Terpuruknya nasib tenaga kerja Indonesia (TKI), bukan hanya sering dilecehkan di luar negeri, tetapi juga diperas begitu tiba di bandara. TKI yang berhasil keluar dari Terminal Dua, misalnya, tentu tidak bebas melenggang, alias gratis. Mereka harus membayar sejumlah uang kepada calo antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per orang. Diperkirakan jumlah TKI yang berhasil lolos dari Terminal Dua mencapai 10 persen dari total 800 orang yang tiba setiap hari.
Bila dihitung, uang yang berhasil diperas dari TKI sebesar Rp 80 juta setiap harinya. Dalam setahun potensi pemerasan terhadap TKI sebesar Rp 28,8 miliar. Nilai ini masih dari TKI yang dapat dikeluarkan di Terminal Dua.
Selain Terminal Dua, Terminal Tiga Bandara Internasional Soekarno-Hatta telah menjadi momok yang menakutkan bagi para TKI yang kembali ke Tanah Air. Keberadaan terminal itu semula bertujuan melindungi para TKI telah berubah menjadi tempat pemerasan.
Terminal yang mulai beroperasi sejak tahun 1999 ini sangat jauh berbeda dari terminal lain. Terminal itu tertutup dan dijaga ketat aparat. Butuh izin khusus atau dokumen resmi untuk masuk.
Fasilitas yang ada berbeda dari terminal lain. Terminal Tiga juga tidak lebih terminal bus antarkota yang kebetulan berada di bandara internasional.
Terminal Tiga merupakan sebuah bangunan yang mirip hangar pesawat. Lokasi tersebut terletak di sebelah timur laut landasan pacu penerbangan interna- sional. Bagian dalamnya hanyalah ruang terbuka, yang hanya memiliki 20 kipas angin ukuran sedang. Kipas angin tersebut pun tidak semua beroperasi sehingga para TKI yang berada di dalam gedung merasa tidak nyaman karena kepanasan. Fasilitas di dalam sangat berbeda dengan ruang tunggu terminal bandara pada umumnya. Sangat jauh dari fasilitas aman dan nyaman.
Di sisi kiri ruangan itu tersedia tempat penukaran uang, warung telekomunikasi (wartel), yang bertarif Rp 8.000 untuk menelepon satu menit ke nomor lokal. Selain itu juga ada warung makan dan kios pulsa telepon seluler. Sedangkan di sisi kanan terdapat ruangan tempat istirahat para TKI yang ukurannya sekitar 15x4 meter, toko elektronik, dan sebuah ruangan penukaran uang milik salah satu bank pemerintah.
Begitu masuk, TKI yang diberangkatkan dari Terminal Dua langsung diarahkan ke loket pendataan di Terminal Tiga. Di sini, mereka disuruh mengisi formulir yang menjelaskan alasan kepulangan. Misalnya, dalam rangka cuti, sakit atau sudah selesai masa kontrak. Selain itu, diminta menuliskan barang-barang yang dibawa.
Setelah urusan dengan segala tetek-bengek, para TKI harus bersabar menunggu diberangkatkan ke daerah tujuan masing-masing. Sejumlah TKI mengeluhkan keberangkatan mereka. Bahkan ada TKI yang diberangkatkan setelah tiga hari menginap di gedung tersebut.
Angkutan khusus yang disediakan baru berangkat setelah memenuhi kuota penumpang yang ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan TKI menumpuk di Terminal Tiga.
Menunggu Tiga Hari
Margo (36), TKI yang bekerja di Malaysia, harus menunggu angkutan khusus TKI di Terminal Tiga selama hampir 23 jam. Dari Terminal TKI inilah, dia baru bisa berangkat menuju kampung halaman untuk bertemu anak dan keluarga dekat lainnya. Namun, keluhan Margo hanyalah sebatas keluhan. Dia harus pasrah bersama ratusan TKI lainnya menunggu jam pemberangkatan. Para TKI tidak bisa keluar dari Terminal Tiga bila tidak menggunakan bus agen perjalanan yang disediakan BNP2TKI.
Seraya menggerutu, ia terpaksa merogoh dompet dan uang sebesar Rp 140.000 untuk membayar angkutan yang akan mengantarkannya ke Depok, Jawa Barat. "Sudah harga tiket mahal, berangkatnya lama lagi. Kalau jalan sendiri jauh lebih murah dan sampainya cepat," ujarnya
Di papan pengumuman terpampang daftar harga tiket perjalanan. Persisnya terletak di belakang loket pendataan TKI. Di antaranya, untuk tujuan Jakarta Rp 125.000, Tangerang Rp 120.000, Yogyakarta Rp 430.000, Magelang Rp 370.000, Surabaya Rp 445.000, Cianjur Rp 250.000, Depok Rp 140.000.
Bila sudah memenuhi kuota para TKI pun diberangkatkan. Biasanya paling sedikit lima orang. Jubaedah (23) salah satu TKI asal Sukabumi menceritakan selama dalam perjalanan menuju kampung halaman harus mengeluarkan uang tambahan sebesar Rp 300.000. Uang tersebut diberikan kepada sopir Rp 250.000 dan biaya makan di salah satu rumah makan sebesar Rp 50.000. Padahal, Jubaedah telah membayar ongkos travel di Terminal Tiga sebesar Rp 250.000. "Sebelum tiba di rumah, semua penumpang dipaksa memberikan sejumlah uang kepada sopir. Ada yang bayar Rp 300.000 dan Rp 400.000. Kalau saya hanya Rp 250.000 karena tidak punya uang lagi. Orang di sini tidak punya perasaan. Dipikir kita gampang cari uang di negeri orang," keluh Jubaedah, TKI yang baru tiba dari Dubai.
Menanggapi keluhan itu, Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat mengakui pihaknya belum maksimal dalam melayani TKI. "Badan ini beroperasi di Terminal Tiga baru tujuh bulan. Lagipula kita masih menumpang di terminal itu. Banyak pihak yang masih berkepentingan di terminal itu. Kita akan terus membenahi segala kekurangan yang ada," ujarnya.
Adanya sejumlah pihak yang menuding bahwa BNP2TKI tidak becus menangani TKI, Jumhur menanggapinya dingin, dengan mengatakan opini itu sah-sah saja dilontarkan. "UU 39/2004 itu ada karena akumulasi permasalahan setelah 30 tahun silam. Tradisi lama itu sulit dihilangkan. Ini harus diubah dengan adanya kebijakan negara dengan dibentuknya BNP2TKI untuk mengatasi permasalahan TKI. Ternyata titik-titik permasalahan sudah mulai ketahuan. Tugas kami memastikan TKI harus mengikuti prosedur yang benar," papar dia.
Untuk mengurangi kebergantungan pelayanan TKI dengan instansi lain, lanjut Jumhur, pihaknya akan membuka Terminal Empat pada Januari 2008 mendatang. [HTS/A-17]
SUARA PEMBARUAN
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar