Oleh: Tjahjono Widarmanto
Festival Seni Surabaya (FSS) 2008 kembali digelar. Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, FSS menyajikan beragam bentuk seni mulai teater, tari, musik, sastra, dan pasar seni. Format FSS itu sudah dipakai berulang-ulang meski temanya dari tahun ke tahun selalu berbeda.
Dan, seperti kita tahu bersama, tema yang disodorkan pantia jarang direspons oleh penyaji yang diundang maupun yang melalui proses seleksi. Maka, tidak heran kalau ada kritikan tajam bahwa FSS sekadar ''nanggap'' kelompok seni yang sudah jadi saja.
Diakui atau tidak, setiap tahun penyelenggaraan FSS muncul berbagai kritik dari berbagai kalangan. Dan, kritik itu hampir selalu ditujukan pada minimnya perhatian penyelenggara pada seniman-seniman lokal (Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya). Bahkan, yang lebih tragis lagi para seniman lokal yang ingin menjadi penyaji harus melalui audisi atau bahasa kerennya: kurasi.
Akibatnya, kecemburuan terjadi. Respons terhadap FSS pun jadi apatis bagi sebagian seniman lokal. Sedikit persoalan mudah diungkit ke permukaan. Tingkat partisipasi seniman (lokal) terhadap FSS jadi rendah. Ini terbukti tidak ada seniman yang dengan sadar mempersiapkan karyanya secara khusus untuk even yang diadakan setiap tahun di dua minggu awal Juni ini. Ironisnya, FSS justru bukan menjadi ''pesta'' seni, melainkan ''pesta caci maki'' yang jauh dari tradisi intelek dan kesenian.
Seperti yang terjadi pada FSS 2007. Dalam katalognya --kalau Anda sempat membaca dan jeli-- sebenarnya ada kekeliruan mendasar. Dalam cover itu tertulis dengan huruf besar Festival Seni Surabaya 2007 dengan tema ''Peradaban Baru''. Namun, sebenarnya kata ''Seni'' yang tertera dalam akronim FSS itu tidak ada. Kalau ada, kata ''Seni'', itu hanya tempelan saja. Maksudnya?
Secara berseloroh, seorang teman mengatakan, dalam festival itu hampir tidak ada penyaji dari Surabaya. Ada juga seloroh yang lebih esensial, jangan-jangan kesalahan cetak itu memang bentuk kritik bahwa di Surabaya memang sudah ''tidak ada seni'' yang berstandar festival. Memang, terlalu arogan kalau dikatakan Surabaya tidak mempunyai kelompok kesenian dengan karya berstandar festival. Sebab, ukuran atau kriteria standar festival selalu menimbulkan pro dan kontra.
Karena itu, panitia FSS 2008 tidak boleh menutup mata terhadap perkembangan kesenian di Jawa Timur. Kekuatan-kekuatan itu memang tidak bisa dibandingkan dengan seniman-seniman dari luar Jawa Timur. Ada problem infrastruktur dan suprastruktur yang mempengaruhi perkembangan seni di Jawa Timur jadi terlambat dan terhambat.
Meski begitu, para seniman Jawa Timur tetap bisa eksis dengan caranya sendiri. Misalnya di bidang sastra yang secara signifikan mampu bersaing di tingkat nasional. Begitu juga komunitas-komunitas teater di kampus, produk-produknya tidak memalukan. Kelompok teater di Madiun, Jombang, Malang, Pacitan, dan Ponorogo, juga punya cara sendiri untuk terus eksis di tengah keterbatasan fasilitas dan konsep kesenian.
Dengan keterbatasan itu pendekatan pemilihan penyaji FSS 2008 dari Jawa Timur haruslah berbeda dengan penyaji dari luar Jawa Timur. Bisa jadi panitia tidak lagi menjadi lembaga ''pemilih'' produk seni untuk dikonsumsi bersama-sama di ajang festival, tetapi menjadi lembaga motivator, advokasi (pendampingan), dan penciptaan karya. Dengan cara seperti itu panitia FSS bisa dibedakan menjadi penyelenggara festival seni atau menjadi event organizer (EO).
Dari informasi yang saya peroleh, penyelenggaraan FSS tahun ini berupaya mengakomodasi muatan lokal yang lebih banyak dalam hal penyaji. Jumlah penyaji dari Jawa Timur banyak dimunculkan. Apakah ini merupakan kesengajaan panitia --karena tema yang diusung ''100 Tahun Kebangkitan Nasional: Tribute to Surabaya?''-- atau karena hal lain? Saya tidak tahu banyak ''dapur''-nya.
Namun, dari jumlah penampil Jawa Timur yang cukup lumayan, kita berharap, itu tidak hanya sebatas kepedulian FSS terhadap seniman Jawa Timur, tetapi juga mulai membuktikan perubahan ''manajeman baru'' dalam proses penyelenggaraan FSS.
Mau tidak mau FSS yang sudah terselenggara 11 kali dalam 13 tahun terakhir, harus membuat terobosan baru dalam manajemen penyelenggaraan. Tidak hanya manajemen penggalangan sponsor, tetapi juga manajemen isu dan manajemen sajian yang saya lihat dari tahun ke tahun tidak mempunyai format yang baru dan menjanjikan. Bahkan, boleh dikatakan cenderung monoton dan membosankan.
Di balik hal-hal teknis itu, ada harapan bahwa setiap penyelenggaraan FSS, publik dan seniman Jawa Timur menunggu hadirnya generasi-generasi seniman baru. Tidak ada buruknya kita menantang, bahwa Jawa Timur masih mempunyai potensi seni (man) yang bisa diperhitungkan. Publik berhak ''merebut'' FSS karena festival ini juga didanai APBD Surabaya! (*)
*) Tjahjono Widarmanto, esais dan cerpenis, tinggal di Ngawi
Jawa Pos [Minggu, 01 Juni 2008]
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar