AAC Bisakah Jadi Ikon Baru Sastra?

Oleh Viddy A.D. Daery

Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy), dai miliarder muda penulis novel Ayat-ayat Cinta (AAC), kali pertama bertemu saya justru di Malaysia pada acara sastra-budaya internasional beberapa tahun lalu sebelum dia menulis novel. Sebab, dia justru diundang sebagai penyair.



Tetapi, mungkin dia paham bahwa puisi tidak mudah menjadi jalan untuk sukses. Maka, dia menulis novel dan terbukti Ayat-ayat Cinta -novel fenomenalnya- mampu meroket menjadi ikon baru sastra Indonesia, yang berciri "sastra islami", mengubur fenomena sastra Indonesia yang baru saja boom, yakni "sastra seks"

Tentunya, bangsa Indonesia akan malu kalau dunia internasional tahu bahwa hanya novel seks yang bisa diandalkan dari Indonesia. Hal itulah yang memang kini terjadi. Satu atau beberapa novel seks Indonesia mendapat berbagai anugerah internasional. Tentunya, hal tersebut merupakan blunder bagi bangsa yang memang sedang kehilangan jati diri, bahkan salah satu novel seks itu baru-baru ini mendapatkan hadiah sastra dari lembaga pemerintah Indonesia yang membawahi bidang sastra.

Tentunya, rakyat Indonesia berhak mempertanyakan keputusan lembaga tersebut karena mereka ikut menyumbangkan pajak untuk mendanai lembaga itu.

Fenomena

Tetapi, tentu Tuhan tidak pernah tidur, sebagaimana bunyi salah satu ujaran Jawa "Gusti ora sare". Ketika sebagian besar bangsa yang sedang linglung nasional tidak pernah sadar kebobolan blunder sastra seks, Tuhan membimbing AAC mampu menerobos dan mematahkan semua prestasi sastra Indonesia.

Di toko-toko buku, novel AAC yang sedang beredar adalah cetakan ke-30. Namun menurut Kang Abik yang berjumpa untuk kali ketiga dengan saya (dua kali jika dimulai dari dia sudah miliarder), penerbit Republika mulai memproses cetakan berikutnya. Belum lagi peredaran di Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan yang terdiri atas dua versi: langsung dikirim dari Indonesia (versi bahasa Indonesia) atau yang sudah diterjemahkan ke versi bahasa Melayu edisi Malaysia.

Selain itu, sedang dikerjakan penerjemahan ke bahasa Inggris untuk peredaran seluruh dunia. Histeria AAC semakin lengkap ketika AAC difilmkan. Sutradara Hanung Bramantyo secara luar biasa mampu membuat film AAC yang sangat dramatis dan mencampur unsur filmis, musik, dan sudut pandang kamera yang inkonvensional sehingga film AAC sangat layak dipertandingkan di forum-forum Festival Film Internasional.

Seorang kritikus film muda di salah satu koran Jakarta memang mengkritik dengan nyinyir bahwa formula AAC adalah gaya Hollywood dan karena itu wajar mampu menjadi box-office.

Yang dimaksud dengan formula Hollywood adalah cerita yang menyenangkan semua orang, yakni happy ending. Sebab, diceritakan bahwa dalam kasus poligami, istri kedua "dibunuh oleh pengarang". Pengarang dianggap tidak berani membuat cerita panjang, yang dua istri itu hidup terus dengan segala perjalanan konflik.

Tetapi sebenarnya, dalam novelnya, kematian istri kedua tidak secepat seperti dalam filmnya. Ada proses perjalanan konflik. Namun, film adalah film. Ia mempunyai kaidah dramatik sendiri sehingga penulis skenario atau sutradara mempercepat adegan kematian itu agar menjadi sangat dramatis.

Bagaimanapun, toh tidak semua film, apalagi film Indonesia, mampu sukses mengadopsi formula Hollywood dengan rapi dan karena itu berhasil menjadi box-office. Data terakhir menyebutkan, AAC sudah ditonton lebih dari 3 juta penonton.

Kelebihan AAC jika dibandingkan dengan film-film box-office Indonesia lainnya adalah kental dengan "dakwah Islamnya", mampu menyedot penonton dari segala usia, etnis, agama, kalangan, jabatan, bahkan ditonton presiden, wakil presiden, dan para menteri serta beberapa tokoh Indonesia lainnya.

Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informatika) Mohammad Nuh DEA, yang menonton AAC sampai dua kali, menyatakan bahwa kelebihan AAC daripada film lainnya tidak hanya berhenti sebagai hiburan, melainkan mampu memberikan pencerahan.

Bagi Menkominfo, film sebagai media yang paling mempunyai keunggulan seharusnya dimanfaatkan oleh kreator untuk dimuati misi pencerahan yang membangun bangsa. Jangan hanya berhenti sebagai sarana hiburan.

Film AAC mampu menjadi hiburan dengan H besar sekaligus memberikan pencerahan yang luar biasa. Tidak hanya dari segi dakwah moral dan agama, namun juga pada kebanggaan nasionalisme -dalam adegan kemenangan hukum di pengadilan-, pada pengorbanan anak bangsa bernama Fahri terhadap nasib perempuan yang teraniaya, pada kesabaran yang membuahkan kebahagiaan, dan sebagainya.

Tentunya, itu adalah hasil karya dan kerja keras kelompok, baik kelompok pembuat film maupun kelompok yang melahirkan buku AAC. Di sini bukan berarti novel AAC ditulis oleh kelompok, melainkan keandalan Habiburrahman El Shirazy yang ditunjang oleh dukungan keluarga dan dukungan para teman sesama penulis yang satu visi.

Selain itu, dukungan penerbit yang mampu membaca pasar dan dukungan atau sambutan pembaca serta penonton yang memang sudah rindu kepada karya-karya yang memberi pencerahan dan menumbuhkan optimisme kehidupan dan peradaban. Bukan karya-karya yang merusak moral bangsa dan membuat kehidupan menjadi tidak nyaman dan mengkhawatirkan.

Viddy A.D. Daery, penyair, anggota tim ahli analis media staf khusus Menkominfo RI


Jawa Pos, Kamis, 17 Apr 2008

0 tanggapan: