Pemerintah Kaji Sistem Baru TKI

JAKARTA (SI) – Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sedang mengkaji kebijakan baru penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di sektor penata laksana rumah tangga (PLRT).

Rencananya,para TKI ini nantinya tidak lagi tidak tinggal serumah dengan majikan, tetapi akan ditampung dalam sebuah asrama. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) M Jumhur Hidayat mengatakan pola penempatan TKI yang tidak tinggal serumah dengan majikan (live out system) bertujuan memberikan perlindungan bagi PLRT terhadap kasus kekerasan dan pelecehan yang sering dilakukan para majikan.

“Kita sedang mewacanakan live out system, masih terus dikaji, sehingga perlindungan terhadap TKI bisa lebih maksimal,” ungkap Jumhur kepada harian Seputar Indonesia (SI) di Jakarta kemarin.Menurut dia, kebijakan baru ini sedang dirumuskan bersama dengan negara-negara pengirim tenaga kerja seperti Filipina,Vietnam. Dengan adanya persepsi yang sama antarnegara pengirim PLRT, kata dia, akan mudah untuk mendesak negara-negara penerima TKI seperti Malaysia dan negaranegara Timur Tengah untuk mengizinkan tenaga kerja migran tinggal di luar rumah.

Jumhur mengungkapkan, di Uni Emirat Arab, wacana tentang PLRT yang tinggal secara live outmulai dibicarakan secara luas. “Mereka malu.Pemerintahnya mulai memikirkan imej mereka yang disebut-sebut menjadi penyiksa dan pemerkosa TKI. Makanya, mereka setuju sistem live out,” ungkap Jumhur. Dengan sistem ini, jelas dia, nantinya PLRT akan tinggal di sebuah asrama.Setiap pagi mereka akan dikirim ke rumah majikan dan sorenya dijemput kembali.“Jadi, mereka juga tidak kerja selama 24 jam.

Diharapkan hal itu juga akan menjauhkan mereka dari kekerasan yang tidak diinginkan,” ujarnya. Jumhur mengaku,TKI informal memang rawan terkena berbagai tindakan kekerasan atau pelecehan seksual,terlebih bila mendapatkan majikan yang kurang menghormati dan menghargai mereka. ”Mereka menjadi objek kekerasan dari majikan,”kata Jumhur.Selain itu, terang Jumhur, kerap TKI tak hanya dipekerjakan oleh majikan dan keluarga,tetapi juga harus melayani saudara atau kerabat majikan sehingga menambah beban kerja.

”Hal itu yang mengakibatkan banyak TKI yang bekerja selama 24 jam sehari,padahal seharusnya hanya bekerja 8 sampai 10 jam,” paparnya. Saat ini, ungkap Jumhur, setiap bulan Indonesia menempatkan 60.000 tenaga kerja ke luar negeri.Artinya, dalam sehari, ada 2.000 TKI yang dikirim ke luar negeri. Atau setiap jam, ada 300 TKI dari seluruh pelosok Indonesia berangkat ke luar negeri. Dari jumlah itu, 80% permasalahan penempatan TKI PLRT itu bersumber dari dalam negeri yang tidak beres seperti rekrutmen yang memakai calo,tidak ada pelatihan, dan pemalsuan dokumen-dokumen. ”Para pemalsu dokumen ini kebanyakan mengirim TKI PLRT ke negara Timur Tengah dan Malaysia,”papar Jumhur.

Menanggapi hal ini, Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan setuju atas kebijakan baru yang sedang digagas pemerintah ini.Namun, menurut dia, aturan ini juga harus menjadi bagian negosiasi politik antarpemerintah kedua negara. “Jangan hanya jadi ide yang tidak bisa diwujudkan.Wacana ini harus jadi bagian dari sistem dan tata kelola perlindungan TKIsecarakeseluruhan dari pemerintah,”tegasnya. Wahyu menilai, meski kebijakan ini dapat berlangsung efektif untuk mengeliminasi tindak kekerasan terhadap PLRT,dia pesimistis aturan ini dapat diterima oleh negara penempatan.

“Kalau di Hong Kong mungkin bisa.Tetapi,kalau di Malaysia atau negara Timur Tengah, saya rasa sulit karena aturan formal mereka tidak memungkinkan,” tandasnya. Di Arab Saudi misalnya, lanjut dia,PLRT masih dianggap properti atau pajangan bagi para majikan sehingga dapat seenaknya saja diperlakukan kasar. Apalagi, undang-undang (UU) yang mereka miliki tidak memasukkan PLRT sebagai bagian dari kebijakan perlindungan bagi pekerja asing. (rendra hanggara)

Sindo Sunday, 11 October 2009

0 tanggapan: