Ayam Mati di Lumbung Padi

OLEH Samsudin Adlawi

"INDONESIA adalah potongan surga," kata Syeikh Syaltut saat mengunjungi dan melihat keindahan Indonesia. Penilaian mantan Syeikh Akbar Al-Azhar Mesir itu tidaklah berlebihan. Terutama, bagi orang Timur Tengah yang sehari-hari hanya menyaksikan hamparan padang pasir.



Indonesia tidak hanya indah. Tapi, juga gemah ripah. Tanahnya subur. Apa saja bisa tumbuh di bumi pertiwi. Bukan hanya padi, tapi semua jenis tanaman palawija dan buah-buahan bisa tumbuh subur di sini. Tongkat ditanam saja langsung tumbuh jadi tanaman (mengutip penggalan syair lagu Koes Plus yang ngetop di era 70-an).

Dengan berkah kondisi alam yang sedemikian, seharusnya Indonesia menjadi negara makmur. Masyarakatnya hidup sejahtera. Kebutuhan pangan tidak hanya tercukupi, tapi tersedia melimpah untuk jangka waktu lama. Karena stok melimpah, harganya pun jadi murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Tapi, yang terjadi saat ini sangat ironis. Di hamparan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Bahkan, sebagian di bawah garis kemiskinan. Mereka kesulitan memperoleh asupan makanan yang layak. Sungguh sangat sulit diterima akal sehat, di negeri yang memiliki kekayaan SDA seperti Indonesia, rakyatnya sakit busung lapar dan gizi buruk.

Lebih ironis lagi, sudah ada penduduk miskin yang menjadi korban kemiskinan. Di Yahukimo, Papua, beberapa waktu lalu terjadi kelaparan masal. Di Makassar ada ibu hamil dan anak balitanya meninggal akibat kelaparan. Di Serang, Jawa Barat, rakyat makan nasi aking yang sejatinya (maaf) lebih layak dimakan itik. Di Ronte Ndao, Nusa Tenggara Timur, kejadian luar biasa busung lapar mengintai rakyat di sana. Korban gizi buruk juga terus berjatuhan.

Beberapa waktu lalu, seorang balita di Mojokerto dan tiga di Temanggung, Tawa Tengah, meninggal setelah gagal melalui masa kritis akibat gizi buruk. Terakhir, Kabupaten Gorontalo menyatakan gizi buruk di daerahnya sebagai kejadian luar biasa (KLB) menyusul adanya lima pasien yang mendapat perawatan di RS MM Dunda (Jawa Pos, 16/4).

Dari hari ke hari, kehidupan jutaan rakyat bukannya makin sejahtera, melainkan semakin susah. Tidaklah berlebihan jika mengibaratkan kondisi mereka sekarang seperti ayam yang mati di dalam lumbung padi. Bagaimana mungkin di dalam lumbung yang berisi penuh padi, ayam bisa mati. Kalau matinya karena kekenyangan itu lumrah. Sebab, mereka bisa makan padi kapan pun mereka mau. Tapi, kalau di tumpukan padi siap saji mereka sampai mati kelaparan, itu benar-benar sulit dipercaya. Sulit dilogika. Namun, itulah fakta yang sedang terjadi di Indonesia.

Kehidupan demokrasi yang dideklarasikan sejak pecahnya reformasi 10 tahun silam tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru yang terjadi sebaliknya. Rakyat makin susah.

Pasti ada yang salah dengan negara ini. Telah terjadi salah urus (missmanagement) dalam penyelenggaraan negara ini. Potensi SDA melimpah -yang sebenarnya hanya membutuhkan sedikit sentuhan- tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, limpahan rahmat Tuhan itu sama sekali belum bisa diandalkan untuk meningkatkan mutu kehidupan rakyat.

Pemerintah larut dan hanya asyik masyuk dalam politik pencitraan diri. Mereka hanya berpikir bagaimana mempertahankan citra kepemimpinannya agar terus terjaga. Program-program untuk orang miskin tak lebih hanyalah program sim salabim. Hanya memberi kepuasan sesaat. Tidak menyembuhkan. BLT (bantuan langsung tunai) dan program sejenisnya adalah contoh faktual. Program instan itu tidak berangkat dari hati nurani, tapi semata demi menjaga citra pemerintah. Biar seolah-olah dianggap peduli terhadap nasib rakyat miskin.

Saatnya pemerintah introspeksi. Jangan ada lagi ayam yang mati di lumbung padi. Pemerintah jangan membiarkan rakyat kelaparan lagi saat produksi beras melimpah. Jangan ada lagi korban gizi buruk dan busung lapar karena laut dan bumi kita merupakan sumber protein dan vitamin.

Ajaran Jawa, Tri Dharma, bisa dijadikan landasan untuk mencapai perubahan itu. Ajaran mulia tersebut adalah rumongso melu handarbeni, wajib hanggondeli, dan mulat sariro hangroso wani. Pertama, pemerintah harus menumbuhkan rasa ikut memiliki SDA. Kedua, pemerintah berkewajiban menjaga kekayaan SDA yang melimpah ruah dari Aceh sampai Papua itu. Lalu ketiga, pemerintah harus membuat prioritas pemanfaatan SDA tersebut untuk mengatasi kemelaratan dan mengentas rakyat dari jurang kemiskinan.

Samsudin Adlawi, wartawan Jawa Pos

Jawa Pos Jumat, 18 Apr 2008

0 tanggapan: