Diskusi kepenulisan yang digelar Rabu malam (16/01) di STKIP PGRI Kabupaten Ponorogo tidak saja meriah oleh para mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra kampus tersebut. Diskusi yang dimoderatori oleh Drs. Sutedjo, M.Hum, salah seorang dosen di kampus tersebut, juga dijadikan oleh mahasiswa untuk menimba ilmu menulis.
Banyak pertanyaan yang berkisar tentang teknik-teknik menulis disampaikan oleh mahasiswa di sesi tanya-jawab kepada para pembicara: tiga orang mantan BMI Hongkong – Eni Yuniar, Tania Roos, dan Mei Suwartini , Bonari Nabonenar. Tiga orang mantan BMI Hongkong tersebut adalah sebagian kecil dari kelompok BMI yang menggeluti dunia tulis-menulis.
Diskusi menjadi menarik, antara juga karena – diakui oleh salah seorang mahasiswa – mahasiswa lebih memiliki banyak kesempatan untuk menulis, tetapi kebanyakan tidak menulis. Sementara para BMI, waktu dan kesempatannya sangat terbatas ketika masih jadi BMI, tetapi mereka bisa terus menghasilkan berbagai tulisan, diterbitkan di berbagai media massa, bahkan buku.
BMI penuh kendala dalam menulis. Tania Roos, misalnya. Dirinya mengisahkan, ketika bekerja pada majikan di Hong Kong, kalau mau menulis, ia terpaksa menunggu waktu malam hari dan menulisnya pun sambil duduk di atas toilet. ’’Kalau saya menulis di ruang lain, otomatis lampunya terang. Itu bisa mengganggu majikan saya. Oleh karena itu, supaya tidak mengganggu majikan, supaya di ruang lain tetap gelap, saya masuk kamar kecil. Saya menulis sambil duduk di toilet. Lampu terang, tetapi majikan saya tidak melihat,’’ kata Tania.
Mei Suwartini lebih parah lagi. Majikannya di Hong Kong tidak suka Mei menulis. Itu ditambah kesibukannya sebagai BMI sangat padat di samping sang majikan sendiri sangat ketat menerapkan aturan kepada BMI-nya. Mei tidak boleh menyimpan disket, flashdisk, apalagi laptop.
Alhasil, untuk menulis, Mei harus mencuri-curi waktu. Ia menuliskan naskah-naskah tulisannyha dengan tangan, lalu ia akan minta tolong kepada salah seorang rekannya sesama BMI untuk mengetikkan naskahnya. Hanya Eni Yuniar yang tidak terkendala majikan untuk aktivitas menulisnya.
Manfaat Menulis
Dalam keadaan terkendala, apalagi tidak, BMI Hong Kong terus melahirkan berbagai bentuk tulisan baik puisi, cerpen, karya jurnalistik, juga novel. Hal itu karena mereka paham benar manfaat positif dari aktivitas menulis.
Seperti dikemukanan oleh para BMI yang jadi pembicara, banyak manfaat yang mereka dapatkan dari kegiatan menulis. Di antaranya, dengan menulis, dirinya dapat mencurahkan dan membagikan pikiran, perasaan, dan gagasan kepada orang lain melalui karya tulis. Manfaat lain, jika tulisan berhasil dimuat di media massa atau dapat juara, selain ada kepuasan batin dan menjadikan dirinya lebih dikenal, juga mendapatkan keuntungan finansial dari honor tulisan.
Menulis juga memiliki manfaat social dan pemenuhan rasa tanggung jawab. Hal ini diakui oleh Eni Yuniar yang sejak SMP sudah menghasilkan tulisan, mula-mula cerita-cerita anak. Mantan ketua IMWU ini mengaku dirinya menulis karena dirinya punya tanggungjawab moral untuk menolong BMI di Hong Kong yang bermasalah. Oleh karena itu, diorganisasinya ia menerbitkan dan menulis seputar hukum-hukum perburuhan. Hal itu dilakukan sebagai salah satu cara untuk memberikan pendidikan/penyuluhan kepada BMI.
Manfaat dan motivasi seperti yang dimiliki oleh para BMI itu yang belum banyak dimiliki oleh kebanyakan mahasiswa, termasuk mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra. Oleh karena itu, Sutedjo menyarankan agar mahasiswa belajar dari para BMI dan segera memulai menulis.
Sense of Belonging
Diskusi sastra yang menampilkan BMI yang menulis sebagai pembicara sudah yang kesekian kalinya diadakan. Pemimpin Redaksi Majalah Peduli Bonari Nabonenar, yang aktif menggelar acara-acara seperti ini mengemukakan, kegiatan semacam ini memang sangat penting. Sebab, dengan demikian, orang-orang daerah bisa mengenal bahwa daerahnya memilik BMI yang juga jadi penulis.
Ponorogo sendiri memiliki beberapa BMI yang jadi penulis. Selain Mei Suwartini dan Eni Yuniar, masih ada lagi Tanti dan lainnya. ’’Kita berharap Ponorogo bisa menangkap ini (BMI yang menggeluti dunia tulis-menulis, red) sebagai potensi kebudayaan atau kesenian wilayah. Terus, nanti kalau penulisnya pulang disambutlah,’’ ungkap Bonari.
Jangan sampai kasus di Banyuwangi terjadi juga di daerah lain. Bonari menceritakan, di Banyuwangi ada mantan BMI Hong Kong yang namanya Eni Kusuma.
’’Eni Kusuma ini ketika pulang, terbit bukunya Anda Luar Biasa!!! Dan kemudian, ia juga jadi pembicara, bahkan ada yang menawari talkshow keliling Indonesia sebagai motivator. Tapi, Banyuwangi sendiri malah tidak mengenal Eni Kusuma,’’ kata Bonari prihatin.
Dalam pandangan Bonari, yang terjadi di Banyuwangi itu merupakan sebuah ’kesalahan lokal’. Artinya, ibaratnya orangtua, Banyuwanginya itu sendiri malah tidak menerima anaknya, Eni Kusuma.
0 tanggapan:
Posting Komentar