persis seperti yang dilakukan oleh seorang J.B. Mangunwijaya, yang dengan lugas mengungkapkan fenomena kebodohan orang Indonesia, sehingga kekayaan alamnya dieksploitasi MNC asing - dalam Burung-burung Manyar.

Bedanya, Szekely-Lulufs dan Multatuli mengutamakan simpati humanistik dan mengoperasionalkan empati secara besar-besaran, sedangkan Mangunwijaya tergerak oleh kemarahan akibat kebodohan bangsa sendiri sehingga mandah dan bangga dieksploitasi kapitalisme MNC - karena rasa keadilan yang terusik. Dan karenanya ia menunjuk dan terus menunjukkan adanya ketidakadilan, eksploitasi, dan nasib buruk buruh kecil pribumi yang terpuruk. Tragika salah satu pemilik kekayaan alam In-donesia yang gamang dan lugu di hadapan sistem kapitalisme liberal dunia, yang dengan halus dan sistematis merampok kekayaan alam Indonesa.

[]

Katarsis yang dilakukan para buruh migran itu, para TKI dan TKW di LN itu juga ada dalam model dan pola pemahaman yang sama. Pemahaman akan adanya situasi yang eksploitatif tanpa ada seorang pun yang terpanggil dan tergerak untuk menunjukkan dan menggarisbawahi situasi eksploitatif itu. Karenanya mereka tidak terlampau berharap supaya ada pihak yang tergerak untuk melakukan advokasi dan sekaligus memperbaiki nasib mereka dengan deregulasi yang mengubah kondisi kerja para buruh migran di negeri asing.

Karena kita tahu: Banyak perusahaan PTKI yang menganggap buruh itu cuma komoditas yang pantas dijual, dan memetik keuntungan dari "penjualan tenaga dan jasa" itu tanpa mempedulikan nasib mereka cq kondisi kerjanya. Kita juga tahu kalau Negara cq Kedutaan tidak mau terlalu repot mengurus nasib dan kondisi kerja mereka, selain tak bisa tidak menampung para TKI yang lari dari kontrak - karena ketidakadilan kerja. Bahkan ketika pulang kerja dari LN pun mereka diburu, dieksploitasi dan diperas oleh preman dan calo transportasi - seakan-akan mereka pemenang lotre yang harus berbagi dan bukan buruh migran yang kerja dengan kondisi kerja eksploitatif. Satu manifestasi dari moral bangsa yang tak tahu malu dan sangat egoistik.

Karenanya mereka hanya bisa mengeluh di antara mereka sendiri, meski beberapa orang mempunyai kemampuan dan keberanian buat mengungkapkannya ke ruang publik. Tapi pedulikah kita? Beberapa sastrawan Surabaya menganggap teks mereka sebagai keluh-kesah, dan mengharap agar para buruh migran itu tak menulis sentimentalisme akibat kondisi kerja yang eksploitatif - penderitaan ngenes nelongso mereka di LN. Mungkin juga mereka menuntut teks sastra yang indah dan ekspresis rumit mengobral variasi kata-kata dan kalimat dalam akrobatisasi bahasa.

Mungkin. Dan mungkin para buruh migran itu yang justru sedang menggugat para sastrawan salon Surabaya itu dengan pertanyaan: "Di mana kalian ketika kami dieksploitasi dan terjajah tanpa daya?" Tidak di mana-mana? Karena Multatuli, Szekely-Lulofs, dan Mangunwijaya telah lama meninggal. Memang.[]

@Suara Karya Minggu, 29 Januari 2006

0 tanggapan: