Ayat-ayat Cinta: Pro atau Anti-Perempuan?

Khotimatul Husna

Hampir semua kalangan memberikan apresiasi positif atas film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy yang memang fenomenal itu. Termasuk juga tulisan Di Balik Buku Bramma Aji P. yang berjudul Novel dan Film AAC; Pukulan KO bagi SMS (JP, 30 Maret 2008). Untuk sekadar melengkapi tulisan Bramma mengenai novel AAC, hingga akhir 2007 saja buku ini telah dicetak ulang sampai 30 kali dan terjual 300.000 eksemplar. Suatu angka pencapaian yang fantastis untuk sebuah penerbitan buku karya anak negeri, karena biasanya oplah sebuah buku dalam negeri jarang menembus angka tersebut.



Puja-puji juga mengiringi ketika versi filmnya mulai diputar di bioskop-bioskop seantero negeri. Penonton harus antre dan bersabar untuk dapat melihat film Ayat-Ayat Cinta garapan sutradara Hanung Bramantyo tersebut. Bahkan, komunitas pengajian yang biasanya jauh dari gedung bioskop, tak ketinggalan meluangkan waktu untuk hadir di bioskop menyaksikan film itu. Bukan hanya mantan presiden B.J. Habibie saja, Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla juga memberi perhatian dan turut menyaksikan film yang --konon-- sudah ditonton tiga juta pemirsa itu. Dan, terakhir, Presiden SBY beserta rombongan menteri dan diplomat asing tak mau ketinggalan juga meluangkan waktu untuk menonton film AAC.

Terlepas dari gegap gempita sambutan yang luar biasa itu, kita melupakan untuk memberi apresiasi terhadap unsur yang penting dan mewarnai hampir seluruh cerita AAC, yakni tokoh-tokoh perempuannya, seperti Nurul, Noura, Maria, dan Aisha. Setelah membaca atau menonton filmnya, publik akan segera terkesan dengan sosok Fahri yang digambarkan serba "putih" tak berlumur noda dan melupakan "ketidakberuntungan" yang menimpa tokoh-tokoh perempuannya. Padahal, ketidakberuntungan perempuan yang ditampilkan film ini digambarkan sangat kasat mata. Apakah hal ini menunjukkan bahwa publik sudah cukup imun dan terbiasa dengan ironi dan elegi yang menimpa perempuan sehingga tidak sensitif lagi?

Secara tersurat dalam cerita, saya melihat beberapa hal yang kontradiktif antara yang diidealkan (oleh penulis) dengan apa yang terjadi dalam alur ceritanya, terutama bila dikaitkan dengan tokoh-tokoh perempuan. Kalau tujuan semula untuk mengangkat dan membela kehormatan perempuan, mengapa terjadi alur yang sebaliknya?

Pertama, tentang pengorbanan Aisha. Sejatinya, penulis ingin menunjukkan bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati dan menghargai perempuan. Tapi dalam alur cerita perempuan justru "diharuskan berkorban" untuk sebuah idealita tafsir keagamaan tertentu tentang poligami. Hal ini tergambar dari beban psikologis dan kecemburuan yang ditanggung Aisha ketika harus mengikhlaskan dan mendorong suaminya untuk menikahi Maria dengan alasan kemanusiaan (hlm. 381). Bagi kalangan yang pro-poligami, alasan dogma agama dan kemanusiaan memang sering digunakan untuk mengesahkan poligami dengan mengeliminasi tafsir keagamaan yang lain. Bahkan dengan mematikan rasa yang alami dan mengabaikan madlarat (bahaya)-nya bagi kemanusiaan itu sendiri, seperti dampak psikis dan sosial bagi perempuan, misalnya. Bukankah ini iklan poligami terselubung?

Bahkan, untuk pengorbanan Aisha yang merelakan Fahri tidak bekerja untuk sementara demi kelancaran studi, dikesankan sangat negatif. Pembaca dan penonton diajak melupakan kebaikan dan kecerdasan Aisha di awal cerita. Pada pasca-pernikahan dengan Fahri, Aisha dikesankan sudah tidak memerlukan materi karena memang sudah berkecukupan, sehingga niat baik Aisha untuk menghadiahi Fahri dengan sebuah laptop untuk kelancaran pengerjaan tugas akhir studi pun tidak disambut sebagai ketulusan Aisha, tetapi dituding sebagai bentuk pengagungan materi atau bentuk kecemburuan Aisha atas keberadaan komputer lama Fahri yang menyimpan banyak kenangan antara Fahri dan Maria. Hal ini sering memicu konflik antara keduanya. Akibatnya, Aisha terpaksa harus membuktikan lagi bahwa tidak ada kecemburuan dan berkorban untuk Fahri karena tidak ingin menjadi janda (hlm. 377).

Alih-alih pembaca mencoba melihat kepengecutan Fahri yang tidak menikahi Maria dari semula tanpa harus menikah dengan Aisha, tetapi pembaca justru digiring untuk percaya bahwa Fahri tetaplah mulia karena telah memilih Aisha, sosok muslimah yang taat. Bukankah dalam Islam, laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan ahlul kitab (Kristen)? Toh, meskipun sudah menikah dengan Aisha, akhirnya dia tetap menikahi Maria yang notebene juga belum melafalkan syahadat (hlm. 378). Sebagai sosok yang peka dan lembut hati, seyogianya Fahri juga membaca tanda cinta Maria, tanpa harus menunggunya menjadi korban.

Kedua, tentang pengorbanan Nurul. Tokoh Nurul digambarkan oleh penulis sebagai tokoh aktivis yang cerdas, mandiri, baik hati, dan suka menolong. Tapi, karena Nurul seorang perempuan maka dia tetap distereotipkan sebagai "yang lemah", sehingga hanya karena patah hati, hidup Nurul digambarkan kehilangan "cahaya" dan tak bersemangat lagi. Dan "cahaya" itu adalah Fahri (yang laki-laki). Bahkan, orang tua Nurul pun perlu mendatangi Fahri dan memintanya untuk menikahi Nurul. Di sini dilukiskan betapa kemandirian dan kecerdasan perempuan tetap tidak ada artinya karena dibayangi keperkasaan laki-laki. Padahal, syarat sebuah cerita yang baik seyogianya mengandung unsur logis dan diterima nalar. Logiskah tokoh semandiri Nurul menjadi mudah putus asa dan merendahkan harga dirinya untuk cinta seorang laki-laki?

Ketiga, tentang pengorbanan Noura. Awalnya, Noura diceritakan sebagai gadis yang teraniaya dan membutuhkan pertolongan. Publik pun bersimpati dengan nasib malang gadis ini, sehingga Fahri pun membelanya. Tapi, lagi-lagi Noura sebagai perempuan yang korban perkosaan digambarkan sebagai pengkhianat yang menusuk Fahri dari belakang. Publik dibuat tidak berempati sama sekali terhadap Noura, meskipun akhirnya ia mengakui kebohongannya. Publik digiring untuk tidak bisa memaklumi dan melihat dampak psikologis yang sangat berat akibat perkosaan, sebaliknya lebih melihat Noura sebagai pihak "musuh". Meski begitu, satu pelajaran berharga dapat diambil dari kisah Noura, bahwa pemerkosa tidak mau peduli siapa korbannya, apakah berjilbab atau tidak. Selama ini, korban perkosaan sering dipersalahkan dan dianggap turut memicu terjadinya perkosaan karena sengaja mengundang nafsu syahwat laki-laki dengan tidak menutup aurat. Kenyataannya, Noura yang berbusana tertutup dan berjilbab tetap menjadi korban pelecehan dan perkosaan.

Keempat, tentang pengorbanan Maria. Maria digambarkan gadis beragama Kristen Koptik yang ceria, pintar, dan baik hati. Tapi, Maria berubah kehilangan daya hidup ketika mengetahui Fahri menikahi Maria dari informasi teman seapartemen Fahri. Sebagai teman dekat dan menghargai Maria, semestinya Fahri memberitahukan perihal pernikahannya kepada Maria, meskipun sekadar melalui layanan pesan pendek (SMS). Masih berkaitan dengan Maria, sikap penulis juga tidak konsisten dalam mengakui perbedaan (pluralisme) dengan menampakkan simplifikasi terhadap keyakinan orang lain. Digambarkan bahwa seakan perempuan non-muslim menjadi "lebih baik" ketika mengubah keyakinannya dengan Islam. Tokoh perempuan non-muslim, Maria dan Alicia (wartawati), "diseragamkan" dalam keyakinan penulisnya. Pluralis setengah hati?

Film dan novel ini juga memproduksi maskulinitas yang kental dengan mengedepankan dialog tentang pemberian sanksi berupa pukulan yang tidak menyakiti kepada istri yang dianggap durhaka. Menurut saya, dalam suasana konflik suami-istri, mana ada "pukulan" (keras atau lembut) yang tidak menyakitkan. Kekerasan dengan cara apa pun tetap tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimana kalau suami yang durhaka atau menyeleweng?

Demikianlah novel ini menjalankan perempuan dengan stereotip yang dibentuk oleh dunia maskulin. Bagaimana perempuan bersikap dan ciri perempuan yang baik ditentukan oleh laki-laki, bahkan untuk urusan tertawa dan penampilan sekalipun. (hlm. 25). Perempuan tetap diposisikan sebagai pelengkap penderita dalam cerita "kepahlawanan" laki-laki. Kalau orang lain merasa hatinya gerimis (sejuk) setelah membaca dan menonton AAC, sebaliknya mata dan hati saya menangis untuk ketidakberuntungan dan penderitaan yang menimpa tokoh-tokoh perempuannya. Bagaimana dengan Anda? (*)

*) Khotimatul Husna, editor freelance, alumnus Fakultas Syariah, UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Sekarang tinggal di Malang

Jawa Pos Minggu, 20 Apr 2008

0 tanggapan: