One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
PETUGAS IMIGRASI DI BANDARA SOEKARNO-HATTA
Kali ini saya ingin berbagi sedikit cerita tentang pengalaman ketika saya cuti ke Indonesia. Kebetulan saya PP-nya Hong Kong – Jakarta. Nah, pada saat saya ingin check in (kayak hotel saja heheheh...), petugas Imigrasi yang memeriksa pasport dan visa itu menanyakan secarik kertas warna putih-hijau yang harus diisi nama, alamat, dan lain-lain. Saya disangka kelupaan karena saya memang tidak begitu peduli. Tadinya, saya pikir, asal ada pasport sudah akan beres semua.
Si Petugas berseragam coklat muda bertanya, ’’Kamu mau ke mana?’’
’’Ke Hong Kong, Pak,’’ Tak lupa saya berikan senyum termanis.
Tetapi, tiba-tiba.....
’’PRT ya? Lha kenapa belum kamu isi ini?’’ sambil dia menunjukkan kepada saya 2 lembar formulir kecil itu. Wajah itu benar-benar kurasakan tak bersahabat, seolah saya bekerja sebagai pembantu itu bener-bener bisa seenaknya dihardik.
Dengan hati yang sedikit sakit, namun senyum ini tetap saya umbar untuknya, ’’Oh,maaf Pak, biar saya isi di sebelah sana,,’’ kataku sambil menerima formulir itu dan menuju meja kecil tak jauh dari situ.
Dan di belakang saya ada seorang gadis cantik nan seksi.
’’Mau kemana Mbak?’’ tanya Si Petugas kepada perempuan seksi itu. Kok, sama perempuan itu Si Petugas bersikap jauh lebih manis, ya?
’’Ke Korea, Pak!’’ jawab gadis itu sembari senyum dan mengulurkan pasportnya.
’’Kerja ya?’’ Si Petugas masih terus menatap gadis itu dengan senyum ramahnya.
’’Tidak Pak, ikut suami di sana!’’ Dan dengan cepat dia melayani gadis seksi itu, sambil sesekali berbisik dengan teman di sampingnya.
Saya terus memerhatikan kedua Petugas Imigrasi yang duduk bersebelahan itu. Entah mengapa, tiba-tiba saya muak melihatnya. Apakah karena saya seorang buruh dan tak secantik perempuan sekdi itu sehingga mereka bisa semena-mena terhadap saya? Menelanjangi jiwa saya hingga tak tersisa harga diri ini?
Namun, akhirnya saya memilih tak peduli. Dalam hitungan menit saya sudah kembali dengan formulir itu.
’’Cepat amat! Siapa yang membantumu menulis?’’ dengan mengamati tulisan saya dan pandangan ejekan itu tetap dia tujukan. Mungkin dia pikir aneh kalau seorang pembantu bisa menulis dengan cepat.
Nah, kan! Dia protes, ’’Lha kamu lulusan apa kok nulisnya cepat?’’
’’Maaaf Pak, pesawat akan segera berangkat, sudah waktunya!’’ saya tak pernah menjawab pertanyaanya lagi.
Kenapa mereka tak pernah menghargai warganya sendiri ya? Hanya itu yang ada dalam pikiran saya. Apa salahnya menjadi seorang pekerja rumah tangga? Apakah haram? Apakah yang cantik-cantik itu juga cantik di dalamnya?
TKI itu adalah ’’mutiara dalam debu’’. Kebanyakan orang akan memandang rendah, padahal mereka menyimpan kekayaan yang tak semua orang bisa memilikinya: Pengalaman Hidup, bukankah hal termahal dalam hidup ini. Itu saja. Dan saya berharap, andai saja para Petugas Imigrasi itu tahu bahwa saya dan teman-teman adalah bagian dari rakyat yang menggaji mereka pula! Terdengar lucu, kan?
Dan andai mereka tahu, jangankan menulis isian 2 lembar formulir. Kehidupan mereka selama 5 tahun pun bisa saya tuliskan dalam beberapa menit? Sombong? Saya rasa tidak. Karena justru ini mendorong saya untuk menuliskan tentang keadilan yang selalu terlupakan untuk kawan-kawan TKI. Itu saja.[]
Hong Kong, 06 Februari 2006
Tanti Reog
tanti_wae@yahoo.com
0 tanggapan:
Posting Komentar