MENYIBAK FENOMENA SASTRA BURUH


Oleh: BENI SETIA

SPONGEBOB, dari animasi Spongebob Squarepants, sebenarnya seorang buruh. Lebih tepatnya, seorang pekerja paruh waktu di restoran Tuan Krab, di sela-sela kesi-bukannya sebagai seorang pelajar. Sebuah adonan yang menarik untuk menghadirkan realitas sosial kota kecil pedalaman Amerika Serikat, yang disimbolkan sebagai Bikini Bottom di dasar laut.



Dalam sebuah episode diceritakan, anak Tuan Krab dipaksa bekerja di restoran-nya, sebagai manajer pelaksana yang mengubah menu dan seragam, sehingga terjadi investasi inefisien yang malah membuat langganan lari. Tuan Krab memutuskan untuk memecat anaknya, lewat Spongebob yang hanya pekerja paruh waktu, karena sebagai ayah dalam menara manajemen keluarga, ia tidak berani menghukum si anak. Padahal anaknya sengaja melakukan manajemen ngawur agar segera dikeluarkan ayahnya, dan pergi piknik bersama kawan-kawannya.

Dalam sebuah episode diceritakan, Spongebob harus menyelesaikan tugas mengarang sebanyak 800 kata, tentang hal yang harus dikerjakan dalam kegiatan sehari-hari, dalam satu malam. Ilham banyak tapi imajinasi liar menyeretnya Spongbob melantur sampai subuh, sebelum kemudian memutuskan untuk menuliskan pengalamannya membuat karangan. Ketika tugas itu bisa diselesaikan tepat saat jam masuk dan disetorkan, gurunya bilang akan rapat dan karangan dikumpulkan minggu depan -- sambil menya-takan penyesalan karena tidak bisa menguhubungi Spongebob lewat telepon.

Karenanya, meski selalu menghadirkan susana bekerja di restoran Tuan Krab, atau situasi belajar di sekolah, tekanan cerita lebih kepada kekonyolan waktu luangnya si Spongbob -- bersama teman karibnya, Patrik si Bintang Laut. Persaingan bisnis antara restoran, situasi kerja, dan upah Spongebob yang dikatakan jarang dibayar -- padahal Spongebob cuma kerja paruh waktu -- tak pernah benar-benar dieksploitasi.

PENDEK kata, Spongebob Squarepants sebenarnya hadir dalam acuan setting, ka-rakter dan konflik buruh, tapi tak pernah bercerita tentang persoalan buruh, karena tekanannya lebih pada kekonyolan seorang remaja yang kelebihan waktu luang. Prioritas cerita melulu lucu menyebabkan Spongbob Squarepants gagal jadi cerita tentang buruh.

Bahkan seorang pekerja paruh waktu yang tak memiliki kontrak kerja yang jelas, sehingga berada dalam posisi [bargaining position] lemah -- tak bisa menggugat kesejahteraan lebih. Posisi ini mungkin menyebabkan kita harus mencermati termin buruh, yang terjabar kepada [a] buruh, sebagai worker yang mempunyai spesialisasi kerja dan ikatan kontrak yang jelas dengan perusahaan yang mapan, sehingga bisa bergabung dalam Serikat Pekerja dan lebur dalam Serikat Buruh nasional.

Secara kualitas teknik para worker ini terjabar pada kelompok blue collar, yang lebih merupakan tenaga pelaksana di lapangan, dan white collar, yang lebih merupakan tenaga menengah dan eksekutif di kantor. Di Indonesia kelompok white collar ini dibedakan dari kelompok yang bekerja di institusi negara atau yang non-PN. Kelompok itu disakralisasi oleh sistem feodalisme sehingga jadi elit yang mempunyai organisasi ekskusif -- Korpi dan Darma Wanita bagi yang sipil dan hirarkis Angkatan serta Persit dan sebagainya bagi TNI dan polisi. Sebuah kelompok worker yang tak sama dengan worker standar seperti buruh, manager pemasaran, dan seterusnya. Dan novel Umar Khayam, Para Priyayi, memotret dengan bagus usaha orang biasa untuk meniti tangga mobilisasi sosial vertikal dengan menjadi PNS di masa kolonial. Sedang novel JB Ma-ngunwijaya, Burung-burung Manyar, jadi menarik ketika karakter Teto dilihat dengan kerangka psikologi serupa.

Di titik ini kita bisa melihat novel Multatutli, Max Havelaar, sebagai penolakan seorang pegawai kolonial Belanda kepada kolonialisme kapitalistik yang memeras, dan terutama eksistensi tenaga pengelola pribumi yang tak memihak rakyat -- malah semakin menyengsarakannya dengan ikut mengeksploitasinya, tapi terasa sah dalam tatanan feodalisme. Sekaligus fakta itu mengingatkan kita pada asumsi Ralf Dahhendorf, yang menyatakan manajer bukan jurubicara buruh untuk bos tapi lebih mnerupakan alat bos untuk meredam kesadaran buruh yang menginginkan perubahan. Dan dengan kaca mata yang sama kita bisa menonton situasi perburuhan di perkebunan Deli lewat novel-novel M.H Szekely-Lulofs, Rubber [Berpacu Nasib di Kebun Karet, Grafitpers, 1985] dan Koelie. Dan bagaimana wiraswasta Minang di tanah perkebunan Deli dengan buruh-buruh yang dieksploitasi, mendapat kejayaan ketika bermajikan seorang wanita [=istri] Jawa ketimbang wanita Minang dalam novel Hamka, Merantau ke Deli.

Dengan acuan itu kita bisa mengapresiasi film Syumanjaya, Si Mamad, dalam kerangka perburuhan. Di mana seorang pegawai kecil, dengan gaji pas-pasan di tengah sistem penggajian yang tidak manusiawi yang mendorong orang untuk bertindak korup, hanya bisa bertahan hidup dengan ikut korupsi pensil, buku tulis dan lembaran kertas hvs. Tapi hal itu malah membuatnya tersiksa dan amat menderita, sementara atasannya malah enjoy. Hal itu menyebabkan kita melihat naskah drama Marcel Pagnol, Topaze, yang disadur Parakitri T. Simbolon menjadi Topaz: Sang Guru [Grmedia 1981], dengan kerangka lain. Topas, guru lugu dan pandir itu dinobatkan jadi pion yang ddianggap bisa dijadikan alat money laundry seorang koruptor, dengan menjadi direktur boneka yang kendalinya dipegang oleh gundik bos. Sebelum sadar kalau secara hukum semua itu miliknya dan karenanya ia ”merampas” harta rakyat itu dengan menendang si bos dan menguasai gundiknya. Cerita tragi-komedik yang kepahitannya jadi menonjol saat dihadirkan sebagai film -- dengan bintang almarhum pelawak S. Bagyo.

Serta [b] buruh sebagai buruh pocokan [bahasa Jawa] yang tak mempunyai ketrampilan, dipekerjakan paruh waktu oleh perusahaan mapan atau individu yang mapan, sehingga tak memiliki kontrak resmi dan tak punya perlindungan hukum. Bekerja dalam ikatan asimetrik patron-client, juragan-sahaya yang feodalistik. Di sini termasuk pekerja paruh waktu macam Spongebob, para pembantu [domestic helper], tukang repe-rasi radio rumahan, buruh tani serabutan, tukang becak, tukang pemijit buta keliling, pekerja warung nasi, pelacur, sastrawan dan segala macam pekerja informal lainnya.

Sekelompok orang yang bekerja dengan mengandalkan tenaga, yang dikondisikan dalam situasi pemanfaatan jasa sesaat dengan ikatan kerja seharian atau paruh waktu, dan karenanya hidup dan matinya dapur mereka tergantung dari adanya panggilan kerja -- yang tidak bisa dicari dan diburu. Sayang kondisi tragis ini jarang dilirik atau dieksploitasi oleh para sastrawan, karena yang hadir hanya potret eksistensial individual manusia yang terkelucak, yang tak menjanjikan gempita ideologi seperti ketika berbicara tentang sekelompok buruh pabrik yang dieskploitasi.

Bagi saya pribadi, seorang sastrawan lebih merupakan seorang buruh pocokan, ketimbang seorang worker yang memungkinkannya mempunyai Serikat Pekerja hingga bisa bergabung dalam Serikat Buruh nasional, seperti wartawan media tulis atau elek-tronika -- demikian pula karyawan usaha pers yang menerbitkan koran, majalah, atau siaran berita hiburan [= gosip selebriti] TV. Sebagai seorang buruh pocokan, sastrawan sangat peka akan ketidakpastian penghargaan kreativitas, dan bisa memahami kuatnya dorongan kapitalistik untuk mengkomoditaskan apa saja, dengan menggelorakan produktivitas demi mendapat uang honor dengan menulis fiksi atau apa saja. Sekaligus sastrawan itu jadi lebih mudah terharu dan tergugah oleh nasib buruh di tataran individual eksistensial manusia ketimbang secara ideologik.

PROBLEM Sastra Buruh terletak pada fenomana [a] yang menulis bukan seorang buruh atau orang yang bersimpati pada nasib buruh, dan karenanya hanya memanfaat-kan setting buruh buat tujuan non -kesejahteraan buruh. Bahkan menjadikan dunia mu-ram perburuhan sebagai komoditas buat nambah kekayaan pribadi. Animasi Spongbob Squarepants, film Marsinah, atau album kelompok Rage againts Machine [yang lirik-nya bersimpati pada kaum buruh] mendadak jadi komoditas yang menggiurkan.

Atau [b] yang diceritakan bukan kelompok riil atau simbolik buruh yang dieks-ploitasi, sehingga imbauan penyadaranan atau tawaran praksis emansipatorik ideologik jadi punya porsi utama. Yang mendapat porsi justru hal sebaliknya, teks berkutat dalam masalah personal eksistensial [seorang] manusia yang terjebak dalam situasi sosial perburuhan yang pincang, hingga yang hadir bukan ihwal ketidakadilan sosial-ekonomi, tapi justru pemaknaan alienasi manusiawi dari orang yang terpinggirkan dan berdamai dengan Allah SWT yang menggariskan nasib.

Kondisi metafisika, dan keyakinan adanya cakrawala Allah SWT sebagai asal dan akhir dari perspektif nasib manusia yang dihadirkan dan terdampar di dunia menjadikan kisah kemalangan buruh dan manusia yang terpinggirkan secara sosial-ekonomi itu memiliki dimensi pengkisahan dan pemaknaan lain. Lihat, misalnya, drama Kapai-kapai Arifin C Noor, yang berkisah tentang seorang buruh [Abu, yang mengatasi kesulitan hidup dengan bermimpi dan mengkhayal. Lantas bandingkan dengan Tengul, yang melawan keterpurukan ekonomi secara elmu pesugihan, meski akhirnya lebih memilh miskin secara sosial-ekonomi ketimbang berlebihan secara duniawi tapi kehilangan iman. Yang menunjukkan keberpihakan seorang Arifin C Noor pada humanisme-relegius di tengah alienai ekonomi. Padahal ia sangat membenci kondisi sosial-ekonomi yang menurutnya pincang, dengan sikap konsumtif hedonistik orang berduit yang individualistik menyebabkan orang terpinggirkan makin terperosok ke dalam penderitan -- simak, Arifin C Noor, ”Sastra Kita Sastra Borjuis”, dalam Dewan Kesenian Jakarta, Dua Puluh Sastrawan Bicara, Sinar Harapan, 1984, hlm, 89-95.

Secara teksual pilihan pada yang terakhir terkadang menyebabakan seorang sastrawan dan teks sastra ditolak sebagai bagian dari Sastra Buruh, bahkan dicemoohkan sebagai potret elitis yang pure art. Dan kondisi itu pula yang terkadang menyebabkan seorang sastrawan yang terpanggil menuliskan nasib buruh menolak untuk menghadir-kan aspek eksistensial manusiwai tokohnya -- dan cenderung ingin menghadirkan yang karikatural ideologis. Karya Utuy T. Sontani, Awal dan Mira -- yang bercerita tentang wiraswata korban perang kelas pinggiran -- lebih humainstik dibandingkan tema bertendens yang vulgar dalam Si Sapar, misalnya.

Kondisi itu menyebabkan kita terbelah oleh sampai sejauh mana ideologi berperan dan dijadikan acuan utama. Padahal, tanpa acuan ideologi atau ideologi mana yang dijadikan acuan, seorang Subagyo Sastrowardoyo tak menemukan perbedaan signifikan di antara puisi yang ditulis kelompok Lekra dan kelompok Manikebu. -- lihat ”Sadjak-sadjak Perlawanan Taufiq Ismail Dan ’Angkatan 66’” dalam Subagio Sastrowardojo, Bakat Alam dan Intelektualisme”, Pustaka Jaya, 1971, hlm 89-106. Di mana keduanya berbicara dari posisi kami yang dieksploitasi dan diinjak-injak oleh mereka yang do-minan, determinan, sewenang-wenang dan tak mempedulikan nasik kami dan kebenaran lain. Melulu berurusan dengan kekamian dan bukan kekitaan. []

Disampaikan dalam acara diskusi Sastra Buruh di Festival Sastra Buruh (Blitar, 1 Mei 2007

0 tanggapan: