Karya Etik Juwita, Paling Seru Diperdebatkan
Sebuah buku berjudul 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 dan 100 Puisi Indonesia Terbaik diperkenalkan oleh publik Surabaya 5 April lalu di Toko Buku Gramedia, Delta Plasa, Surabaya. Buku ini merupakan kumpulan cerpen dan puisi yang dipilih dari karya-karya yang telah terbit di 15 surat kabar seluruh Indonesia. Yang menarik, karya Etik Juwita (BMI asal Hong Kong, Red) berjudul Bukan Yem menjadi salah satu karya terpilih yang paling seru untuk diperdebatkan. Mengapa?
Bukan tanpa sebab bila cerpen karya Etik Juwita tiba-tiba dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik dari 20 cerpen pilihan 7 dewan juri yang ditunjuk oleh PT Kharisma pena Kencana, penggagas Anugerah Pena Kencana. Etik Juwita adalah BMI asal Blitar kelahiran 14 April 1982 yang bekerja di Hong Kong sejak 2003 yang belum lama menggeluti dunia sastra. Tapi, mengapa karyanya tiba-tiba saja mencuat masuk ke dalam jajaran cerpen terbaik yang dipilih dari karya yang pernah dimuat di 15 surat kabar di seluruh Indonesia?
Karya inilah yang diakui oleh para juri peling seru untuk diperdebatkan saat penilaian berlangsung. Bocorannya, 3 juri setuju karya Etik masuk ke dalam cerpen terbaik Indonesia namun 3 juri lainnya menentang, sedangkan seorang juri lagi abstain (tidak memberikan pendapat,Red). Sehingga, terjadilah perdebatan seru tersebut.
’’Sebagian juri yang setuju menganggap karya Etik merupakan sesuatu yang sangat langka dan sangat layak masuk karena menceritakan kisah para Buruh Migran Indonesia. Sedangkan juri lainnya yang tidak setuju menganggap bahasa dan cara bertutur Etik agak kasar disbanding karya sastra kebanyakan,’’ ungkap Triyanto Triwikromo, Direktur Program Anugerah sastra Pena Kencana.
Memang, cerpen yang pernah dimuat oleh Jawa Pos, 10 Juni 2007 tersebut memberikan ‘warna’ berbeda dalam dunia sastra cerpen lantaran penggalan-penggalan kalimat mengerikan (cenderung sadis, Red). Cerpen tersebut mengisahkan perbincangan uniknya bersama Mbak Yem saat pulang kampung. Inilah yang membuat karya tersebut menajdi kontroversial. Tapi, justru kontroversi itulah yang membuat karya Etik menajdi favorit para juri dan beberapa pembaca.
’’Dari segi strukturnya mulai plot, karakter, rangkaian cerita bagi saya ini yang paling menarik. Kalau soal bahasa dan cara bertuturnya saya rasa memang sudah seharusnya begitu. Kalau diubah lebih halus mungkin ceritanya akan lain, walaupun memang ada kalimat yang bisa lebih diperhalus,’’ lanjut Triyanto yang karyanya berjudul Cahaya Sunyi Ibu juga masuk dalam buku tersebut.
Hal senada juga diungkapkan oleh ketua Dewan Juri, Prof Budi Darma dan Aming Aminudin. ’’Semua karya yang terpilih disini baik. Tapi karya Etik menjadi favorit saya karena ceritanya cukup menarik karena membongkar kepedihan seorang BMI di Hong Kong. Kisah ini jarang ditemui dan enak dibaca. Sebuah cerita itu kan harus mampu menimbulkan rasa haru, lucu, sedih, atau bahagia untuk bisa menjadi sebuah karya menarik untuk dibaca,’’ sambung Budi Darma.
Sementara Soim Anwar menilai Etik Juwita sebagai pengarang yang alamiah dan orisinal. ’’Dia itu seorang BMI yang mungkin jarang terlibat dalam pembuatan sastra seperti ini, tapi dia mampu menulis dengan sangat alamiah. Background dia mungkin bukan dari sastra dan persoalan yang dia ungkapkan adalah persoalan otentik yang mungkin pengarang lain tidak mampu melihat seperti itu. Sehingga, ketika saya baca dia menyajikan cara pandangan yang sederhana tetapi menarik dan menyentuh,’’ ujar Soim yang juga Dosen fakultas Sastra Unair itu.
Dari segi gaya bahasa, ternyata Soim dan Aming tak menjadikannya masalah. ’’Bahasa itu juga berkaitan dengan tema atau tokoh yang diungkapkan. Karena di dalam jiwa si tokoh terjadi trauma dan mungkin sangat tersiksa dengan kekejaman yang dialami sebagai seorang pembantu, sehingga bahasa yang diungkapkannya itu menjadi logis. Jadi, meskipun ada yang mengatakan kasar, tapi itu cocok dengan karakter tokoh yang dibangun oleh Etik,’’ lanjut Soim.
’’Ketika itu bercerita tentang BMI, untuk gaya bahasa Etik itu sangat pas. Makanya ketika pemilihan dalam barisan 20 cerpen terbaik itu termasuk benar pak Budi,’’ sahut Aming Aminudin.
Buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 dan 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 memang telah diluncurkan 5 Maret lalu, tapi baru diperkenalkan pada publik Surabaya 5 April. Sekarang mereka sedang menggelar road show di 7 kota. Yaitu, Jakarta, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Denpasar, Bandung dan Lampung. ’’untuk cetakan pertama kita sedian 3.000 eksemplar. Dalam waktu dekat kita akan persiapkan cetakan berikutnya,’’ kata Yulie, Dwi Kurniasari, bagian promosi Gramedia Pustaka Utama, sang penerbit.
Berbeda dari buku kebanyakan, dalam buku ini akan dipilih sebuah karya untuk mendapatkan penghargaan melalui polling sms. Pemenang penghargaan ini bakal menerima hadiah berupa uang tunai senilai Rp 50 juta. ’’Ini adalah bentuk apresiasi kami untuk memberikan penghargaan yang layak bagi sastrawan Indonesia,’’ pungkas Triyanto Triwikromo. [NUY HARBIS/Intermezo edisi April 2008]
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar