Minggu, 24 Februari 2008 | 02:18 WIB
Jakarta, Kompas - Di tengah kontroversi mengenai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN di Semenanjung Muria, Masyarakat Peduli Bahaya PLTN mendesak pemerintah membatalkan segala upaya untuk membangun PLTN fisi di Semenanjung Muria.
Desakan itu termuat dalam pernyataan sikap yang ditandatangani 28 akademisi dari berbagai bidang ilmu, didukung sekitar 200 peserta yang hadir dalam pertemuan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Sabtu (23/2), tentang rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria.
Pernyataan tersebut merupakan puncak dari proses yang berlangsung sejak tahun 2007 dengan tujuh kali forum diskusi yang melibatkan berbagai kalangan. Proses itu merupakan tanggapan atas skenario rencana pembangunan PLTN yang sudah dirancang oleh pemerintah.
Sejak 2004 pemerintah menghidupkan lagi rencana pembangunan PLTN fisi (pembelahan inti-inti atom) di Semenanjung Muria. Rencana itu sudah ada sejak 1974, tetapi diambangkan hingga tahun 1996, menyusul protes keras dari masyarakat.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2006 yang menetapkan Kontribusi Sumber-sumber Energi Alternatif minimal 5 persen, termasuk energi nuklir, disusul PP No 43/2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.
Padahal, dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim yang berlangsung Desember 2007 di Bali telah ditetapkan bahwa nuklir tak termasuk dalam energi alternatif yang dapat mengurangi emisi karbon dioksida di atmosfer.
Dalam diskusi itu muncul berbagai pendapat yang antara lain menyatakan, persoalan PLTN bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga harus mempertimbangkan berbagai aspek, terutama pertimbangan nilai etis.
Profesor Sastrapratedja dari STF Driyarkara mengatakan, ”Kemampuan manusia menciptakan teknologi tidak selalu otomatis sepadan dengan kemampuan mengendalikan.” Ada faktor budaya dan psikologis yang belum mendapat perhatian penuh. Teknologi memiliki mekanismenya sendiri dan dapat menyebabkan dampak yang tidak dikehendaki, seperti limbah nuklir.
”Karena punya akibat luas, perlu pertimbangan etika yang lebih luas dari etika tradisional,” ujarnya.
Ia mengingatkan, segala tindakan harus dipertimbangkan agar berkesesuaian dengan kelangsungan manusia. Artinya, generasi yang akan datang punya hak yang sama untuk hidup layak dalam lingkungan alam yang bebas pencemaran.
Heru Nugroho dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengingatkan kuatnya politik pencitraan di balik rencana pembangunan PLTN. ”Siapa yang paling membutuhkan energi nuklir? Pebisnis? Korporasi multinasional yang menyubsidi nuklir? Pemerintah? Birokrat? Komprador? atau rakyat?” ujarnya.
Terkait dengan politik pencitraan, anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Sonny Keraf, mengatakan, sikap keras mengegolkan PLTN bagi banyak pihak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi Amerika Serikat, khususnya menyangkut isu nuklir di Iran.
Ia mengatakan, sosialisasi oleh pemerintah selama ini hanya pada penyampaian hal positif, tetapi dampaknya tidak disampaikan. ”Banyak negara maju yang sudah meninggalkan pembangkit tenaga nuklir karena dinilai tidak aman,” tambahnya. Ia mencontohkan Jerman dan negara Skandinavia yang lebih maju memilih energi alternatif, seperti energi surya dan angin. Indonesia juga memiliki sumber energi alternatif berlimpah, seperti angin, matahari, dan gelombang. Forum itu menilai selama ini pemerintah tidak memiliki kehendak kuat untuk mengembangkan energi alternatif yang aman dan ramah lingkungan. (MH/isw)
Di-kopas dari sini:>
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar