Berpotensi Ada Diskriminasi Informasi

Catatan untuk UU KIP

Oleh: Ahmad Faisol

DPR mengesahkan RUU KIP menjadi UU pada Kamis 3 April 2008. Dengan demikian, Indonesia kini menjadi negara yang memiliki UU yang menjamin hak atas informasi. Artinya, harapan akan terwujudnya pemerintahan yang transparan dan akuntabel sudah terlembagakan. Masyarakat sudah memiliki jaminan hukum yang mengatur haknya untuk mengakses informasi dari badan publik. Mereka dapat meminta informasi yang dibutuhkan dalam rangka ikut mengawasi jalannya pemerintahan. Pengesahan UU KIP ini juga menjadi akhir dari proses panjang pembahasannya. UU ini memerlukan waktu tujuh tahun dan DPR dua periode, 1999-2004 dan 2004-2009 untuk menyelesaikannya. UU KIP menjadi usul inisiatif DPR untuk kali pertama pada 2001.

[]

Tanpa mengurangi apresiasi dan penghargaan terhadap kerja keras anggota DPR, ada beberapa catatan kritis yang dapat disampaikan terhadap isi UU KIP. Beberapa ketentuan dalam UU KIP berpotensi menghambat hak atas informasi publik dan bertentangan dengan standar internasional hak atas informasi publik.

Pertama, UU KIP membatasi pemohon informasi hanyalah warga negara atau badan hukum Indonesia. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan diskriminasi informasi. Warga negara asing tidak dapat mengakses informasi dari badan publik untuk kepentingan dan alasan apa pun. Efek langsungnya, jurnalis atau peneliti asing tidak akan bisa mengakses infomasi publik begitu undang-undang ini disahkan. Selain bertentangan dengan standar internasional yang menyatakan hak mengakses informasi adalah hak semua orang, hal ini juga membuat Indonesia menutup diri dari arus informasi global.

Kedua, ketentuan keharusan pemohon informasi mencantumkan alasan saat meminta informasi. Hal ini tidak menjadi masalah jika untuk kepentingan tertib administrasi belaka. Tapi, menjadi persoalan jika keharusan mencantumkan alasan menjadi dalih pejabat dokumentasi dan informasi untuk menolak permintaan informasi dari masyarakat. Kita patut mengkhawatirkan mengingat berbagai kajian menunjukkan kultur birokrasi masih didominasi rezim ketertutupan. Selain itu, ketentuan ini berpotensi menciptakan diskriminasi informasi. Pejabat publik dapat memilih siapa saja masyarakat yang dapat diberi hak mengakses informasi publik.

Ketiga, penetapan pasal pengecualian. UU KIP sudah menetapkan serangkaian kategori informasi yang dikecualikan. Sementara kewenangan penetapannya ada pada pejabat dokumentasi dan informasi melalui pengujian yang mempertimbangkan baik buruknya bagi kepentingan publik. Jika penetapan sebuah informasi masuk kategori dikecualikan tidak berhati-hati, undang-undang ini justru akan membelenggu hak masyarakat mengetahui informasi publik.

Kita memang masih dapat mengajukan keberatan penetapan informasi yang masuk kategori dikecualikan melalui komisi informasi atau pengadilan negeri. Tapi, proses seperti itu dikhawatirkan menghambat implementasi UU KIP. Apalagi poses hukum di Indonesia bisa memakan waktu lama dan berbelit. Nilai ekonomis informasi itu bisa hilang dan tiada guna lagi.

Keempat, sanksi bagi pemanfaatan informasi secara sengaja melawan hukum. Sekilas ketentuan ini tidak bermasalah dan tidak menjerat pengguna informasi secara langsung. Tapi, keberadaan pasal itu cukup aneh. UU KIP hanya mengatur tata cara permintaan informasi dan pengelolaan informasi di sebuah badan publik. Undang-undang ini tidak mengatur penggunaan informasinya.

Pasal ini akhirnya seperti sebuah jebakan di mana informasi publik memang dibuka, tapi untuk menggunakannya harus berpikir seribu kali. Pengguna bisa saja diajukan ke pengadilan jika dianggap menggunakan informasi secara sengaja melawan hukum.

Tak berlebihan jika kita mengkhawatirkan pasal ini akan melahirkan atmosfer ketakuan bagi publik untuk mengakses informasi. Masyarakat tentu akan berpikir ulang untuk menggunakan UU KIP jika ada ancaman masuk penjara di belakangnya. Jika ini terjadi, bertentangan tujuan UU KIP diadakan.

[]

UU KIP adalah hasil kompromi dalam sebuah proses politik. Apa pun, pengesahan ini adalah awal upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas informasi publik. Di sini implementasi undang-undang ini menjadi sangat penting. Jika implementasinya cukup baik, mungkin hal-hal yang dikhawatirkan di atas tidak akan terjadi.

Untuk itu peran seluruh bangsa menjadi penting guna memastikan UU KIP diimplementasikan dengan baik. Pemerintah misalnya harus segera melaksanakan seluruh amanat UU KIP. Mulai penyusunan peraturan turunan, penyiapan sistem pelayanan informasi dan dokumentasi, penunjukan pejabat dokumentasi dan informasi, dan sebagainya. Apalagi pejabat dokumentasi dan informasi inilah yang akan memegang kunci sukses pelayanan informasi publik. Pejabat inilah yang akan mengklasifikasikan informasi dan menentukan informasi mana yang bisa diakses dan mana yang tidak.

Komisi informasi sebagai badan independen yang menjamin implementasi UU KIP juga harus dibentuk. Lembaga inilah yang bertugas menyelesaikan persoalan-persoalan terkait akses informasi publik. Artinya, jika keempat catatan terhadap UU KIP menjadi penghambat akses informasi, kita dapat mengharapkan Komisi Informasi mampu menengahinya.

Terakhir dan yang paling penting adalah bagaimana masyarakat mau menggunakan UU ini. Ada dua bentuk penggunaan yang dimaksud di sini. Pertama, masyarakat memanfaatkan UU KIP untuk mengakses informasi publik yang mereka butuhkan. Seluruh kelompok, termasuk jurnalis, seyogianya menggunakan mekanisme UU ini untuk mengakses informasi. Meskipun terkadang, kelompok masyarakat seperti jurnalis, LSM, dan akademisi terbiasa mendapatkan informasi publik dengan memanfaatkan hubungan atau kedekatan yang ada. Cara ini tidak boleh dipertahankan lagi karena akan memandulkan fungsi dan keberadaan UU KIP itu sendiri.

Kedua, pengawasan terhadap implementasi di badan publik dan Komisi Informasi. Masyarakat harus mengontrol apakah badan publik dan Komisi Informasi sudah melaksanakan amanat UU KIP dengan baik. Pengawasan ini akan memastikan bahwa badan publik dan Komisi Informasi tidak akan main-main dalam menjamin hak atas informasi publik.


* Ahmad Faisol, koordinator Program Riset dan Advokasi ISAI Jakarta.

Jawa Pos, Senin, 07 Apr 2008

0 tanggapan: