Tanggapan untuk Khotimatul Husna

Patriarki Islam dalam AAC

MEMBACA telaah Khotimatul Husna, Ayat-Ayat Cinta: Pro atau Anti-Pe-rempuan? (JP Minggu, 20/4), saya teringat akan dua model pembacaan teks. Pertama, model dasar, yang cuma mengandaikan kemauan untuk mengapresiasi dengan memobilisasi empati, yang menghasilkan rasa simpati pada protagonis dan antipati pada antagonis cerita --atau pemujaan dan penyesalan yang berlebihan pada tokoh sampingan, yang menghasilkan klaim pada si penulis.



Kedua, model lanjutan, yang memerlukan kerangka teori sastra untuk menelaah teks, dengan mengandaikan teks bukan lagi milik dan tanggung jawab si penulis dan tergantung sepenuhnya dari kemampuan si pembaca untuk memaknai teks dengan teori sastra yang dipakai menganalisis. Khotimatul Husna (KH) melakukan keduanya ketika membaca dan menganalisis Ayat-Ayat Cinta (AAC). Ada empati, yang tak hanya ke pusat tampilan protagonis tapi juga ke sosok tokoh sampingan teks, dan dengan kehadiran sosok sampingan di pusat telaah, maka teori sastra feminis yang dipakai KH menganalisis menjadi tenaga untuk mengklaim pengarang (Habiburrahman El Shiraazy -HES).

Sebuah inkonsistensi saya pikir, karena kebebasan merayaan pembacaan (resepsi) bermakna pemaknaan teks tergantung kaca mata telaah (teori sastra feminis) yang sepenuhnya tanggung jawab KH dan bukan tanggung jawab HES yang telah dilepas keterikatannya dengan teks. Tragedi misresepsi serupa terjadi dalam pemaknaan "sastra seputar selangkangan" yang dilontarkan Taufiq Ismail dan ditentang Hudan Hidayat, yang menyatakan kalau teks sastra selangkangan tak seharusnya dibaca dengan kaca mata moral tapi kaca mata feminisme --bagaimana perempuan merayakan pilihan bebas dalam menghayati dan mengekspresikan keberadaan tubuhnya dengan sadar dan tanpa dikooptasi apa pun.

Lantas apa nada dasar dari AAC?

[]

KEBERADAAN AAC tidak lepas dari fakta, HES adalah santri yang sedang belajar di Al-Azhar, Kairo; dan ia belajar menulis lewat forum kelas menulis Forum Lingkaran Pena (FLP) yang tegas acuan Islam-nya. Dan, motivasi kemengarangannya pun tak bisa lepas dari setting Kairo, kecenderungan berdakwah yang normatif menyampaikan nash-nash Islam dengan nyaris menghindari tafsir yang mengungkap kehendak (free will) pribadi --acuan yang selalu menghindari jebakan sorga filsafat antroposentris Mutazilah. Karena itu eksistensi Fahri yang dominan harus dikaitkan dengan fakta sejarah kehadiran awal dakwah Islami di Arab, saat moral begitu longgar dan ikatan kepentingan dagang (kabilah), via per-nikahan atau persaudaraan angkat, dianggap lebih tinggi dari ikatan sedarah.

Fakta Islam datang untuk merentangkan tali silsilah sedarah yang bermula dari seorang ayah, patriarkial, dan merelatifkan ikatan persaudaraan angkat selain persaudaraan seiman dalam agama. Konsekuensi dari itu adalah keberadaan lingkaran dalam (keluarga inti) dan lingkaran luar yang bertolak dari konsep muhrim. Yang diperluas konsepnya dengan keberadaan saudara sepenyusuan, baik berdasar fenomena ibu tiri (bila tidak mengikuti garis patriarki ayah) atau cuma sepengasuhan. Di antara yang muhrim haram terjadi pernikahan, tak boleh ada garis silsilah baru karena semuanya sudah terkait ke satu pusat silsilah dari ayah yang patriarki, sedang dengan yang tak muhrim halal terjadi pernikahan. Sehingga nama dan konsep diri dalam Islam selalu merunut garis silsilah ayah, bin atau binti.

Otomatis relasi sosial selalu bermula dari mengamalkan konsepsi muhrim. Jilbab, pada dasarnya, adalah jarak tertipis yang memisahkan seorang perempuan dari lelaki lain yang bukan muhrimnya, dipertahankan oleh perempuan yang berada di luar lingkaran keluarga dan harus dihargai oleh lelaki yang bersosialisasi dengannya. Jadi, tak terlalu mengherankan kalau Fahri mendakwahkan Islam pada Maria yang bukan Islam tapi tetap bukan-muhrim, dalam dialog dalam bis yang penuh penumpang di tengah siang bolong. Sebuah pengadeganan yang tak romantis, sekaligus sangat dogmatik, meski gagah dari kaca mata fundamentalistik Islam. Dan, konsep muhrim itu semakin jelas ketika Fahri menolak menyembuhkan Nurul yang sakit hanya dengan sentuhan, hal yang tak mungkin karena itu melanggar konsep muhrim dan harus dengan melalui peleburan konsep bukan-muhrim lewat perkawinan --yang menyebabkan HES tampak dogmatis, kehilangan aspek humanisme situasi darurat dakwah rachmatan lil alamim.

Ketika konsep muhrim dikaitkan dengan keberadaan dan rentangan tali silsilah yang amat patriarki, maka posisi lelaki utama selalu mengedepan dan jadi tujuan untuk pembentukan garis silsilah baru. Nurul, lewat ayah yang salah satu kewajiban hidupnya adalah mengawinkan putrinya dengan lelaki genah, berupaya mencari sandaran patriarki baru tapi tak berhasil. Maria, dengan alasan hidayah surga dalam masa sekarat, mencoba mencari sandaran patriarki agar punya iman (Islam) dan imam (Fahri) dalam kehidupan di akherat bisa memperolehnya. Sedang Noura, yang merindukan lelaki genah dan terjebak lelaki biadab, mencoba mengubah garis takdir dengan menunjuk (baca: memfitnah, tapi jadi lain bila kita tahu motif patriarki Islaminya) Fahri, dan terhina karena salah bergaul dan tak menyadari garis nasib.

[]

ADA sinyalemen yang menunduh AAC mendakwahkan poligami. Saya pikir itu tidak tepat. Karena yang diceritakan itu keteguhan Fahri untuk belajar, tolabul ilmi, sebagai manifestasi jihad di tengah godaan iruk-pikuk duniawi yang bisa menyebabkannya terdegradasi hanya mengempati eksistensi lelaki ideal yang dikelilingi oleh perempuan. Ia menolak jadi si pejantan dan tetap teguh memegang niat awal datang ke Mesir, dan sekaligus mulai berdakwah di setiap kesempatan meski dengan pengetahuan yang agak terbatas. Casting karakter Fahri dalam kaca mata HES ada di kisaran itu. Poligami belum jadi porsi, belum dipertimbangkan sebagai cara untuk mengekspresikan bertindak adil di dunia bagi beberapa wanita sebagai cabang pohon silsilah yang satu. Karena HES belum punya pengetahuan tentang itu --mungkin juga kapasitas adil bagi si penerima keadilan yang bahkan tak dipunyai oleh kiai sekaliber Aa Gym.

Meski kerangka AAC mengharuskan HES melakukan penulisan novel lain yang bercerita tentang poligami, dengan tetap berpedoman pada kerangka tali silsilah patriarki, konsep muhrim dan keadilan yang sebanding bagi setiap istri --yang hidup dan bukan mati seperti Maria. Tapi, apa poligami itu wajib bagi setiap lelaki ideal? Kenyataannya, anjuran untuk kawin dan juga berpoligami berkaitan dengan kemampuan si lelaki dengan dibatasi anjuran untuk intropeksi: apakah mampu berbuat adil pada semua istri dan anaknya. Bila tidak, ya dianjurkan dan bahkan sangat dianjurkan-Nya untuk monogami saja. Dan, HES sepertinya memilih kemungkinan terakhir. Dogmatis, tak avonturistik emang. (*)

Beni Setia, pengarang tinggal di Madiun

Jawa Pos Minggu 27 Apr 2008

0 tanggapan: