Oleh-oleh dari Diskusi Sastra di Surabaya

’’Lebih Sulit menemukan Penyair daripada cerpenis atau Novelis’’

’’Seorang pengarang besar dunia, Hemingway saja berprinsip ‘Dengan belajar banyak maka aku mendapatkan karyaku sendiri’. Dia berhasil mendapatkan nobel sastra setelah belajar banyak dengan cara mengikuti gaya berbagai pengarang lain sebelum akhirnya mengendap dan terbentuklah karya Hemingway dengan gayanya sendiri.’’



Kalimat itulah yang diungkapkan oleh Prof Budi Darma, sastrawan asal rembang yang kini tinggal di Surabaya, untuk menginspirasi dan memberi semangat pada penyair atau pengarang muda. ’’Seorang John F. Kennedy saja begitu mencintai puisi, sampai-sampai pada saat pelantikannya menjadi presiden pun dibuka dengan pembacaan puisi. Itulah yang membuat karya sastra di Amerika Serikta lebih berkembang daripada di Indonesia,’’ lanjut Budi darma.

Selain Aming Aminuddin, Soim Anwar dan Prof Budi Darma sebagai pembicara diskusi, berbagai penyair dan pengarang muda serta pecinta sastra memang hadir pada diskusi yang juga disiarkan langsung oleh salah satu radio di Surabaya tersebut. Tidak hanya pengarang-pengarang muda dari Unesa dan beberapa kota di Indonesia saja, tapi juga dihadiri oleh Dekan Fakultas Sastra Universitas Airlangga (Unair) Surabaya serta sastrawan asal Guangzhou dan daratan Tiongkok juga ikut hadir. Acara yang dimulai pukul 13.30 WIB tersebut menghadirkan Syirikit Syah sebagai moderator.

Dunia sastra Indonesia saat ini memang kembali menggeliat setelah novel Habiburahman berjudul Ayat-ayat Cinta mulai dicari lagi. Novel bernuansa Islami tersebut memang belakangan kembali digandrungi setelah film garapan Hanung Bramantyo yang mengangkat kisah dari novel tersebut menjadi box office dengan menyedot 3,5 juta penonton bioskop di seluruh Indonesia. Hal ini pula yang ramai diperbincangkan dalam Diskusi ‘Sastra Milik Pembaca : Siapa berhak Menentukan Kualitas Karya’ 5 April lalu.

Ya, kedua sastra inilah yang belakangan sedang populer. Novel Andrea Hirata diretas dari kisah nyata hidupnya bersama 9 kawannya yang diberinya julukan sebagai Laskar Pelangi oleh sang guru, untuk mengenyam pendidikan. Perjuangan gigih murid bersama dua ibu gurunya di pelosok Belitung ini berhasil terjual jutaan kopi. Sedangkan karya Habiburrahman belakangan dicetak ulang lantaran kesuksesan filmnya. Malah, dalam waktu dekat ia bakal merilis novel religi lain berjudul Ketika cinta Bertasbih.

Lantas, bagaimana kita tahu tema-tema karya sastra yang sedang diminati di suatu era?

’’Sastra itu sebenarnya mewakili sebuah simbol. Dan tema-tema sastra itu selalu bergulir dan berulang. Kita bisa lihat dari karya-karya yang sudah dimuat atau karya-karya yang saat ini sedang digemari. Nah, kalau sekarang karya Andre Hirata (novel berjudul Laskar Pelangi, Red) dan Habiburrahman yang sedang banyak dicari, maka tema-tema yang memiliki sense seperti itulah yang sedang bergulir saat ini,’’ jawab Soim Anwar, salah satu pembicara dalam diskusi tersebut yang juga seorang penyair.
Sayang, Indonesia termasuk Jawa Timur yang disebut-sebut banyak menghasilkan sastrawan rupanya sedang mengalami krisi penyair. Sepertinya menemukan penyair muda di era ini lebih sulit ketimbang cerpenis atu novelis yang belakangan populer. Hal ini juga diakui oleh Budi Darma.

’’Buktinya, dari 100 puisi terbaik yang kami pilih ternyata dibuat oleh hanya sekitar 50 sekian penyair. Mengapa? Ini karena tema-tema cerpen atau novel masih lebih banyak ketimbang tema-tema puisi. Satu hal yang mungkin bisa dipelajari untuk menjadi sastrawan hebat adalah banyak membaca sastra dunia. Sebab, dengan banyak membaca otomatis pikiran kita akan lebih berkembang,’’ pungkas Budi Darman. [NUY HARBIS/Intermezo, April 2008]

0 tanggapan: