Potret BMI Hong Kong dan Persoalan Sudut Pandang


Oleh Etik Juwita

Setiap orang atau kelompok melihat kondisi BMI di Hong Kong dengan cara berbeda. Ada yang simpatik, ada yang sinis. Semua tergantung pada pengetahuan dan kepekaan yang mereka miliki dalam melihat akar masalah.




BEBERAPA waktu lalu, saya menerima SMS dari seorang kawan yang sedang menyiapkan pameran foto buruh migran keliling kabupaten-kabupaten di Jawa Timur “Yang sekarang ada sebanyak 80% foto happy, wah. Kalau mungkin, panitia mengharapkan foto yang tidak ‘wah’, biar imbang sebagai potret”, demikian bunyi SMS itu.

Pameran itu dimaksudkan memberi gambaran tentang kehidupan komunitas Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Sehingga diharapkan bisa mengurangi culture shock (kejutan budaya) bagi calon buruh migran yang ingin bekerja di luar negeri. Dengan demikian, potret yang diharapkan adalah potret apa adanya, sewajarnya kehidupan buruh migran dengan warna-warna yang ada. Maksud saya, potret yang baik dan juga potret yang buruk.

Pertanyaannya kemudian, gampangkah menemukan potret buruk kehidupan BMI-Hong Kong, ketika gambar-gambar itu lebih mudah dihasilkan oleh jepretan kamera teman-teman buruh yang sedang merayakan hari istirahat setelah enam hari berada dalam rumah majikan? Mungkinkah gambar yang nanti ditampilkan akan menunjukkan bahwa buruh-buruh ini yang notabene punya perilaku sama dengan orang berprofesi apa pun (reaksi refleks bilang cheezzz bila sedang di’jepret’) akan mengatakan persoalan mendasar buruh migran yang selama ini sangat ruwet?

Persoalan buruh migran yang masih ruwet hingga saat ini adalah bagi hasil antara pemilik modal (PJTKI dan Agen) plus keruwetan penanganan BMI yang jadi rebutan antara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).
Ini membuat persentase angka yang disebutkan dalam SMS yang saya terima itu menuntun pada pertanyaan: “Mungkinkah BMI di HK sengsara jika yang muncul adalah foto mereka yang terlihat gembira, berpakaian warna-warni dengan merek yang mungkin hanya mampu dibeli oleh masyarakat kelas menengah di Indonesia? Benarkah ada yang tidak sedang bergembira? Yang tidak sedang kelihatan “wah”?

Soal perspektif

SMS yang dikirim kawan saya menunjukkan bahwa seolah tak ada BMI sengsara di Hong Kong karena terbukti 80% foto yang ia terima melulu potret “happy”. Atau sebenarnya ini masalah perspektif? Artinya, ada dan tidaknya persoalan buruh sesungguhnya juga bergantung pada sudut pandang masyarakat umum dalam menyikapi kehidupan yang ditempuh BMI Hong Kong.

Saya tak yakin orang akan menyadari dirinya bermasalah atau menimbulkan masalah dengan sendirinya, tanpa membandingkannya dengan lingkungan di luar dirinya.
Dengan menunjukkan gambar “wah” sekilas, sebagian orang akan beranggapan BMI Hong Kong makmur. Ini satu hal yang selayaknya jadi barometer negara pengguna jasa BMI lainnya agar pekerja sektor rumah tangga diakui sebagai tenaga kerja.

Namun kontras dengan gambar ini, bentuk penyikapan potret BMI yang sebenarnya dan sangat unik justru mucul dari pemerintah. Bahwa gaya hidup BMI Hong Kong yang cenderung flamboyan dan berbeda dengan kehidupan ketika masih berada di kampung di Tanah Air ini dinilai permerintah sebagai penyimpangan terhadap budaya bangsa. Lebih unik lagi ketika “kegelisahan” pemerintah ini kemudian terungkap dalam berita di sebuah surat kabar berbahasa Inggris yang terbit di Hong Kong, beberapa waktu lalu.

Dalam berita itu disebutkan bahwa gaya hidup BMI yang mewah (mewarnai rambut, bertindik, dan membeli barang mewah seperti telepon genggam) telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan yang ditakutkan akan merendahkan reputasi bangsa di mata orang asing. Untuk mengurangi hal ini, tulis berita itu lagi, perwakilan pemerintah Indonesia di Hong Kong membuat konser hiburan, tari-tarian, dan penggalakan kegiatan keagamaan.

Jadi ini masalah perspektif bukan? Sehingga jika kembali lagi pada “baik-buruk” sebuah potret sebenarnya tergantung pada bagaimana kita menyikapi dan melihat sebuah keadaan.

Pemerintah mungkin gelisah akan opini publik tentang keadaan BMI di Hong Kong. Kawan saya mungkin mengharapkan dalam pamerannya akan muncul penggambaran keadaan BMI Hong Kong yang sebenarnya, susah maupun senang. Media yang terbit di Indonesia, yang mengirimkan wartawannya yang terkejut-kejut ke Hong Kong, mungkin lebih suka menuliskan “gaya hidup” yang kemudian mereka sebut unik dan akan jadi “oleh-oleh spesial dari Hong Kong” (cerita lesbian, barangkali).

Sebagai BMI yang kesulitan mendapatkan gambar rekan saya yang sedang sengsara (yang sejatinya benar-benar ada dan banyak), maka mendengarkan siaran radio BBC lewat tengah malam waktu Hong Kong di bulan Agustus, mengejutkan saya. Di tengah pesta peringatan kemerdekaan RI tahun ini, radio tersebut menyiarkan bahwa ada rekan saya yang tidak beruntung dan sedang berada di shelter Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (Kotkiho).

Saya kemudian sampai pada kesimpulan bahwa penggambaran potret BMI Hong Kong pada akhirnya tergantung pada bagaimana perspektif yang dimiliki setiap orang. Tergantung pada seberapa jauh pengetahuan dan kepekaan yang mereka miliki dalam melihat akar masalah.

Penulis adalah BMI di Hong Kong

Catatan: tulisan inipernah dimuat SUARA

0 tanggapan: