Manajemen Sakit Gigi Hadapi Problem Bangsa

Ditulis oleh : Yusuf Senopati Riyanto

Reformasi sudah berumur 10 tahun, tapi Indonesia belum menunjukkan kondisi yang membaik. Kemakmuran masih jauh dari harapan, masyarakat semakin susah memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kini, harga-harga bahan pokok terus melambung naik tidak terkendali.



Agaknya, menjelang Pemilu 2009, tidak banyak perubahan yang diharapkan terjadi. Pasalnya, elite politik dan para pengambil kebijakan sibuk memantapkan dan mengamankan posisi masing-masing. Kondisi tersebut, akibat ketidakmampuan para pengambil keputusan dan elite politik dalam membuat keputusan serta tidak adanya program yang berkelanjutan. Saat ini, yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki kapasitas CEO, bukan manajer.

Keputusan bersifat responsif dan jangka pendek. Itu merupakan manajemen sakit gigi. Ketika gigi sakit, kita sibuk mencari obat dan bersemangat tinggi untuk mencari penyembuhan yang paling ampuh. Bila perlu, gigi itu harus dicabut. Namun bila sakitnya hilang, lupa dengan obat dan dokter gigi, bahkan lupa menjaga dan mengupayakan agar gigi tidak pernah sakit lagi.

Lemahnya kondisi itu, bukan karena selalu disebabkan oleh kesalahan personal dan sumber daya manusia. Tapi, lebih disebabkan lemahnya koordinasi antarlembaga, institusi, dan kementerian di republik ini. Ketidakkompakan koordinasi tersebut menjadi salah satu faktor tidak pernah selesai dan cepat dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, mulai dari kelangkaan minyak tanah, terancamnya sumber energi listrik, hingga melambungnya harga minyak mentah dunia yang berdampak ke Indonesia. Akhirnya, semua kebijakan tidak pernah efektif dan bertentangan dengan kebijakan lembaga lain. Misalnya, kebijakan insentif dan disinsentif listrik yang akan diterapkan PLN dengan dukungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Program itu belum sempat diterapkan, tapi sudah dibatalkan. Nasib yang sama tampaknya akan berlaku pada penerapan program smart card untuk pembelian BBM bersubsidi yang akan diuji coba di luar Pulau Jawa.

Tidak berlebihan kalau masyarakat memprotes kebijakan tersebut. Masyarakat protes bukan karena tidak adanya sosialisasi program insentif dan disinsentif, melainkan karena unsur 'pemaksaan' rumus untuk mendapatkan angka penghematan Rp10 triliun. Rumus yang ditawarkan PLN adalah matematika sederhana, bagaimana mendapatkan penghematan dalam jumlah tertentu dengan kondisi energi yang disubsidi? Dari situ, ketemu angka 80% dari rata-rata pemakaian kWh secara nasional. Selain ada kesan tidak adil, angka itu juga tidak mencerminkan kebutuhan para konsumen listrik per wilayah. Membandingkan Jawa-Bali dan Papua adalah tidak logis. Jangan sampai kita terjebak menjadi 'ngawur', bingung, dan kemudian segala persoalan bangsa seolah hilang bagai ditelan bumi.

Itu baru soal energi listrik. Kebijakan untuk energi sektor lain pun tidak jauh berbeda. Pemerintah lemah dalam tawar-menawar dengan para produsen energi yang pada gilirannya menjadikan pemerintah lemah dalam membuat keputusan dan visioner. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan sumber daya tersebut adalah untuk kesejahteraan rakyat.

Masih banyak lagi manajemen sakit gigi yang diterapkan pemerintah. Jika disebut satu persatu, betapa tidak berdayanya keadaan saat ini untuk memakmurkan kebutuhan masyarakat. Contoh lain, masalah harga sembako adalah mencerminkan betapa menyedihkan kondisi masyarakat yang hidup di negeri kaya akan sumber daya alam.

Terakhir, pemerintah menunjuk seorang wakil menteri luar negeri. Tentu saja, bukan soal penunjukan itu yang menimbulkan pertanyaan, melainkan alasan yang menyebutkan ada perbedaan waktu antara negeri sendiri dan luar negeri. Tentu saja tidak dapat dipungkiri, tugas seorang Menteri Luar Negeri memang berat dan banyak. Tapi, itu kan konsekuensi. Lagi pula, di Departemen Luar Negeri ada banyak direktur. Bukankah akan lebih bijak kaderisasi yang mensyaratkan untuk posisi wakil menteri luar negeri ya tinggal diupayakan saja untuk melaksanakan uji kepatutan untuk posisi wakil menteri luar negeri tersebut.

Kembali ke manajemen sakit gigi, perubahan itu dapat tanpa harus mengangkat (mencabut) gigi kita atau malah mengangkat dan menukar mulut kita dengan yang baru. Jika itu yang dilakukan, apa jadinya bangsa ini?

Media Indonesia, Selasa, 01 April 2008 07:30 WIB

*) Yusuf Senopati Riyanto, Ketua Umum Forum Indonesia untuk Indonesia Anggota Masyarakat Kajian Hukum Energi

0 tanggapan: