Liku-liku Merealisasikan Buku Murah

Oleh Supriyoko

Ada hal menarik untuk kita simak ketika Mendiknas Bambang Sudibyo mengadakan silaturahmi dan diskusi tentang capaian kinerja Depdiknas 2005-2007 dengan pimpinan media massa di Solo, Sabtu 12 April lalu, yaitu tentang buku murah.



Pada kesempatan tersebut, Pak Bambang menyatakan masyarakat tidak perlu cemas terkait adanya pemangkasan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pengadaan buku atau yang lebih dikenal dengan BOS Buku. Mengapa demikian? Sebab, pemerintah telah membuat program buku murah bagi peserta didik. Pemangkasan BOS Buku tidak menjadi masalah dan tidak perlu dirisaukan karena sudah ada penggantinya, yakni program buku murah.

Dalam program buku murah tersebut, Depdiknas atau pemerintah membeli hak kopi (copyright) buku dari penulis secara langsung, selanjutnya mengizinkan siapa saja untuk menggandakannya, menerbitkannya, atau memperdagangkannya dengan syarat harga murah hingga dapat terjangkau oleh orang tua murid.

Dia pun menunjukkan angka konkret 2007, yakni Depdiknas membeli 37 judul buku teks pelajaran, dan tahun ini direncanakan membeli 250 lebih judul lagi.

Positif

Program buku murah yang dilontarkan menteri pendidikan tersebut memang penting. Sebab, selama ini tingkat kepemilikan dan keterbacaan buku di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia relatif amat rendah. Pelajar SMA, misalnya, ketika menjadi siswa selama tiga tahun belum tentu mampu membeli 10 buku pelajaran. Bahkan, banyak yang tidak mampu membeli 1 judul buku pun. Hal itu juga berlaku pada mahasiswa kita yang nota bene sebagai calon pemimpin bangsa.

Atas realitas tersebut, maka program buku murah diharapkan mampu menjadi alternatif untuk memecahkan "kebuntuan" itu.

Pemerintah sendiri, tampaknya, tidak main-main atas kebijakannya tersebut. Setidaknya, sekarang sudah dikeluarkan Permendiknas No 2/2008 tentang Buku yang mengatur penyebarluasan buku secara murah, khususnya buku teks pelajaran untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.

Pasal 3 ayat (4) menyatakan departemen (Depdiknas), departemen yang menangani urusan agama, dan/atau pemerintah daerah dapat membeli hak cipta buku dari pemiliknya untuk memfasilitasi penyediaan buku bagi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik dengan harga yang terjangkau.

Selanjutnya, pasal 8 ayat (1) menyatakan departemen, departemen yang menangani urusan agama, dan/atau pemerintah daerah dapat mengizinkan orang-perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum untuk menggandakan, mencetak, memfotokopi, mengalih-mediakan, dan/atau memperdagangkan buku yang hak ciptanya sudah dibeli.

Dari sisi peraturan, sepertinya konsep penyediaan buku murah itu tidak ada masalah lagi. Ketentuan tersebut secara langsung memotong mata rantai industri perbukuan yang terkadang memang rumit dan melelahkan pihak industri buku itu sendiri.

Program buku murah yang diluncurkan pemerintah memang jadi tantangan tersendiri bagi pihak penerbit. Karena itulah, banyak penerbit yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pihak IKAPI sendiri berharap agar kebijakan pemerintah tersebut jangan mematikan penerbit buku yang selama ini menunjukkan kontribusinya dalam penyediaan buku-buku pelajaran yang bermutu.

Harapan IKAPI tersebut realistis. Jadi, memang perlu perhatian dan tindakan nyata dari pemerintah. Sebuah win-win solution diperlukan. Artinya, program buku murah tetap berjalan tanpa harus mematikan penerbit yang selama ini sudah banyak jasanya.

Banyak cara untuk itu. Misalnya, pemerintah membebaskan pajak yang berlebihan, pemerintah menyubsidi kertas, dsb. Dengan cara ini, masyarakat tetap dapat menikmati harga buku yang murah, sementara pihak penerbit tidak mati karenanya.

Tidak Mudah

Meski program buku murah tersebut sangat positif dan bermanfaat, tidak akan mudah merealisasikannya. Meski peraturannya sudah diberlakukan, realisasinya belum diwujudkan.

Memang pembelian hak cipta dapat langsung dilakukan kepada penulis, dan ini akan memotong mata rantai industri perbukuan. Namun, itu tidak berarti menyelesaikan semua permasalahan.

Kiranya perlu diketahui bahwa untuk menjadi naskah buku yang siap terbit, maka naskah asli dari penulis masih memerlukan sentuhan banyak profesi, antara lain, editor untuk mengoreksi naskah, desain grafis untuk me-lay out naskah, penyunting untuk menyunting naskah, ilustrator untuk menyajikan ilustrasi naskah, dsb. Kalau dikaitkan dengan "doku", sudah tentu banyak profesi tersebut berbanding lurus dengan banyaknya biaya yang dikeluarkan.

Dari sisi penggandaan dan pemerdagangan, oplah buku di Indonesia pada umumnya relatif rendah hingga tidak semua orang, kelompok orang, dan badan hukum yang tertarik untuk menggandakan sekaligus memperdagangkan buku karena sulitnya mengais keuntungan yang berlimpah.

Itulah berbagai kendala yang akan dihadapi pemerintah untuk merealisasikan program buku murah. Meski demikian, karena buku murah memang sangat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya pelajar dan mahasiswa, maka kita wajib mendukung dan menyukseskannya sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. (*)

Prof Dr Ki Supriyoko MPd adalah pamong Tamansiswa, wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang

Jawa Pos, Jumat, 18 Apr 2008

0 tanggapan: