Dewan Kesenian Utopis

oleh: Djuli Djatiprambudi


Akal sehat saya benar-benar terganggu setelah akhir Maret lalu saya sempat menyaksikan sebuah forum bernama Musyawarah Daerah Dewan Kesenian Jawa Timur (Musda DKJT) di Batu. Akal sehat saya bertanya, jangan-jangan ada kesalahan konseptual soal apa dan bagaimana dewan kesenian (di negara maju lazim disebut arts council), sehingga muncul peristiwa musda segala. Musda ini mengagendakan pemilihan pengurus DKJT. Logika saya mengatakan, kalau ada musda berarti ada herarki struktural antara DKJT dan dewan kesenian di daerah. Implikasinya, semua peserta yang hadir merepresentasikan medan sosial seni (arts world) di Jawa Timur yang ada di berbagai daerah.


Tetapi, DKJT tidak memiliki garis herarki dengan dewan kesenian di daerah. Maka, lagi-lagi akal sehat saya bertanya, kalau memang tidak ada herarki mengapa ada musda dan mengundang sejumlah orang yang katanya representasi medan seni (dewan kesenian di daerah, pekerja seni, birokrat seni, dsb.) di Jawa Timur untuk memilih pengurus DKJT. Barangkali selama ini timbul pemahaman bahwa dewan kesenian itu sejenis organ politik, karena itu perlu ada musda segala.

Dan, karena forumnya bernama musda, maka iruk-pikuk strategi dipasang oleh sejumlah orang, berbagai isu dimunculkan, dan celakanya tidak ada semacam uji kelayakan bagi seorang balon (bakal calon) pengurus DKJT. Bagaimana riputasinya? Bagaimana kedalaman pengetahuannya soal seni-budaya? Bagaimana potensi jejaringnya? Bagaimana strateginya dalam membawa kesenian dalam konteks praktik dan wacana kesenian sekarang dan masa mendatang? Itulah kejanggalannya, karena itu saya menyebutnya sebagai paradoks dalam kesenian.

Dengan fakta itu, saya juga mempertanyakan soal keseriusan pemerintah soal dewan kesenian. Dengan musda itu secara langsung dapat dibaca ketidaktahuan soal peran dan posisi dewan kesenian selama ini. Ketidakseriusan itu, misalnya, adanya musda itu sendiri yang dibiarkan berlangsung begitu saja, proporsi perhatian pemerintah yang teramat minim terhadap dewan kesenian yang dianggap tidak memiliki peran dan posisi penting dan strategis. Anggaran teramat kecil selalu menjadi label utama, infrastrukstur yang miskin, suprastruktur yang tidak berkembang, dan jejaring yang terlalu minim. Karena itu, dewan kesenian selama ini boleh dibilang antara ada dan tiada. Coba, lihatlah nasib sejumlah dewan kesenian di daerah atau DKJT sendiri. Di sanalah, kita mendapatkan potret jelas bagaimana tingkat keseriusan pemerintah pada kesenian.

Padahal, kalau mata kita melihat pada horizon yang lebih luas, dewan kesenian adalah organ yang teramat penting dalam konteks tata kelola (manajemen) seni-budaya di era global seperti saat ini. Di berbagai negara yang sadar soal ini, seni-budaya tidak lagi menjadi jargon politik semata, tetapi seni-budaya ditarik dalam peta paradigma di mana seni-budaya dipahami sebagai entitas yang dapat dikembangkan ke dalam konsep creative industries. Konsep ini mengacu pada seni-budaya sebagai fakta ontologis yang bernilai ekonomi, karena itu ia dapat dikembangkan menjadi sumber untuk menciptakan industri yang berbasis pada kreativitas.

Konsep ini jelas bertolak belakang dengan paradigma lama, di mana seni-budaya dipahami sebagai entitas yang dekat dengan soal filosofis-konseptual-estetis, karena itu ia bergerak dalam dataran abstrak. Seni dalam konteks ini dengan demikian tidak bisa dipahami dalam perspektif ekonomi, yang berpola pada pasar (market) secara penuh.

Dewan kesenian (arts council) pada dasarnya organ pemerintah yang diberi kewenangan untuk invests (menanam/memupuk/menumbuhkan), supports (mendorong), builds (membangun), researches (meneliti), depelops (mengembangkan), facilitates (memfasilitasi), promotes (mempromosikan), dan advocates (mengadvokasi/membantu mediasi) di bidang seni dalam rangka memperluas citra seni dalam jejaring medan seni secara luas. Karena itu, dewan kesenian dibentuk pemerintah dan pengurusnya dipilih langsung oleh pemerintah sebagai semacam lembaga "think-thank" pemerintah yang memikirkan soal strategi mengelola potensi seni-budaya di sebuah kota/daerah/negara.

Dalam berbagai studi soal keberadaan dewan kesenian di berbagai negara, tergambar jelas bahwa dewan kesenian merepresentasikan sebagai organ yang berisi sejumlah orang yang ahli di bidang manejemen, komunikasi, kesenian, penelitian, dokumentasi, promosi, dan pemasaran. Selain itu, dewan kesenian juga didukung oleh para kurator dalam berbagai bidang seni. Para kurator dipilih berdasarkan kepakaran di bidangnya masing-masing dan potensi jejaringnya yang luas. Dalam konteks ini, biasanya, seorang figur ketua dewan kesenian berasal dari disiplin ilmu manajemen. Sebab, ia memiliki peran sebagai pengelola seni dalam kerangka menajemen seni yang logis, sistematis, ada evaluasi, target, dan out-come yang dapat diproyeksikan.

Bahkan, di sejumlah negara Asia, seorang figur ketua dewan kesenian dipercayakan kapada seorang doktor manajemen. Ia bukan seorang seniman, karena disiplin seniman sering tidak efektif dalam mengelola seni. Pola pikir seniman lebih banyak intuitif, spontan, dan tanpa perencanaan matang, serta lebih cenderung individual. Sementara, kalau ia berlatang belakang disiplin manajemen, bisanya lebih memiliki potensi untuk berpikir lateral (kreatif dan kaya dengan terobosan-terobosan baru).

[]

Nah, kalau dewan kesenian idealnya berbasis pada fungsi manajerial kesenian, maka kita bisa kembalikan soal ini pada keberadaan DKJT selama ini. Di sinilah, kita butuh figur-figur pengelola seni-budaya yang andal di bidang manajemen seni dan tentu saja yang mampu berpikir lateral. Mereka harus bebas dari interes pribadi, apalagi kalau kemudian dewan kesenian hanya dipakai sebagai ruang untuk membangun "hot-line" dengan birokrat pemerintah, yang konon tidak pernah berpikir normal-ideal, karena itu mereka memungkinkan diajak slintutan.

Dari gambaran ini, akal sehat saya masih belum melihat DKJT mampu memberikan pelayanan yang semestinya di bidang pengelolaan seni-budaya. Kalau memang benar-benar ada DKJT, adakah di dalamnya database kesenian di Jawa Timur? Kalau soal penting itu saja sangat miskin (untuk tidak mengatakan tidak ada), maka sebenarnya yang kita kenal selama ini adalah Dewan Kesenian Utopis (DKU). Namun, ingat kemunculan DKU, pemerintah juga ikut andil di dalamnya. Keseriusannya tak pernah kelihatan sampai detik ini, walaupun dunia sana sudah iruk-pikuk memproyeksikan potensi seni-budayanya dalam fora internasional. []

*) Djuli Djatiprambudi, Kurator dan Pengajar Seni Rupa Unesa

Jawa Pos, Minggu, 06 Apr 2008

0 tanggapan: