Lebih Dekat dengan Sofjan Wanandi, Ketua Umum Apindo (2008-2013)


Kita Harus Melihat Buruh sebagai Partner

Nama Sofjan Wanandi sudah tidak asing di kalangan pengusaha. Sepak terjang orang yang pernah disebut-sebut sebagai antek Ali Moertopo cs itu memang sudah mengglobal. Yang mutakhir, dia terpilih kembali sebagai ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Kepada Iwan Ungsi dari Jawa Pos, pria kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, 3 Maret 1941, tersebut memaparkan program Apindo, hubungan buruh dengan pengusaha nasional, serta pengalaman hidupnya.



Ditemui di rumahnya di Jalan Gereja Theresia 25, Sofjan Wanandi masih terlihat energik. Dia mengaku baru selesai berenang bersama cucu-cucunya. Kakek sembilan cucu itu mengungkapkan, waktunya pada akhir pekan memang selalu digunakan untuk bermain bersama para cucu.

Dengan suguhan singkong hasil kebunnya di Puncak, pria yang juga bernama Liem Bian Koen tersebut mengisahkan perjalanan hidupnya yang dia katakan biasa-biasa saja.

Dia lahir di Sawahlunto, kemudian bersekolah dasar hingga tingkat menengah di Padang. Semasa duduk di SMP Padang, Sofjan sempat menjadi penjaga toko kelontong dan binatu milik ayahnya yang pedagang kopra. Dia kemudian hijrah ke Jakarta untuk bersekolah di SMA Kanisius.

Dia sempat mencicipi tinggal di Bandung saat diterima kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran. Hanya berselang setahun, bos Grup Gemala tersebut kemudian diterima di Universitas Indonesia hingga tingkat lima. Namun, dia tidak meneruskan kuliah karena insiden G 30 S/PKI.

Almamater jaket kuning itulah yang membawa dirinya terjun ke dunia politik saat itu. Sumbunya adalah pertentangan antarideologi politik mahasiswa terjadi antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan kelompok-kelompok mahasiswa lainnya.

Sebagai ketua PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), "pertengkaran" ideologi dengan kubu PKI tersebut tak terhindarkan. Hingga akhirnya, dia harus dibui oleh pemerintahan Soekarno.

Lima hari kemudian, dia dibebaskan. Tampaknya, langgam sejarah berpihak kepada dirinya. Pemerintahan Soekarno tumbang, digantikan Orde Baru di bawah pemimpin pemegang mandat Supersemar Mayjen Soeharto.

Karir organisasi mahasiswanya membawa Sofjan menjadi ketua KAMI Jaya. Saat itu, koleganya, Wapres Jusuf Kalla, juga menjabat ketua KAMI Makassar. Ikut bergabung dalam Sekber Golkar menjadikan Sofjan termasuk anggota DPR termuda saat itu bersama 10 rekan mahasiswa lainnya seperti Cosmas Batubara, Nono Makarim, Fahmi Idris, Abdul Gaffur, David Napitupulu, dan Mar’ie Muhammad.

Kemudian, Sofjan juga dekat dengan Ali Murtopo serta ikut membantu menjadi sekretaris pribadi Soedjono Humardani yang saat itu merupakan orang-orang di lingkaran dalam kekuasaan Soeharto. Hanya satu periode menjadi anggota DPR, karir Sofjan 15 tahun selanjutnya adalah menjadi anggota MPR.

Pada akhir 1970, hanya beberapa saat setelah peristiwa Malari 15 Januari 1974, dia memutuskan banting setir menjadi pengusaha. Hal itu dilakukan setelah berkonsultasi dengan saudara-saudaranya, termasuk sang kakak, Yusuf Wanandi.

Keputusan tersebut didasari latar belakang pendidikannya. Banyak kalangan yang menuding dia terlibat dalam peristiwa Malari tersebut.

Kemudian, berawal dari PT Pakarti Yoga, Sofjan merintis bisnisnya di Grup Gemala. Dengan surat tanah rumah ayahnya dan gedung CSIS, perusahaan mendapatkan modal awal. Gedung CSIS digadaikan setelah mendapatkan lampu hijau dari Ali Murtopo.

Awalnya, dia mengerjakan proyek-proyek pemerintah seperti PT Pertamina dan PN Timah. Namun, belakangan setelah mulai mengkritik Soeharto, dia tidak pernah lagi berurusan dengan proyek pemerintah. "Saya lebih bebas. Semua itu ada hikmahnya," ungkapnya.

Sofjan mengingat bahwa hubungannya dengan mantan Presiden Soeharto mengalami pasang surut. Sepuluh tahun pertama dia katakan sebagai bulan madu. Kemudian, 15 tahun berikutnya sebagai masa vakum. Setelah masa itu, dia merupakan salah seorang yang tidak disenangi Soeharto.

"Itu saat saya mulai mengkritik tentang bisnis anak-anaknya. Saat di Prasetiya (Yayasan Prasetiya Mulya), kami juga mulai mengkritik Pak Harto," ujar Sofjan yang mengenakan kaus berkerah dan celana pendek santai itu.

Kemudian, sejarah bangsa masuk ke era reformasi yang ditandai krisis moneter dan jatuhnya pemerintahan Soeharto. Wakil Presiden Habibie yang saat itu menggantikan dinilai sebagai salah seorang yang tidak senang kepada dirinya.

"Saya dikerjain oleh Habibie. Padahal, saya tidak pernah mengkritik personal. Yang saya kritik adalah kebijakannya. Saat itu (1999-2000), saya sudah apatis," katanya.

Sempat tersirat dalam pikirannya bahwa dirinya akan tinggal di luar negeri. Toh, kredibilitasnya juga diakui di luar negeri. Beberapa perusahaan ternama seperti Deutsche Bank (Jerman) dan Tiss (Australia) menjadikan dirinya sebagai penasihat.

Namun, suksesi politik yang cepat membuat takdir Sofjan harus kembali ke tanah Air. Gus Dur naik sebagai presiden dan meminta dirinya menjadi penasihat serta ketua Komisi Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN). "Saya berutang budi kepada Gus Dur," ujarnya.

Gus Dur yang tidak lama menjabat sebagai presiden membuat Sofjan harus tiarap lagi. Penggantinya, Presiden Megawati, adalah putri Proklamator Soekarno yang sempat dia tentang saat menjadi mahasiswa.

Kini, buah kerja kerasnya, Grup Gemala, yang mempekerjakan lebih dari 15 ribu tenaga kerja telah berkiprah di mancanegara (Australia dan Kanada). Membawahkan asuransi Wahana Tata, pabrik aki PT Yuasa Battery Indonesia, pabrik farmasi, dan lainnya.

Saat ini, hanya jabatan komisaris yang dia sandang. Roda operasional perusahaan telah diserahkan kepada anak-anak laki-lakinya. Yakni, Lestarto, Lukito, dan Witarsa yang namanya diberi oleh almarhum Kapolri Jenderal (pur) Hoegeng.

Berbagai pencapaian tersebut membuat Sofjan merasa perlu berterima kasih kepada negeri ini. "Saya sangat berterima kasih kepada negeri ini. Tidak ada lagi ambisi saya secara ekonomi dan politik. Sebagai non-pri, jabatan politik saya saat itu sudah yang tertinggi sebagai anggota DPR. Nggak mungkin naik lagi. Demikian pula dengan ambisi ekonomi, sudah cukuplah yang saya punya ini," tegasnya.

Karena itu, energinya dicurahkan untuk kepentingan nasional. Di antaranya, menjadi ketua umum Apindo yang terpilih dalam Munas VIII di Hotel Borobudur, 27-29 Maret 2008. Dia sebenarnya ingin pensiun, namun masih banyak yang menginginkan dirinya menjabat lagi. "Sulit cari pengganti saya," ungkapnya.

Salah satu dasar yang diletakkan Sofjan, pertentangan kelas yang menjadi dasar pemikiran dalam menjelaskan hubungan antara buruh dengan pengusaha dinilai tidak lagi relevan. "Kita harus melihat buruh sebagai partner," ujar penghobi golf tersebut.

Dengan paradigma itu, Apindo memosisikan peran serta fungsinya sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab untuk menarik investasi padat karya di Indonesia.

Perubahan tersebut tergolong signifikan. Mengingat, selama ini, Apindo hanya mengurusi masalah-masalah perselisihan hubungan industrial yang menyangkut ketenagakerjaan.

Sofjan mengistilahkan, tujuan utama Apindo adalah menciptakan labor peace yang akan membuat investor luar negeri berbondong-bondong menanamkan investasi di Indonesia. "Jadi, buruh nggak perlu lagi mogok atau berdemonstrasi. Bahkan menyandera pemimpin perusahaan. Mana ada orang mau naruh duit di Indonesia kalau gitu caranya?" ungkapnya.

Tujuan tersebut bisa diperoleh dengan tiga program utama. Yakni, memiliki hubungan baik dengan buruh, melakukan penguatan organisasi, serta menyiapkan tim advokasi bagi perusahaan yang bersengketa dengan buruh.

Bila tiga program itu terwujud, labor peace akan tercipta dan bisa meraup potensi investasi ke tanah air. Salah satu potensi yang bisa diraih adalah rencana ribuan perusahaan Taiwan merelokasi investasinya dari Tiongkok. "Selama ini mereka lebih memilih Vietnam dan Korea. Mengapa? Sebab, Indonesia tidak segera berbenah," tegasnya.

Meski demikian, target tersebut tidak mudah dicapai. Sebab, pemerintah, pengusaha, dan buruh memiliki pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan baik. "Buruh harus memiliki organisasi yang kuat. Serikat Pekerja jangan lagi menjadi komoditas politik semata. Benar-benar harus dari buruh untuk buruh," katanya.

Pengusaha, ujar Sofjan, sangat membutuhkan organisasi buruh yang kuat. Hubungan mitra kerja membutuhkan kesetaraan pengetahuan. "Jangan lagi argumentasi pokokne…pokokne… Kalau sudah gitu, nggak jalan kita," ungkapnya.

Hal itulah yang coba dijembatani dengan membina hubungan bipartit (pengusaha-buruh) dengan membentuk sekretariat bersama bipartit menggandeng tiga konfederasi organisasi buruh. Yakni, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Rekson Silaban, Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Thamrin Mosii, dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Syukur Sapto. Tiga konfederasi itu membawahkan 36 federasi.

Beberapa kasus telah berhasil dipecahkan melalui komunikasi bipartit tersebut. Di antaranya, kasus Indah Kiat (bersama Rekson), Freeport (Syukur Sapto dan Rekson), serta Mattel.

Perbaikan di sisi pemerintah juga perlu dilakukan. Selama ini, kata Sofjan, pemerintah masih menjadi bagian dari masalah (part of problems) daripada menjadi solusi (part of solutions). "Mereka lebih sering mengadu pengusaha dengan buruh daripada menyelesaikan persoalan. Itu kan susah jadinya," jelasnya.

Kualitas sumber daya manusia di birokrasi juga harus terus ditingkatkan. "Jangan lagi ada cerita mantan kepala pemakaman menjadi petugas Dinas Tenaga Kerja. UU-nya nomor berapa saja tidak tahu," tegasnya.(iw)

Jawa Pos Minggu, 30 Mar 2008

0 tanggapan: