"Sastra Babu", anyone? This is "Sastra Babu"!


Sastra buruh migran sebagai “Sastra Babu”

Etik Juwita

Pada peluncuran buku antologi cerpen “Nyanyian Imigran” di Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki di Jakarta 23 Juli 2006 lalu, muncul pemberian nama “Sastra Babu” untuk tulisan-tulisan yang dibuat oleh “babu-babu” di Hong Kong. Penamaan itu diberikan oleh seorang yang datang dan sempat memberikan komentar dalam sesi diskusi (mutlak kesalahan saya, saya tak ingat nama bapak paruh baya tersebut).




Penamaan muncul ketika sesuatu diciptakan, ada dan berwujud baik abstrak atau konkret. Mengingat fungsi kata yang juga sebagai lambang selain sebagai alat komunikasi, kata juga mampu memberikan identitas, sebagai bayi yang belum sempurna lahirnya bila tak dinamai. Nama baik diberikan pada bayi karena orangtua si baru lahir mengharapkan orok itu nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi baik; baik bagi dirinya, orantuanya, masyarakat sekitarnya, mungkin juga baik bagi negara. Sebagai penegasan akan sebuah kelahiran, pemberian nama tentu mutlak artinya. Ironisnya sebagai bayi, tentu ia tak bisa mengelak ketika orangtua memberi si orok nama Bagus, Cantik, Ganteng, atau orangtua yang punya selera humor tinggi membuat kenduri dan mengumumkan nama anaknya: Garong Perkasa. Mungkin ia cuma bisa melengkingkan suara: oaaar! Bukan protes, tapi karena bisanya cuma mengoar-ngoer. Tapi apakah “babu-babu” pun cuma bisa mengoer bila tulisannya disebut “Sastra Babu”? Diam dan menerima pemberian nama itu dengan tidak mengambil sikap? Seperti bayi?

Pengotakan sastra dengan memberikan nama-nama berangkat dari tidak adanya kesepakatan mutlak dalam penilaian baik-buruk suatu tulisan sehingga patut dimasukkan dalam kelompok atau kelas tertentu, bisa juga penamaan itu ada karena ingin gampang saja menyebut satu golongan sastra tertentu untuk membedakannya dengan golongan lain; sebagai wakil dan perlambangan dari suatu genre. Atau, sebagai nomenklatur; penamaan itu diperlukan demi kelancaran penelitian tertentu (studi tentang sastra, barangkali). Atau, adalah imbas dari banyaknya jenis tulisan non-fiksi yang terfokus pada keadaan tertentu (misalnya; tulisan yang mengacu pada isu gender dan feminisme)--dengan catatan, saya lebih menspesifikasikan hal pokok di sini bahwa yang dikategorikan sebagai “sastra” adalah tulisan-tulisan fiktif saja.

Pemberian nama pada golongan tertentu dianggap mengacu pada pengertian yang cenderung konotatif atau denotatif tentu perlu pula dikemukakan alasan-alasan penguat pemaknaan itu. Apakah kata “babu” benar cuma memberikan pemahaman yang tendensius, pelecehan akan profesi pembantu yang bekerja di luar negeri? Membawa pengertian bahwa dengan menyebut “Sastra Babu” pada tulisan-tulisan hasil karya “babu-babu” cuma membuat tulisan dan penulisnya punya kedudukan sama, sederajat dengan pembantu? Atau penyebutan ini sebenarnya mengandung pengertian-pengertian yang tidak tunggal; “Sastra Babu” karena yang menulis seorang “babu”, atau “Sastra Babu” karena tulisan ini tentang kehidupan “babu”? Sedemikian pentingkah penyebutan itu hingga perlu menakutkan dan harus membela diri, membantah dengan mencurigai penamaan itu tendensius, melecehkan pekerjaan pembantu yang juga menulis? Atau perlu dibela dengan mengasumsikan yang diolok-olok tak bisa bicara?

Agaknya perlu juga dirunut bagaimana mula pembantu-pembantu di Hong Kong menulis dan mampu mempublikasikan tulisan-tulisan itu di media cetak di Hong Kong, beberapa bahkan, ada yang pernah diterbitkan di media cetak di Indonesia, menunjukkan tulisan-tulisan itu nyata di hadapan masyarakat yang ada di Tanah Air. Bagaimana awalnya, keadaan yang menguntungkan di Hong Kong karena perlakuan pembantu sebagai labor/tenaga kerja, memberikan sumbangsih dalam proses pemupukan proses kreatif pembantu Indonesia yang bekerja di satu bagian negara China ini. Bagaimana satu keadaan menuntun keadaan yang lain? Bagaimana kait-mengaitnya satu peristiwa yang melanjut pada peristiwa berikutnya. Tentu naif bila menganggap tulisan-tulisan itu muncul hasil buah kerja sekejap saja. Tentu ini bukan hasil kerja simsalabim, adakadabra: cling!

Lalu oi oi! benar pembantu di Hong Kong yang kemudian oleh media cetak di Hong Kong lebih sering disebut sebagai BMI (Buruh Migran Indonesia) sedang menulis. Tujuh buku dengan komposisi perbandingan enam untuk cerita fiktif dengan satu biografi malah sudah diterbitkan. Prestasi ini masihkah perlu diragukan bahwa BMI Hong Kong sedang giat “menceritakan diri”, menceritakan yang fiksi, menguraikan imajinasi dalam bentuk tulisan? Kemudian masyarakat menilai apa yang dilakukan BMI Hong Kong ini sesuatu yang mengejutkan, bahwa kelompok yang menurut sebagian orang sebagai masyarakat marginal sedang bersastra. Bukankah Max Havelaar dituliskan oleh Multatuli, Pariyem meminjam tangan Linus Suryadi, Srintil digulirkan oleh Ahmad Tohari? Bukankah ia yang pekerjaannya membaca buku, mempelajari kalimat Hamlet; “My love’s red, red rose”, ia yang berkaca mata tebal, berambut gimbal, yang nyentrik dan dengan wajah berkerut-kerut memikirkan baris demi baris kata sempurna untuk mengutarakan filosofi hidup saja yang biasanya menulis sastra? Tapi ini adalah kelompok terpinggir, “babu” di Hong Kong. Pembantu, bekerja dengan sehari-harinya bicara dengan bahasa pinjaman, kadang dengan bahasa isyarat, tak pandai-pandai benar mengeja, yang peduli bagaimana menciptakan keadaan rumah tangga orang bersih, teratur, rapi, dan satu dua mampu memfungsikan komputer sedang giat bercerita. Mengkhayal-khayal malah.

Oar! oer! Ini mengejutkan. Ini “Sastra Babu”.
Tendensius, konotatif, denotatif, alegoris, hiperbolis, sarkastis, atau ironis, “Sastra Babu” memang telah lahir, muncul karena keadaan yang kondusif, refleksi dari keadaan yang ada. Hasil olah pikir dari sudut pandang/penyikapan situasi, bukan dari yang sebenar-benarnya sedang menderita. Ia yang tersiksa belum bercerita, belum berkesempatan. Yang baru lahir sedang merangkak berjalan, ada yang belajar bicara menolak diberi nama. Maunya; aku menulis untuk mengangkat derajatku. Membebani diri dengan menumpu harapan berlebih pada laku menulis. Tak insaf benar ia sedang menegaskan; derajat “babu” di bawah penulis. Risau akan kemarginalitasan yang sebenarnya cuma digariskan keadaan.

Rose bukankah tetap bunga dengan batang berduri dan daun menyirip meskipun ia disebut mawar? Dan Garong Perkasa bisa saja jadi Jagoan Penunduk Garong bila kelak besar, si Ganteng bisa jadi si Buruk Rupa bila kelak tua. Maka, rekan saya yang berteriak dan menolak dan belajar bicara itu, kedengaran keras, sumbang dan mengandung satu pengertian: mencemaskan.[]

Hong Kong, 15/09/06
Pernah dimuat di Tabloid SUARA

0 tanggapan: