Bukan Yem sudah Dibukukan

Cerita Pendek Bukan Yem karya Etik Juwita (BMI-HK) yang berada di dalam barisan 20 Cerpen Terbaik Indonesia pilihan PT Kharisma Pena Kencana itu telah dibukukan, dan diluncurkan di Jakarta. Inilah beritanya, di Kompas hari ini:


Sastra (Koran) Semakin Diapresiasi


Telah tiba masanya pengarang atau sastrawan kita bergelimang uang. Sebelumnya, sastrawan hanya sedikit yang kecipratan rezeki lumayan dari karya-karyanya. Namun, pascareformasi, buku-buku sastra beberapa pengarang ternyata laris, cetak ulang belasan kali, dan royaltinya bisa lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kesan yang bisa ditangkap, sastra semakin diapresiasi, semakin diminati.

Pemerintah belum mengapresiasi sastra seperti mengapresiasi olahraga sehingga mau menyediakan bonus ratusan juta rupiah. Prestasi di bidang sastra yang turut mengharumkan nama bangsa bagai angin lalu.

Untunglah, setelah Penghargaan Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award), dengan hadiah Rp 100 juta untuk prosa dan puisi terbaik serta Rp 25 juta untuk penulis muda terbaik, kini ada Anugerah Sastra Pena Kencana. Penghargaan yang digagas PT Kharisma Pena Kencana ini menyediakan hadiah Rp 50 juta untuk puisi dan cerita pendek (cerpen) terbaik yang terbit di media cetak.

Untuk Anugerah Sastra Pena Kencana 2008, dewan juri Ahmad Tohari, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Apsanti Djokosujatno, Sitok Srengenge, Joko Pinurbo, dan Djamal D Rahman memilih 20 cerpen dan 100 puisi nomine, yang karyanya dibukukan ke dalam 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 dan 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008.
Buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama itu, Rabu (5/3) petang, diluncurkan di Toko Buku Gramedia, Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, dibedah Sapardi dan Djamal serta Radhar Panca Dahana.

Angkat martabat

Menurut Direktur Program Penyelenggara Anugerah Sastra Pena Kencana Triyanto Triwikromo, sastra Indonesia seperti sastra dunia, tak pernah hadir dalam ruang vakum sejarah, jatuh dari langit, atau muncul dari dunia antah-berantah. Ia juga tak pernah mungkin hidup tanpa peran, ideologi, industri, atau, yang paling penting, pembaca.

”Kebudayaan Yunani Kuno, ketika para pemikir besar sekelas Socrates, Plato, dan Aristoteles hidup, tidak mungkin lepas dari sumbangan sastra,” paparnya.

Anugerah Sastra Pena Kencana hadir untuk lebih memartabatkan sastrawan dan mengembangkan peran pembaca. Untuk 2008, puisi dan cerpen terbaik masing-masing mendapat Rp 50 juta.

Komisaris PT Kharisma Pena Kencana Nugroho S selaku penggagas Anugerah Sastra Pena Kencana mengatakan, ”Pemberian anugerah akan berkelanjutan dan ke depan hadiahnya diharapkan ditingkatkan.”

”Dengan melibatkan pembaca dalam penilaian sastra, kita akan mampu menjaring pendukung lebih luas,” tandas Triyanto, yang Januari 2008 menjadi peserta Gang Festival dan Residensi Sastra di Sydney, Australia.

Sastra koran

Sebanyak 20 cerpen terbaik Indonesia 2008 dan 100 puisi terbaik Indonesia 2008 adalah cerpen-cerpen dan puisi-puisi yang dimuat di koran Kompas, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Jawa Pos, Lampung Pos, Bali Pos, Pontianak Pos, dan Pikiran Rakyat.

”Tak bisa dimungkiri betapa sastra hari ini adalah ’sastra koran’. Dan koran yang dipilih dianggap mewakili pemuatan karya sastra seluruh Indonesia,” ujar Direktur Program Triyanto.

Dalam bedah buku, Sapardi mengatakan, sajak-sajak koran dalam antologi 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 tidak ada yang berujud puisi konkret yang ekstrem yang mengubah seni kata menjadi seni visual.

Sapardi mengakui, sejumlah puisi tampak masih gagap, mengingatkan kita pada sebagian besar puisi dekade 1950-an ketika kebanyakan penyair dalam tahap awal memahami dan menghayati bahasa Indonesia.

Djamal mengatakan, kini koran menjadi kiblat sastra. ”Cuma yang menjadi masalah sastrawan adalah keterbatasan halaman koran,” katanya. Menurut dia, peran sastra ke depan adalah bagaimana memproyeksikan masa depan Indonesia.

Sedangkan Radhar yang mengkritisi cerpen dan puisi menilai dunia sastra atau fiksi Indonesia belum berhasil menyodorkan kepada publik, manusia, sejarah tentang pemahaman terhadap publik, manusia, dan sejarah itu sendiri.

”Pembaca tak mendapatkan trotoar untuk menjalani hidup ini. Cerpen dan juga puisi tampil untuk membaguskan bahasa, tidak dalam makna. Yang ditemui dunia yang ideal, tidak dunia nyata,” tandasnya. (YURNALDI)


dikopas dari Kompas, Sabtu, 8 Maret 2008 | 02:13 WIB

0 tanggapan: