Dari Penggusuran hingga Kekerasan terhadap Istri

Menjadi pengacara sebenarnya bukanlah cita-cita Puji Utami. Saat masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, ia justru berkeinginan menjadi notaris. ’’Aku dulu mau jadi notaris,’’ katanya. Keinginan tersebut mulai berubah ketika pada tahun 1987 terjun sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Di LBH inilah ia banyak bersinggungan dengan kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah dengan rakyat yang biasa disebut sebagai kasus struktural, seperti penggusuran. ’’Tanah dibeli dengan harga murah sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa memulai hidup baru dengan uang sekecil itu,’’ kenang Utami.

Tahun 1989 Utami mengundurkan diri dari LBH dan menjadi asisten pengacara Artidjo Alkostar yang saat ini menjabat sebagai hakim di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tak lama kemudian, tahun 1993, Utami kembali bergabung dengan lembaga sosial yaitu Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta (yang sekarang berubah nama menjadi Pusat Pengembangan Sumber Daya Rifka Annisa). Sebuah lembaga yang memiliki kepedulian akan masalah kekerasan terhadap perempuan.

Keterlibatannya di lembaga ini semakin mengukuhkan pilihan hidupnya sebagai pengacara. Tahun 1996, ia pun mengantongi izin untuk beracara di wilayah hukum DI Yogyakarta. Empat tahun kemudian, ia mendapatkan sertifikat advokat sehingga bisa beracara di wilayah hukum yang lebih luas.

Merasa sudah cukup belajar dan berkiprah di lembaga sosial, tahun 2004 Utami mengundurkan diri dari Rifka Annisa. Terhitung sejak tahun 2005, ia memilih membuka kantor pengacara secara mandiri. Meski demikian, persinggungannya dengan lembaga-lembaga sosial di mana ia pernah berkiprah tetap mewarnai kerja-kerjanya.

Utami mengaku tak mau mengambil keuntungan dari kasus yang dihadapi oleh orang yang tak mampu. Sehingga ia memilih merujukkan klien dengan kondisi tersebut ke lembaga non-profit yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti LSM atau lembaga independen lainnya. Termasuk di dalamnya kasus yang menimpa buruh migran. ’’Tidak tega minta ongkos transport. Seperti PRT (pekerja rumah tangga) itu gajinya berapa, kan kasihan,’’ katanya.

Diakui Utami bahwa dengan beracara mandiri seperti sekarang ini, keragaman kasus yang ditangani tidak lagi seperti saat dirinya masih terlibat dengan lembaga-lembaga sosial. Saat di LBH Yogyakarta, ia banyak terlibat dengan kasus yang ia sebut, ’’Kasus serius, (klien) tidak punya banyak uang, melibatkan banyak orang.’’ Sedangkan ketika di Rifka Annisa ia memiliki pengalaman berharga, berhadapan dengan perempuan yang mendapatkan kekerasan dari pasangannya. Hal ini benar-benar membukakan mata Utami bahwa, ’’Isteri dipukuli benar-benar terjadi.’’

Saat ini lebih banyak menangani masalah keluarga seperti perceraian, gono-gini, warisan, dan sejenisnya. Dibantu dua orang staf, Utami mengerjakan tugas kesehariannya. Pendekatan yang tidak melulu dari aspek hukum, melainkan juga sosial dan personal yang dilakukannya pada setiap kasus menjadikan hubungan Utami terjalin tak hanya dengan klien tetapi juga dengan lawan hukumnya. Bahkan tak jarang di belakang hari, lawan hukumnya justru merujukkan klien padanya.[am]

Ketika Perempuan Menjadi Buruh Migran


Keutuhan Rumah Tangga Dipertaruhkan

Memiliki keluarga bahagia dan hidup bersama sepanjang masa merupakan harapan semua orang ketika mulai membina rumah tangga. Namun dalam perjalanan, tak jarang sebagian di antara mereka terpaksa menjadikan perpisahan sebagai pilihan karena kebersamaan berubah menjadi siksaan. Ironisnya, pada sebagian kasus hal ini justru terjadi ketika salah satu pihak tengah menegakkan pilar rumah tangga yang ambruk karena salah satu sendinya tak tercukupi: ekonomi.


Itulah yang menimpa sebagian buruh migran perempuan Indonesia. Saat mereka mengadu nasib di negeri asing demi keberlanjutan rumah tangga, sang suami justru menghamburkan uang yang mereka kirimkan. Bahkan, tak sedikit dari suami-suami tersebut yang kemudian hidup bersama perempuan lain.

Menurut pengacara dan advokat Puji Utami, SH yang ditemui pertengahan Mei lalu di Yogyakarta, kasus seperti itu banyak dijumpai di wilayah di mana angka buruh migran cukup tinggi. Perempuan yang memiliki perhatian pada masalah-masalah perempuan ini menuturkan kondisi tersebut membuat buruh migran perempuan berada dalam kondisi sulit. Beban mereka sebagai pencari nafkah dalam rumah tangga harus ditanggung bersama dengan beban lain, menjaga keutuhan keluarga.

Dalam kondisi dimana perempuan ini tak dapat menanggungkannya lagi, perceraian kemudian menjadi pilihan. Utami mengilustrasikan salah satu kliennya, sebut saja N, seorang buruh migran Indonesia di Hong Kong yang akhirnya memilih bercerai karena suaminya tak bisa dipercaya. Menurutnya, selain sebuah rumah yang berhasil dibangun, uang yang dikirimkan N kepada suami tak berbekas lagi. Termasuk uang yang sedianya dimaksudkan sebagai modal usaha.

Ternyata proses perceraian N dengan suaminya tak semulus yang dibayangkan. Suami N berkeras mempertahankan keutuhan rumah tangga dengan alasan yang bisa dikatakan egois, menurut bahasa Utami. ’’Bagaimana ya Bu, dia itu cantik dan bisa cari uang,’’ kata Utami menirukan keberatan suami N atas gugatan cerai yang dilayangkan isterinya. Proses menjadi lebih alot lagi karena suami merasa berhak terhadap harta mereka sekalipun N-lah yang selama ini bekerja.

Pengguna jasa bantuan hukum atau pengacara belakangan memang tidak hanya dimonopoli kaum laki-laki. Seperti kata Utami, perempuan kini semakin banyak yang memiliki kesadaran hukum dan keberanian untuk menyelesaikan persoalan lewat jalur hukum. Meski mengaku 95% kasus yang ditangani merupakan persoalan keluarga bukan berarti Utami menutup diri terhadap kasus lain.

’’Mungkin karena perempuan dianggap lebih telaten,’’ jawabnya ketika ditanya mengapa sebagian besar kliennya datang dengan kasus rumah tangga. Jawaban ini bisa saja benar mengingat perempuan pengacara tak banyak jumlahnya. Apalagi pengacara yang membuka kantor secara mandiri seperti dirinya.

Meski demikian, tak semua kasus yang ditanganinya berlanjut hingga proses hukum. ’’Kalau bisa musyawarah, ya kita musyawarah,’’ kata Utami. Dalam kondisi demikian, Puji memposisikan dirinya sebagai mediator bagi dua pihak yang tengah berseteru.[am]

Krisis Global Jadi Alasan, Nasib Buruh Dipertaruhkan

Sepanjang 2009 perhatian, pikiran, dan tenaga bangsa Indonesia seolah tercurah untuk dua pemilihan umum yang digelar pada tahun ini. Setelah pemilihan umum legislatif April lalu, kini bangsa Indonesia tengah bersiap-siap menghadapi pemilihan presiden yang akan digelar Juli mendatang.

Di tengah berbagai janji yang ditebar para calon legislator dan calon presiden/wakil presiden akan perubahan dan perbaikan, berbagai keprihatinan masih tetap dirasakan oleh banyak kalangan. Tak terkecuali para buruh, terutama buruh perempuan. Pergantian pimpinan di pucuk pemerintahan, tak banyak berpengaruh terhadap kondisi mereka. ’’Kondisi perempuan belum berubah,’’ kata Amin Mufityanah, Direktur Yayasan Annisa Swasta, sebuah lembaga yang berkonsentrasi pada persoalan buruh perempuan, mengomentari keadaan ini akhir April lalu. ’’Malah tidak terdengar. Kalah dengan isu lain, terutama politik.’’

Menurutnya belakangan kondisi buruh perempuan justru semakin memprihatinkan. Sejak dulu buruh memang terkena imbas langsung dari jaringan bisnis internasional. Maka saat terjadi krisis global seperti sekarang, imbas ini tak bisa dielakkan. Terlebih di Indonesia banyak perusahaan yang merupakan investasi asing.

Amin menjelaskan bahwa sebenarnya tidak diketahui dengan pasti bagaimana kondisi perusahaan-perusahaan tersebut saat ini. Sebagian di antanya tiba-tiba berhenti beroperasi tanpa alasan pasti. ’’Pindah atau ke mana tidak jelas,’’ kata Amin.

Krisis global juga menjadi alasan berbagai perusahaan untuk tidak memberikan hak buruh sesuai ketentuan. Perusahaan yang mempekerjakan mayoritas buruh perempuan memiliki kecenderungan lebih besar melakukan hal demikian. Sebab biasanya perempuan akan lebih maklum dan bisa menerima alasan tersebut.

Apa yang terjadi di sebuah perusahaan garmen di sebelah barat Yogyakarta membuktikan hal ini. Dengan alasan krisis global, pihak perusahaan menunda pembayaran terhadap para buruhnya yang hampir semuanya perempuan. ’’Padahal belum ada bukti (kalau perusahaan terimbas krisis global) karena perusahaan tetap berproduksi,’’ papar Amin. Dalam kondisi demikian buruh tersebut tetap setia datang ke perusahaan. Menjalankan tugas mereka sambil mengharap upah mereka dibayarkan. Menurut ketentuan hukum, perusahaan terkena denda sebesar 5% per hari untuk keterlambatan pembayaran. Namun, hampir tak ada perusahaan yang memenuhi ketentuan ini.

Tak hanya soal kesejahteraan yang tidak diberikan sesuai ketentuan, sebagian besar perusahaan saat ini juga tidak mau mengangkat buruh tetap. Mereka memilih mempekerjakan buruh yang dikontrak untuk masa tiga hingga enam bulan, sehingga kewajiban dan beban yang harus ditanggung perusahaan lebih ringan. Hal ini menjadikan gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah tidak signifikan. ’’Setelah upah naik, mereka keluar,’’ jelas Amin.

Persoalan lain yang muncul adalah semakin tingginya jumlah perusahaan yang memilih mempekerjakan tenaga outsource (biasa disebut sebagai buruh informal) dalam proses produksinya. Terutama industri-industri padat karya. Bagi sebagian buruh terutama perempuan hal ini dirasa memudahkan karena mereka dapat memperolah penghasilan sementara pekerjaan rumah tangga tetap bisa mereka lakukan.

Mengenai hal ini Amin berpendapat bahwa sebenarnya posisi buruh informal hanya menguntungkan perusahaan dan agen yang merekrut jasa para pekerja lepas ini. Bukan hanya tidak mendapatkan informasi mengenai perusahaan mana yang menggunakan jasa mereka, buruh informal sering kali juga tidak tahu berapa sebenarnya upah yang seharusnya mereka terima. Sistem kerja yang diterapkan di sini bisa disebut sistem sel karena para buruh hanya mengenal pihak yang secara langsung memberi order pada mereka. Sebaliknya perusahaan juga tidak mengetahui siapa saja yang terlibat dalam proses produksi mereka. [sa]

Mei 2009

Sebulan, Ratusan Pasutri Cerai di Ponorogo

Tertinggi Selama Tiga Tahun Terakhir

PONOROGO - Harta berlimpah belum tentu menjamin keluarga bahagia. Sebaliknya, bertambahnya harta acap menjadi pemicu retaknya keharmonisan rumah tangga. Tak jarang, berujung perceraian. Fenomena seperti itu, kini ngetren di Ponorogo.


Dari bulan ke bulan, angka perceraian meningkat signifikan. Puncaknya bulan ini yang menembus angka 174 kasus. Jumlah pasangan suami istri (pasutri) yang mengajukan cerai diperkirakan masih akan terus bertambah hingga akhir bulan mendatang. ''Bulan ini yang paling tinggi selama tiga tahun terakhir,'' terang Misnan Maulana, humas Pengadilan Agama (PA) Ponorogo, kemarin (22/10).

Menurut dia, biasanya dalam satu bulan menangani pengajuan perceraian sekitar 80 hingga 100 kasus. Namun, usai lebaran kemarin, pengajuan perceraian meningkat drastis. Dikatakan, kondisi seperti ini seperti sudah jadi kebiasaan. ''Saat lebaran banyak TKI/TKW yang pulang. Selain membawa uang, waktu pulang digunakan mengurus perceraian,'' paparnya.

Masih menurut Misnan, dari sekitar 800 kasus perceraian yang ditangani paling banyak melibatkan pasutri (tenaga kerja Indonesia) TKI. Baik yang pria jadi TKI atau yang perempuan jadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar. ''Ada beberapa faktor yang mereka ungkapkan saat sidang perceraian,'' ujarnya.

Di antaranya faktor ekonomi. Biasanya, perempuan yang jadi TKW setelah status ekonominya meningkat menjadi tidak cocok dengan suami yang di kampung. Begitu pula dengan TKI yang istrinya di rumah. Merasa tinggal di luar negeri, si suami sudah kerasan dan gandeng dengan perempuan lain. ''Tapi ada juga perceraian itu disebabkan perselingkuhan. Baik yang dilakukan kaum pria maupun pihak wanita,'' jelasnya.

Dijelaskan, pihaknya sudah berusaha maksimal mencegah perceraian itu. Caranya dengan mengusulkan rujuk dan menyelesaikan persoalan keluarga melalui persidangan. Namun, kebanyakan pasutri yang datang ke PN sudah bulat ingin cerai. Sehingga berbagai saran yang di usulkan pihak pengadilan tidak diikuti. ''Kami sudah berusaha maksimal, tapi apa boleh buat kalau memang keinginan mereka seperti itu,'' pungkasnya.(dhy/sad)

Radar Madiun, Jum'at, 23 Oktober 2009

Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani

Oleh Muslimin Nasution, Ketua Presidium ICMI

Para pelaku ekonomi dalam masyarakat berbeda-beda keadaannya. Ada kelompok 'kuat', mereka yang menguasai akses kepada teknologi, permodalan, jaringan pasar, dan pembuat kebijakan. Amy Chua, pengarang buku terkenal World on Fire, menyebutnya market dominant. Yang termasuk kelompok ini jumlahnya hanya sedikit, tetapi sangat berkuasa. Market dominant akan menikmati kue ekonomi paling banyak dalam pasar bebas. Semakin bebas, semakin banyak yang mereka dapatkan. Sejarah menunjukkan, jika dibiarkan, mereka akan berubah menjadi tiran.


Dalam sektor pertanian global, keberadaan market dominant ini telah menimbulkan kekhawatiran. Pada 2005, FAO melaporkan bahwa nilai total bisnis komoditas pertanian dunia, khususnya komoditas yang bernilai tinggi dan produk-produk olahannya, semakin didominasi perusahaan-perusahaan transnasional. Misal, hampir 40% nilai total bisnis kopi dikuasai empat perusahaan, sedangkan 455 industri pengolahannya dikuasai hanya oleh tiga perusahaan. Enam industri cokelat terbesar menguasai 50% nilai total bisnis cokelat dunia. Hanya tiga perusahaan yang menguasai 80% pasar kedelai di Eropa dan tiga perusahaan menguasai 70% pasar di AS.

Di tingkat pengecer, dominasi supermarket telah meningkat amat pesat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di seluruh dunia, lima ritel terbesar mengendalikan 30% hingga 96% bisnis eceran produk pangan dan pertanian.

Market dominant saat ini mungkin lebih besar dan lebih berkuasa jika dibandingkan dengan pada 2005. Lalu bagaimana dengan market dominant di sektor pertanian di Indonesia? Keadaannya ternyata sejalan dengan temuan FAO. Nilai tambah bisnis perdagangan kedelai sebagian besar hanya dinikmati lima perusahaan. Harga ubi kayu dan tapioka sangat 'patuh' kepada instruksi sebuah perusahaan, padahal industri tapioka rakyat ratusan jumlahnya. Apalagi pasar terigu yang dimonopoli sebuah perusahaan sejak dahulu. Komoditas lain yang bernilai tinggi, situasinya kurang lebih sama.

Persoalan ini jika terus dibiarkan, tentu mengusik rasa keadilan masyarakat. Untuk mengatasinya, kita memerlukan 'kebijakan yang berpihak' kepada petani. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana yang disebut 'kebijakan yang berpihak' itu.

Di zaman Orde Baru pernah dikeluarkan kebijakan Bukti Serap Susu, yakni industri pengolahan susu diwajibkan membeli susu segar dari peternak dalam negeri dengan harga yang sangat menguntungkan peternak, yaitu dua kali lipat daripada harga sebelumnya. Pada awalnya industri menolak dengan berbagai alasan: susu dari peternak bau nangka karena sering diberi makan daun nangka, kandungan bakterinya banyak, harga terlalu tinggi sehingga pabrik akan bangkrut jika membeli susu dari peternak, dan berbagai alasan lainnya. Industri juga tidak mau menerima susu pada Minggu, padahal sapi memproduksi susu tidak mengenal hari sehingga jika industri tidak mau menerima, sebagian besar susu yang dihasilkan pada Minggu akan terbuang.

Namun demikian, pemerintah waktu itu tetap bergeming dengan kebijakannya yang propeternak. Jika ada industri menolak, industri itu tidak diberi izin untuk mengimpor produk tertentu yang menjadi bahan baku produknya. Kebijakan itu kemudian membuat usaha peternakan dalam negeri bangkit dan peternak menjadi lebih sejahtera. Di sisi lain, ternyata tidak ada industri pengolahan susu yang bangkrut akibat membeli susu dari peternak. Malah peternak dapat memperbaiki kualitas susu yang mereka produksi sehingga memenuhi standar industri.

Di negara lain, kebijakan yang berpihak kepada pertanian dan petani sangat lumrah. Presiden Nigeria mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan industri produsen terigu mencampur 10% terigu dengan tepung singkong. Nigeria adalah salah satu negara produsen utama singkong di Afrika. Adanya kebijakan itu otomatis menciptakan captive market sebesar 200 ribu ton tepung singkong per tahun untuk industri singkong dalam negeri yang banyak dimiliki para petani.

Pemerintah Malaysia tidak segan membebaskan Pajak Ekspor CPO ketika dirasa perlu, dan ketika Pajak Ekspor diberlakukan, 100% pungutan itu dikembalikan lagi ke industri dalam bentuk riset dan pengembangan (48%), marketing atau promosi (13%), penegakan hukum (12%), dan safety net fund (26%) yang digunakan untuk mengendalikan harga minyak goreng dalam negeri. Pemerintah Malaysia juga membuka akses kredit bagi petani dengan mereformasi aturan kredit sehingga sesuai dengan kondisi petani. Misalnya, ada yang disebut Must (modal usahawan tani), yang menyediakan kredit dengan ketentuan di antaranya: 1) pembiayaan untuk semua kegiatan pertanian mulai dari on-farm, processing hingga pemasaran; 2) mengusahakan kegiatan yang kurang dari dua tahun; 3) tidak diperlukan kolateral; 4) tidak ada biaya proses.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah bersedia mewujudkan berbagai kebijakan yang berpihak itu? Jika ya, PR yang perlu segera diselesaikan adalah merumuskan berbagai bentuk kebijakan yang berpihak itu, mulai dari reformasi agraria, credit reform, jaminan harga, jaminan pasar, teknologi, dan persoalan lainnya yang mendasar. []


Media Indonesia, Rabu, 14 Oktober 2009 00:01 WIB

Ironi Nila Djoewita A. Moeloek

Oleh : Mahmudi Asyari

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan wawancara calon menteri pada hari pertama, sosok Nila Djoewita A. Moeloek dinilai sebagai calon yang pas untuk menduduki menteri kesehatan, Meski, menurut saya, terkesan ada aspek patronase karena istri seorang mantan menteri kesehatan. Namun, selain lantaran bisa menyerap pengalaman suaminya, saya setuju dialah calon menteri jika pahlawan pejuang pengontrolan virus, Siti Fadilah Supari, harus diganti.


Namun, ketika hasil tes kesehatan periode pertama sudah sampai ke tangan presiden, terdengar rumor bahwa sejumlah calon menteri tidak lulus tes kesehatan. Rumor itu pun semakin kuat ketika seluruh calon menteri telah menjalani tes kesehatan. Menurut rumor tersebut, salah seorang calon menteri yang tidak lolos tes adalah Nila Djoewita A. Moeloek.

Di benak saya, terlintas bahwa yang paling mungkin terempas dari calon menteri adalah Nila Djoewita A. Moeloek dengan beberapa alasan. Dia tidak mempunyai dukungan politik kuat seperti Linda Gumelar yang suaminya adalah senior SBY. Selain itu, dia sebelumnya tidak terdengar sebagai orang politik atau orang dekat presiden.

Berbeda dari sejumlah calon yang katanya juga tidak lulus tes kesehatan seperti Djoko Kirmanto dan kawan-kawan yang akhirnya tetap lolos. Sebab, mereka mempunyai dukungan politik. Jika tidak pun, mereka adalah orang dekat atau setidaknya ada yang melobi kepada presiden agar tetap diangkat menjadi menteri. Yang terlintas di pikiran saya itu memang kemudian menjadi fakta ketika presiden mengumumkan susunan kabinet.

Persoalannya kemudian, sebegitu parahkah penyakit yang diderita Djuwita, sehingga terempas dari gerbong kabinet? Dengan kata lain, jika diban¬ding empat calon menteri lainnya yang sama-sama dianggap tidak mempunyai kesehatan prima, dialah yang dianggap paling berat, sehingga harus tersingkir. Atau memang ada faktor lain?

Menjelang pengumuman kabinet, terdengar pula ada calon menteri yang dinilai tidak lulus fit and proper test. Lagi, Djuwita kembali masuk daftar itu. Berdasar hal tersebut, menurut saya, sesungguhnya faktor kedua itulah yang mendominasi dan bisa jadi sejak semula dia memang tidak menjadi kandidat, meski kemudian diminta mengikuti tes kesehatan.

Karena itu, tes tahap kedua (tes kesehatan) bisa dianggap sebagai basa-basi atau setidaknya untuk tidak mempermalukan. Sebab, jika ada calon yang sudah di-fit and proper test tidak diminta mengikuti tes tahap kedua, yang bersangkutan dengan sendirinya langsung tersingkir dari kemungkinan menjadi menteri.

Kepentingan Namru
Antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat saat ini sedang berlangsung perundingan berkaitan dengan nasib Namru-2. Pemerintah AS sangat berkepentingan dengan laboratorium itu guna penelitian virus yang konon tidak hanya untuk keperluan pengobatan, tapi juga untuk kepentingan militer.

Upaya AS untuk membuka Namru-2 memang terganjal oleh pendirian menteri kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, Siti Fadilah Supari, yang bersikeras agar laboratorium tersebut ditutup. Berbagai lobi pun ditempuh, termasuk terhadap presiden melalui pendekatan Dino Pati Djalal. Namun, karena Siti Fadilah tetap pada pendiriannya, nasib Namru-2, meski menurut sejumlah pihak tetap berlangsung secara gerilya, tetap belum jelas.

Atas kepentingan tersebut, AS sangat berkepentingan dengan Namru di Indonesia, sehingga lobi untuk itu terus berjalan. Namun, yang paling penting, Siti Fadilah harus tersingkir dan harus dicari pengganti yang dekat dengan Namru-2.

Atas kepentingan itu, bukan suatu yang mustahil naiknya Endang Rahayu Setyaningsih sangat terkait dengan hal tersebut. Sebab, dia pernah bekerja sebagai peneliti di instalasi militer Angkatan Laut AS -yang kemudian ditegaskan Siti Fadilah Supari bahwa dia merupakan orang yang sangat dekat dengan Namru.

Kedekatan itulah yang, tampaknya, mengantarkan Endang menjadi menteri kesehatan. Karena itu, mencermati tersingkirnya Nila Djuwita A. Moeloek, bisa jadi dia mempunyai pandangan yang kurang pas dengan lobi AS terhadap presiden berkaitan dengan masa depan Namru di Indonesia.

Selaku bangsa Indonesia yang selalu bangga bahwa kemerdekaan diraih dengan keringat dan darah pejuang, semoga saja bukan kepentingan Namru dan AS yang menjadi faktor pengangkatan menteri kesehatan sebagai pengganti Siti Fadilah, melainkan karena kompetensi yang bersangkutan. Sebab, dia memang dikenal mempunyai penguasaan yang bagus mengenai persoalan kesehatan di Indonesia.

Meski demikian, kecurigaan terhadap aroma AS wajar saja. Mengingat, orang yang kini ditunjuk dianggap sebagai orang yang mendukung Namru agar tetap beroperasi. Untuk menepis hal itu, Endang harus membuktikan bahwa yang dia lakukan adalah untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia yang dengan susah payah berusaha merdeka.

Jangan hanya rakyat kecil yang selalu berteriak nasionalisme. Pemimpin negeri ini harus memberi contoh agar kelak tidak menimbulkan antipati dari masyarakat. (*)

*) Dr Mahmudi Asyari, pemerhati masalah sosial dan keagamaan, tinggal di Semarang

Jawa Pos, Sabtu, 24 Oktober 2009

PR bagi Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja KIB Jilid 2


Melepaskan Gelar ''Bangsa Kuli''

Oleh: Bashori Muchsin

APAKAH negara ini benar-benar cukup kapabel untuk mengembalikan derajat kemanusiaan TKI kita yang bekerja di negara lain sehingga mereka tetap menjadi manusia bermartabat, pantas menjadi pahlawan devisa yang dihormati atau dijauhkan dari segala bentuk praktik ''pembinatangan" (dehumanisasi)? Apakah menteri tenaga kerja dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2 nanti mampu menjadi pelindung sejati bagi mereka?


Penghormatan terhadap pahlawan devisa, yang dalam 2009 (laporan setiap mudik TKI) diestimasi telah menyumbangkan pendapatan sedikitnya Rp 6 triliun, sudah seharusnya dilakukan pemerintah atau pihak-pihak lain secara maksimal. Tidak semata karena mereka telah memberikan Rp 6 triliun kepada negeri ini, tetapi juga demi martabat republik ini.

Sayang, manusia (TKI) berharga Rp 6 triliun itu ke depan masih rentan mengalami pelecehan atau praktik-praktik pembinatangan. Tampaknya, kasus yang lebih parah daripada Hajar dan kawan-kawan masih niscaya terulang. Cerita demikian itu mengakibatkan potret TKI kita di negara lain, khususnya negari jiran Malaysia, layaknya sekelompok manusia yang ''halal badan dan darahnya" untuk disiksa, disetrika, diperkosa, atau dijadikan objek kekerasan.

Memang kita tahu bahwa Malaysia merupakan tempat tujuan penempatan TKI yang terbesar. Sedikitnya 2,2 juta TKI bekerja di Malaysia dan hanya 1,2 juta orang yang memiliki izin kerja di sana. Di antara sedikitnya 6 juta TKI yang bekerja di luar negeri, 4,3 juta orang bekerja di sektor informal, seperti pembantu rumah tangga, buruh perkebunan, dan buruh bangunan. Mereka paling rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia karena minimnya perlindungan di sektor informal.

[]

Selama ini, pemerintah belum serius menangani masalah buruh migran. Para TKI hanya dinanti untuk menghasilkan atau "mengekspor" ringgit, real, dolar, dan mata uang lain ke dalam negeri. Akan tetapi, harkat kemanusiaan sebagai orang Indonesia tidak dipedulikan. Mereka sebatas menjadi pejuang merana atas nama keluarga dan tanah air. Sementara di negeri orang, mereka layaknya menjadi objek yang rentan dikriminalisasikan.

Ikhwan (2006) menyebut bahwa sejarah panjang praktik rasialisme, perbudakan, diskriminasi, dan segenap bentuk tindakan intoleransi lain telah menimpa buruh migran Indonesia. Harga diri dan martabat kemanusiaan sebagai entitas sosial dan bangsa telah luluh lantak.

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura dalam sebulan rata-rata menerima 90 pengaduan dari para buruh migran wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka menelepon, melalui surat, dan melarikan diri (meminta perlindungan) ke kedutaan akibat diperlakukan secara tidak beradab, tidak adil, dan bahkan dalam beberapa hal layaknya budak belian.

Kasus-kasus tersebut mendeskripsikan buramnya potret TKI di negara lain. Itu mengesankan bahwa mereka yang oleh keluarga dan negara dijuluki sebagai "pahlawan devisa" ternyata tidak lebih dari kumpulan manusia yang bergelar bangsa kuli (nation coolies) atau bangsa budak, yang absah untuk disiksa, dianiaya, atau dieksploitasi secara fisik dan non-fisik, khususnya dalam ranah pelecehan hingga "industrialisasi seksual".

Seharusnya, kita memang malu atau kehilangan muka saat anak-anak bangsa yang sudah berkorban segala-galanya menjadi TKI itu dijuluki sebagai segmentasi dan representasi bangsa kuli. Pasalnya, sebuatan demikian merupakan bentuk penghinaan yang sangat merendahkan derajat bangsa ini. Bangsa ini dicabik-cabik dengan perih akibat harkat kemanusiaannya dinodai atau direndahkan dalam stadium "memilukan dan mengerikan" oleh bangsa lain yang semakin sistemis membolehkan dehumanisasi.

Sayang, di antara kita, apakah pejabat atau pengerah jasa tenaga kerja "abu-abu" tidak merasa malu terhadap perlakuan korporasi atau majikan-majikan asing dan sekumpulan oportunis seksual terhadap TKI secara tidak manusiawi. Fatalnya lagi, kita justru memperlakukan TKI tetap sebagai objek komoditas yang terus-menerus diekspor untuk mendulang keuntungan spektakuler.

Nyaris setengah dari jumlah keseluruhan TKI di Malaysia berstatus ilegal atau menjadi manusia-manusia liar yang diberangkatkan dengan cara "diselundupkan" sekelompok jaringan terorganisasi, khususnya oleh kalangan sindikat perdagangan manusia (human trafficking), menunjukkan bahwa kita (pebisnis perdagangan manusia) telah menyiapkan akar kriminogen yang membuat negeri ini layak disebut sebagai eksporter budak. Pasalnya, dengan menyelundupkan TKI itu, kita telah memberikan kesempatan, mengizinkan, membenarkan, dan memberikan jalan bagi sebagian saudara sebangsa itu untuk memasuki "wilayah rawan" diperlakukan secara dehumanisasi layaknya binatang atau bangsa kuli.

Di desa-desa tidak sedikit kita temukan sekelompok orang yang kaya raya secara instan akibat "bekerja": menjadi makelar-makelar pencarian atau pengumpulan TKI, baik yang diberangkatkan secara legal maupun diselundupkan. Kalau ditanya, mengapa mereka rela jadi bagian dari penyelundupan manusia? Jawabannya sangat apologis, apa yang dilakukannya bukanlah mengekspor budak. Tetapi, membebaskan sesama dari kemiskinan dan pengangguran atau memediasi terwujudnya kesejahteraan sosial.

Kalau sudah begitu potret TKI di luar negeri, pemerintah bisa memilah strategi penanggulangannya. Misalnya, memberikan penguatan HAM TKI sejak persiapan berangkat (khusus yang legal), mengenalkan norma-norma yuridis di negara tujuan TKI, dan kiat yang benar ketika harus berhadapan dengan majikan, pengusaha atau perusahaan nakal, serta penegak hukum negara lain yang "cacat". Sementara itu, TKI ilegal tetap wajib dilindungi dengan menguatkan peran atase atau kedutaan untuk semakin "rajin" turun ke barak-barak TKI. (*)

*) Prof Dr Bashori Muchsin MSi, pembantu rektor II Unisma, pernah mengadakan riset ke negara-negara tetangga tentang potret TKI

Jawa Pos, Kamis, 22 Oktober 2009

10 Seniman Jatim Raih Penghargaan

SURABAYA - Sepuluh seniman Jawa Timur mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jatim karena dedikasi dan prestasinya. Penghargaan itu diserahkan pada puncak peringatan HUT Provinsi Jawa Timur yang digelar di Jl Pahlawan, depan kantor gubernur, Jumat (16/10) malam.

Ke-10 seniman itu adalah Saiful Hajar (seni rupa, Surabaya), Bambang SP (seni musik, Surabaya), Koeboe Sarawan (seni rupa, Malang), Chatam AR (seni tari, Malang), S.Yoga (sastra, Surabaya), Ndindy Indijati (teater, Surabaya), Sirikit Syah (sastra, Surabaya), A.Tasman (seni tradisi, Surakarta), Peno Priyono (seni tari, Probolinggo), dan Yuwono (alm) (penggerak seni, Malang). Selain penghargaan, masing-masing dari mereka juga mendapatkan uang tali asih sebesar Rp 10 juta.

Pada kesempatan itu, gubernur juga memberikan asuransi jaminan kesehatan yang diserahkan secara simbolik kepada 5 seniman, yakni Temu (tari, Banyuwangi), Ratna Indraswari Ibrahim (sastra, Malang), Hardjono W.S. (teater, Mojokerto), Bambang Gentolet (lawak, Surabaya), dan Zakiya (ludruk, Surabaya).

Puncak peringatan HUT Jatim itu dimeriahkan dengan pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Malam itu, dalang kondang Ki Anom Suroto membawakan lakon Sesaji Raja Surya.

Penilaian atas seniman yang akan mendapatkan penghargaan itu telah dilakukan Tim Penghargaan Seniman Jawa Timur yang diketuai Aribowo sejak Agustus lalu. Pada awalnya ada 18 nama yang dinominasikan untuk kemudian diseleksi oleh tim juri. ”Di tengah proses seleksi itu, kami masih diperbolehkan untuk mengajukan nama-nama baru,” kata Harwi Mardiyanto, juri dari bidang seni teater.

Bagus Purnomo, penanggung jawab tim, menambahkan setidaknya ada 3 latar belakang penilaian terhadap para seniman itu. Karya monumental, kepeloporan terhadap perkembangan seni dan budaya, serta pengabdian di bidang pendidikan kesenian sehingga mampu mencetak seniman-seniman berkualitas, merupakan kriteria utama dari tim untuk merekomendasikan nama-nama pada juri masing-masing bidang.

Mengenai peraih yang didominasi oleh seniman dari Surabaya dan Malang, menurut Fauzi, Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur, hanyalah sebuah kebetulan saja.

Sepanjang pengetahuannya sebagai ketua DKJT, bagi seniman, lokasi dan domisili bukanlah pengaruh terhadap kualitas seniman itu sendiri. Dicontohkan A. Tasman. Seniman tradisi ini berasal dari Surakarta, tetapi sumbangsihnya begitu besar terhadap perkembangan seni tradisi di Jawa Timur. Inilah yang membuat namanya diajukan pada tim. ”Jadi, lokasi dan domisili tidak bisa dijadikan ukuran. Jangan terkotak dengan lokasi,” ujarnya. [rif]

Surabaya Post Sabtu, 17 Oktober 2009 | 12:09 WIB

PERAIH PENGHARGAAN SENIMAN JAWA TIMUR 2009

Setelah mencari masukan dari para seniman, instansi terkait dan tokoh masyarakat di kabupaten/kota di Jatim, dan penelusuran dari berbagai pihak, maka Tim Penilai Penghargaan Seniman Jatim 2009 memberikan nominator nama-nama seniman kepada 18 orang anggota Tim penilai yang bersifat Standing Committee. Setelah dilakukan tabulasi dari hasil 18 orang tersebut, dengan ini memutuskan nama-nama tersebut dibawah ini untuk mendapatkan Penghargaan dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur:

1. Bambang SP, seni musik, Surabaya
2. Koeboe Sarawan, seni rupa, Malang
3. Chatam AR, seni tari, Malang
4. S Yoga, seni sastra, Surabaya
5. Ndindy Indijati, seni teater, Surabaya
6. Saiful Hadjar, seni rupa, Surabaya
7. Sirikit Syah, seni sastra, Surabaya
8. ATasman, seni tradisi, Surakarta
9. Peni Priyono, seni tari, Probolinggo
10. Yuwono, alm, penggerak seni, Malang

Penghargaan khusus
1.TVRI Stasiun Jatim
2.RRI Surabaya


Tim
Penghargaan Seniman Jatim 2009
1.H Bambang Sujiyono, SE, Koordinator
2.Aribowo, Ketua
3.Tri Broto Wibisono, SPd, Wakil Ketua
4.Sabrot D Malioboro, sekretaris
5.Eko Wahyuni R, anggota
6.Chusnul Huda Sholeh, anggota
7.Amir Kiah, anggota


Tim Juri
Seni Sastra:
1.Budi darma
2.Adi Setyowati
3.Mashuri

Seni Teater:
1.Prof DR H Sam Abede Pareno, MM
2.Ribut Basuki, MA
3.Harwi Mardianto

Seni
Musik:
1.Musafir Isfanhari
2.Errol Jonathan
3.Subiantoro

Seni
Rupa:
1.Drs Djuli Jatiprambudi
2.Henri Nurcahyo
3.Hari
Prayitno

Seni Tari:
1.Peni Puspito
2.Drs Robby Hidayat,Msn
3.Drs Arif Rofiq, MSi

Seni Tradisi:
1. M Sholeh Adi Pramono, SSn
2. Drs FY Darmono Saputro
3. Drs Jariyanto, MSi

Penghargaan diberikan pada hari jumat, 16 Oktober 2009 pukul 21.00 wib di Halaman kantor Gubernur Jatim Jl.Pahlawan 110 Surabaya.

Setiap penerima penghargaan mendapatkan uang tunai 10 juta rupiah.

(sumber: buku katalog Penghargaan Seniman Jawa Timur 2009)

detikcom : Tak Kunjung Kerja, Suami Aniaya Istri

title : Tak Kunjung Kerja, Suami Aniaya Istri
summary : Sungguh malang nasib Risma (30), warga Cilandak Raya, Jaksel, yang mendapatkan bogem mentah dari suaminya, Anang (38) hingga babak belur. Kekerasan dalam rumah tangga tersebut dipicu karena Risma menanyakan pekerjaan suaminya yang terus menganggur. (read more)

Ketahanan Pangan dan Kelaparan Global

Oleh: Hillary Rodham Clinton

Bagi satu miliar orang di seluruh dunia, upaya sehari-hari untuk bercocok tanam, membeli, atau menjual makanan merupakan perjuangan hidup dan mati.


Coba tengok. Seorang perempuan petani di suatu desa terpencil, bangun dini hari, berjalan berkilo-kilometer untuk mendapatkan air. Jika kekeringan, bencana, atau hama tidak menghancurkan hasil panen, ia dapat mengumpulkan cukup pangan untuk memberi makan keluarganya dan mungkin memiliki kelebihannya dijual. Namun, tidak ada jalan menuju pasar terdekat dan tidak seorang pun mampu membeli. Lain halnya dengan kehidupan seorang pemuda yang tinggal di kota besar, sekitar 150 kilometer dari desa petani itu. Ia mempunyai pekerjaan dengan bayaran sangat kecil.

Si perempuan punya pangan untuk dijual, si pemuda ingin membelinya. Namun, transaksi sederhana itu tidak dapat dilakukan karena ada kekuatan kompleks di luar kendali mereka.

Kelaparan global
Mengatasi kelaparan global menjadi inti ”ketahanan pangan”—memberdayakan para petani untuk menanam benih dan memanen tanaman pangan dalam jumlah besar, memelihara ternak, atau menangkap ikan— dan menjamin bahwa pangan yang dihasilkan dapat dijangkau oleh mereka yang membutuhkan.

Ketahanan pangan merupakan perpaduan berbagai isu: musim kemarau dan banjir akibat perubahan iklim, ketidakpastian ekonomi global yang berdampak pada harga pangan, dan kenaikan harga minyak yang menyebabkan melonjaknya biaya transportasi.

Ketahanan pangan tidak hanya terkait pangan, tetapi lebih merupakan masalah keamanan. Kelaparan kronis merupakan ancaman terhadap stabilitas pemerintahan, masyarakat, dan wilayah perbatasan.

Masyarakat yang lapar atau menderita gizi buruk tidak memiliki pendapatan, pun tidak mampu merawat keluarganya, hidup tanpa harapan dan keputusasaan. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan, konflik, bahkan kekerasan. Sejak 2007, telah terjadi huru-hara di lebih dari 60 negara akibat masalah pangan.

Kegagalan pertanian di banyak negara memengaruhi perekonomian global. Pertanian adalah sumber pendapatan utama atau satu-satunya bagi lebih dari tiga perempat kaum miskin dunia. Ketika setiap hari banyak manusia bekerja keras tetapi tetap tak bisa menghidupi keluarganya, seluruh dunia merugi.

Pemerintahan Barack Obama memandang kelaparan kronis sebagai prioritas utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS). Negara-negara lain bergabung bersama AS dalam upaya ini. Negara-negara industri utama telah menjanjikan lebih dari 22 miliar dollar AS selama tiga tahun untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang menjadikan bidang pertanian sebagai ujung tombak. Pada 26 September lalu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan saya bersama-sama menyelenggarakan pertemuan para pemimpin lebih dari 130 negara untuk menggalang dukungan internasional.

Pendekatan kami merujuk pengalaman. Kita telah menghabiskan banyak waktu dan uang untuk proyek-proyek pembangunan yang belum menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati untuk jangka panjang. Namun, kita telah belajar dari berbagai upaya ini. Kita tahu, strategi paling efektif berasal dari orang- orang yang paling dekat dengan masalah, bukan pemerintah atau lembaga asing yang berada ribuan mil jauhnya.

Ketahanan pangan
Berdasarkan pemikiran itu, prakarsa ketahanan pangan kami diarahkan pada lima prinsip.

Pertama, tidak ada satu model pertanian pun yang cocok untuk semua kalangan. Kami akan bekerja dengan negara mitra untuk menciptakan dan menerapkan sesuai rencana mereka.

Kedua, menyikapi penyebab dasar kelaparan dengan berinvestasi dalam segala hal, mulai benih yang lebih baik sampai melindungi petani. Mengangkat kemampuan dan ketahanan perempuan, yang menjadi mayoritas petani di dunia.

Ketiga, penekanan koordinasi pada tingkat negara, kawasan, dan global, karena tidak satu entitas pun yang mampu menghapus kelaparan sendiri.

Keempat, mendukung institusi multilateral, yang memiliki jangkauan dan sumber daya yang melebihi negara mana pun.

Terakhir, kami menjanjikan komitmen jangka panjang yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, kami akan menyiapkan berbagai perangkat pengawasan dan evaluasi sehingga masyarakat luas dapat melihat apa yang kami lakukan.

Upaya memimpin pengembangan pertanian akan melengkapi komitmen kami dalam penyediaan bantuan pangan untuk keadaan darurat, saat tragedi dan bencana terjadi, seperti yang saat ini sedang terjadi di Afrika Timur, di mana kemarau, gagal panen, dan perang saudara telah menyebabkan krisis kemanusiaan.

Meremajakan kembali pertanian dunia bukanlah hal mudah. Pada kenyataannya, hal ini adalah usaha diplomasi dan pembangunan yang paling ambisius dan komprehensif dari yang pernah dilakukan. Namun, kami yakin, hal ini dapat dilaksanakan. Jika kami berhasil, akan tercapailah masa depan yang lebih sejahtera dan damai bagi kita bersama.

Hillary Rodham Clinton Menteri Luar Negeri Amerika Serikat

Kompas, Jumat, 16 Oktober 2009 | 03:07 WIB

Sepuluh Besar Penulis Khatulistiwa Literary Award 2009

JAKARTA, KOMPAS.com — Panitia Khatulistiwa Literary Award (KLA) Ke-9 Tahun 2009 mengumumkan nama-nama penulis puisi dan prosa berikut judul karya yang terpilih dalam 10 Besar KLA 2009.

Kesepuluh besar karya puisi dan penulisnya adalah Kolam (Sapardi Djoko Damono), Akar Berpilin (Gus Tf Sakai), Dongeng Anjing Api (Sindu Putra), Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (Wendoko), Perahu Berlayar Sampai Bintang (Cecep Syamsul Hari), Pastoral Kupu-Kupu (Made Suantha), Telimpuh (Hasan Apsahani), Pemetik Bintang (Soni Farid Maulana), Lagu Cinta Para Pendosa (Zaim Rofiqi), dan Puan Kecubung (Jimmy Maruli Alfian).

Adapun sepuluh besar karya prosa dan penulisnya adalah Meredam Dendam (Gerson Poyk-novel), Sutasoma (Cok Sawitri-novel), Lembata (F Rahadi-novel), Lacrimosa (Dinar Rahayu-kumpulan cerita), Tanah Tabu (Anindita Thayf-novel), Juru Masak (Damhuri Muhammad-kumpulan cerita), Bulan Lebam (Sihar Simatupang-novel), Kidung (M Sobary-novel), Usaha Menjadi Sakti (Gunawan Maryanto-kumpulan cerita), Metropolis (Windi Ramadhina-novel).

Panitia KLA 2009 juga mengumumkan 10 karya pengarang muda berbakat (umur maksimal 30 tahun), yaitu Fortunata (Ria N Badaria), Separuh Bintang (Evline Kartika), Aku Lelah Menjadi Cantik (Koko P Bhairawa), Goloso Geloso (Tanti Susilawati), Etzhara (Rino Styanto), Lika Liku Luka (Celinereyssa), Bintang Bunting (Valiant Budi), Ai (Winna Efendi), Tanril (Nafta S Meika), dan Kartini Nggak Sampai Eropa (Sammaria).

Richard Oh, penggagas dan penyelenggara KLA menjelaskan bahwa pengumuman 5 Besar Khatulistiwa Literary Award akan segera dilakukan dalam waktu dekat.

Khusus kategori prosa, karya-karya novel akan dinilai oleh sebuah panel juri yang dipilih oleh penerbit Metropoli D’Asia, salah satu penerbit terbesar di Italia. Kemudian, sebuah hadiah khusus akan diberikan pada malam Anugerah Sastra Khatulistiwa pada 10 November 2009, pukul 19.00, di Plaza Senayan, Jakarta. Richard berharap agar semua penulis hadir dalam malam perayaan sastra Indonesia ini.

"Kepada penulis novel yang karyanya masuk 10 besar kategori prosa, harap mengisi formulir perjanjian dengan Metropoli D’Asia yang sudah dikirimkan. Bila belum menerima formulir tersebut, harap e-mail saya di richoh2007@gmail.com," kata Richard Oh. []

Kompas, Selasa, 6 Oktober 2009 | 20:35 WIB

Mengupas Hasil Survei Publik DPRD

Pada Agustus lalu, anggota DPRD periode 2009-2014 dilantik di berbagai daerah di Indonesia. Pelantikan wakil rakyat itu disambut demonstrasi. Termasuk di Jawa Timur. Masyarakat meragukan kinerja dewan. Bagaimanakah sebenarnya penilaian masyarakat terhadap kinerja dewan?

TAHUN ini, JPIP kembali menilai empat kinerja fungsional dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) periode 2004-2009 di 38 kabupaten-kota di Jawa Timur. Yaitu, fungsi representasi, legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

Kinerja DPRD penting untuk dinilai karena mereka turut memberikan kontribusi bagi maju tidaknya pembangunan di daerah. Terkait dengan fungsi penganggaran, tanpa persetujuan DPRD, anggaran pembangunan yang diajukan eksekutif tidak bisa keluar. Praktis, program daerah tidak bisa dijalankan. Legislatif adalah mitra eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah.

Tahun 2009 merupakan masa kerja terakhir jabatan mereka. Karena itu, dipandang sangat perlu kembali menilai kinerja anggota DPRD selama lima tahun mengemban amanat konsituen. Monitoring dan evaluasi kinerja DPRD pernah dilakukan pada 2004 untuk periode jabatan 1999-2004.

Ketidakpuasaan masyarakat luas terhadap kinerja DPRD pada periode sebelumnya berujung pada demonstrasi ketika pelantikan anggota DPRD yang baru. Demonstrasi itu terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Bangkalan, Bojonegoro, Kabupaten Blitar, Jember, Pamekasan, dan Tuban.

Ketidakpuasaan masyarakat terhadap kinerja DPRD itu berbanding lurus dengan hasil-hasil survei publik JPIP. Di daerah-daerah yang terjadi demonstrasi, penilaian masyarakat terhadap kinerja dewan memang rendah. Misalnya saja, Tuban, Bojonegoro, dan Bangkalan.

Masyarakat (responden) menilai kinerja DPRD masih sangat buruk. Survei itu melibatkan 145 orang responden di setiap daerah. Total responden berada di 38 kabupaten-kota di Jawa Timur. Responden terdiri atas penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh pendidikan, pegawai swasta, kalangan dunia usaha, petani, dan sebagainya. Untuk mengawal survei publik tersebut, JPIP menggandeng Unit Pengkajian dan Pengembangan Potensi Daerah (UP3D) ITS Surabaya.

Rerata Jatim di Bawah 3

Kalau dilihat rerata di Jawa Timur, nilai empat kinerja fungsional itu masih di bawah skor 3. Berarti masyarakat tidak setuju bahwa DPRD telah mengakomodasi kepentingan masyarakat di fungsi representasi. DPRD juga dinilai gagal dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat. Mereka hanya memperhatikan keinginan para konstituen (partai politiknya). Publik Jatim memberi skor 2,54.

Di fungsi legislasi, DPRD gagal mendorong terbitnya peraturan daerah (perda) yang berpihak kepada kepentingan publik. Misalnya saja, perda yang tidak membebani masyarakat, mampu mempercepat pembangunan di daerah, dan meningkatan pelayanan publik. Faktanya, banyak perda yang terbit di daerah justru merupakan perda retribusi. Perda-perda itu terbukti bisa membebani dunia usaha. DPRD juga dinilai gagal dalam menjalankan hak mereka untuk melahirkan perda-perda inisiatif. Umumnya, usul perda masih dari eksekutif. Nilai rata-rata di Jawa Timur 2,68.

Berdasar hasil penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya di Kabupaten Blitar, Lamongan, dan Kota Surabaya, memang inisiatif DPRD untuk menerbitkan perda masih rendah. Di Kabupaten Lamongan, 68 perda yang terbit selama periode 2004-2009 merupakan inisiatif eksekutif. Begitu pula Kota Surabaya yang berhasil melahirkan 59 perda. Perda yang dihasilkan pada umumnya merupakan perda retribusi. Di Kabupaten Blitar, di antara 53 perda yang terbit, setengahnya merupakan perda retribusi dan revisi perda yang sudah ada tentang urusan wajib.

Ketidakmampuan DPRD dalam membuat perda inisiatif antara lain karena kurangnya kemampuan legislasi anggota DRPD. Pembuatan raperda sering dikontrakkan kepada pihak ketiga. Mulai riset, penyusunan draf naskah akademik, sampai pelibatan dalam pembahasan. "Biaya mahal, bisa mencapai Rp 300 juta per raperda" ungkap M. Syaiful Aris, direktur LBH Surabaya.

Responden juga menilai, dalam fungsi kontrol atau pengawasan, DRPD belum mampu menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Publik di Jawa Timur memberi skor 2,54. Baik terkait hubungannya dengan eksekutif maupun di internal dewan. Tak jarang, banyak anggota dewan yang terlibat kasus korupsi.

Dalam fungsi budgeting, DPRD dinilai gagal untuk mendorong anggaran yang pro-rakyat. Di fungsi itu, skor rata-rata Jawa Timur 2,81.

Dalam survei empat fungsi itu, penganggaran menduduki rata-rata teratas. Sebanyak 10 daerah menunjukkan skor lebih dari 3. Itu berarti DPRD sudah menjalankan fungsinya, walaupun hanya bersifat rutin. Pelaksanaan fungsi tersebut memang mudah dilihat. Mereka cukup mengesahkan APBD dan dianggap sudah menjalankan fungsi mereka. Tetapi, bukan berarti telah mampu mendorong lahirnya anggaran yang memprioritaskan kebutuhan masyarakat yang mendesak dan memperjuangkan usul pembangunan. Sebab, alokasi anggaran masih didominasi untuk mencukupi kebutuhan pegawai.

Tuban, Juru Kunci

Kabupaten Tuban menjadi juru kunci (peringkat 38) di empat kinerja fungsional. Berarti skor Tuban paling rendah jika dibandingkan dengan 37 kabupaten-kota lainnya.

Nilai skor fungsi representasi 1,92, fungsi legislasi 2,06, fungsi kontrol 1,84, dan fungsi penganggaran 2,13. Di antara empat fungsi tersebut, skor fungsi pengawasan paling rendah. Masyarakat menilai, DPRD tidak mampu lagi mendorong terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih. Termasuk di dalamnya meminimalisasi penyimpangan oleh eksekutif.

Hasil survei di daerah itu senada dengan wawancara mendalam yang dilakukan peneliti JPIP. Tidak ditemukan terobosan di empat kinerja fungsional yang dilakukan oleh daerah di pantai utara Jawa itu. Kondisi serupa dialami Bojonegoro. Berdasar hasil penilaian masyarakat, tiga fungsi kinerjanya menduduki peringkat lima besar terendah. Yaitu, representasi, kontrol, dan budgeting. DPRD di daerah tersebut tidak melakukan inovasi yang menonjol.

Sementara itu, di Kabupaten Malang, terdapat kesesuaian antara hasil wawancara mendalam dan hasil survei publik terhadap kinerja DPRD. Di fungsi legislasi, DPRD telah mampu menelurkan 7 perda inisiatif selama lima tahun masa jabatan mereka. Salah satunya tentang penanggulangan HIV/AIDS.

Hal yang aneh terjadi di Kabupaten Blitar. Hasil survei publik menunjukkan masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kinerja dewan. Padahal, berdasar hasil tim peneliti JPIP, DPRD Kabupaten Blitar memiliki sejumlah terobosan. Baik di fungsi representasi maupun legislasi. Di dua kinerja itu, kabupaten tersebut menduduki peringkat 19.

Di kinerja legislasi, DPRD melahirkan perda inisiatif. Di antaranya, Perda tentang Perlindungan TKI dan Prostitusi. Perda Perlindungan TKI merupakan yang pertama di Jawa Timur. Dengan adanya perda itu, diatur sejumlah perlindungan kepada TKI. Di antaranya, menertibkan agen penyalur TKI, pemda harus menyewakan pengacara ketika mereka terjerat kasus di luar negeri, dan mempersiapkan mereka menjadi wirausahawan ketika pulang. Perda tersebut memang sudah selayaknya ada. Sebab, Blitar merupakan salah satu daerah kantong TKI di Jawa Timur. (hnovitasari@jpip.or.id/agm).

Jawa Pos [jpip] Senin, 28 September 2009

Pemerintah Kaji Sistem Baru TKI

JAKARTA (SI) – Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sedang mengkaji kebijakan baru penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di sektor penata laksana rumah tangga (PLRT).

Rencananya,para TKI ini nantinya tidak lagi tidak tinggal serumah dengan majikan, tetapi akan ditampung dalam sebuah asrama. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) M Jumhur Hidayat mengatakan pola penempatan TKI yang tidak tinggal serumah dengan majikan (live out system) bertujuan memberikan perlindungan bagi PLRT terhadap kasus kekerasan dan pelecehan yang sering dilakukan para majikan.

“Kita sedang mewacanakan live out system, masih terus dikaji, sehingga perlindungan terhadap TKI bisa lebih maksimal,” ungkap Jumhur kepada harian Seputar Indonesia (SI) di Jakarta kemarin.Menurut dia, kebijakan baru ini sedang dirumuskan bersama dengan negara-negara pengirim tenaga kerja seperti Filipina,Vietnam. Dengan adanya persepsi yang sama antarnegara pengirim PLRT, kata dia, akan mudah untuk mendesak negara-negara penerima TKI seperti Malaysia dan negaranegara Timur Tengah untuk mengizinkan tenaga kerja migran tinggal di luar rumah.

Jumhur mengungkapkan, di Uni Emirat Arab, wacana tentang PLRT yang tinggal secara live outmulai dibicarakan secara luas. “Mereka malu.Pemerintahnya mulai memikirkan imej mereka yang disebut-sebut menjadi penyiksa dan pemerkosa TKI. Makanya, mereka setuju sistem live out,” ungkap Jumhur. Dengan sistem ini, jelas dia, nantinya PLRT akan tinggal di sebuah asrama.Setiap pagi mereka akan dikirim ke rumah majikan dan sorenya dijemput kembali.“Jadi, mereka juga tidak kerja selama 24 jam.

Diharapkan hal itu juga akan menjauhkan mereka dari kekerasan yang tidak diinginkan,” ujarnya. Jumhur mengaku,TKI informal memang rawan terkena berbagai tindakan kekerasan atau pelecehan seksual,terlebih bila mendapatkan majikan yang kurang menghormati dan menghargai mereka. ”Mereka menjadi objek kekerasan dari majikan,”kata Jumhur.Selain itu, terang Jumhur, kerap TKI tak hanya dipekerjakan oleh majikan dan keluarga,tetapi juga harus melayani saudara atau kerabat majikan sehingga menambah beban kerja.

”Hal itu yang mengakibatkan banyak TKI yang bekerja selama 24 jam sehari,padahal seharusnya hanya bekerja 8 sampai 10 jam,” paparnya. Saat ini, ungkap Jumhur, setiap bulan Indonesia menempatkan 60.000 tenaga kerja ke luar negeri.Artinya, dalam sehari, ada 2.000 TKI yang dikirim ke luar negeri. Atau setiap jam, ada 300 TKI dari seluruh pelosok Indonesia berangkat ke luar negeri. Dari jumlah itu, 80% permasalahan penempatan TKI PLRT itu bersumber dari dalam negeri yang tidak beres seperti rekrutmen yang memakai calo,tidak ada pelatihan, dan pemalsuan dokumen-dokumen. ”Para pemalsu dokumen ini kebanyakan mengirim TKI PLRT ke negara Timur Tengah dan Malaysia,”papar Jumhur.

Menanggapi hal ini, Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan setuju atas kebijakan baru yang sedang digagas pemerintah ini.Namun, menurut dia, aturan ini juga harus menjadi bagian negosiasi politik antarpemerintah kedua negara. “Jangan hanya jadi ide yang tidak bisa diwujudkan.Wacana ini harus jadi bagian dari sistem dan tata kelola perlindungan TKIsecarakeseluruhan dari pemerintah,”tegasnya. Wahyu menilai, meski kebijakan ini dapat berlangsung efektif untuk mengeliminasi tindak kekerasan terhadap PLRT,dia pesimistis aturan ini dapat diterima oleh negara penempatan.

“Kalau di Hong Kong mungkin bisa.Tetapi,kalau di Malaysia atau negara Timur Tengah, saya rasa sulit karena aturan formal mereka tidak memungkinkan,” tandasnya. Di Arab Saudi misalnya, lanjut dia,PLRT masih dianggap properti atau pajangan bagi para majikan sehingga dapat seenaknya saja diperlakukan kasar. Apalagi, undang-undang (UU) yang mereka miliki tidak memasukkan PLRT sebagai bagian dari kebijakan perlindungan bagi pekerja asing. (rendra hanggara)

Sindo Sunday, 11 October 2009

Pesan Kakek dalam Mimpi

Rose Juliet

Aku melangkah di dalam keremangan cahaya bulan yang bersinar terang..didepan sana tak jauh dari tempatku aku melihat seorang kakek duduk dibawah pohon yang rindang sambil memandang rembulan yang bersinar sempurna, aku hampiri kakek itu siapa tahu kakek itu membutuhkan pertolonganku, sambil membungkuk hormat aku mengucap salam "Assalamualaikum" "Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuhu" jawab kakek dengan sopan dan berwibawa

"Kek..apakah kakek salah jalan untuk sampai dirumah..?apakah kakek membutuhkan bantuan untuk mengantar kakek..?" tanyaku dengan sangat berhati-hati
"oh tidak cucuku..kakek tidak salah jalan, dan kakek sudah bener dalam berjalan..trimakasih cucu" jawab kakek dengan mengulum senyum yang penuh tanda tanya
"memangnya dimana rumah kakek..kok kakek disini seorang diri..?tapi aneh kakek bilang ga kesasar dan ga butuh bantuan"timpalku
"dimana kaki kakek berpijak disitulah rumah kakek cucuku..dan sekarang kakek berpijak disini maka disini pula rumah kakek" jawabnya lagi

"kalau begitu dimana barang-barang kakek kalau memang ini merupakan rumah kakek..?"tanyaku penuh selidik
"barang seperti apa yang kau maksud cucuku..bila barang-barang mahal dan untuk keperluan dunia, kakek akui kakek tidak punya semua itu yang kakek punya hanya ini" jawab kakek sambil menunjukkan dibelakangnya ada sedikit garam dalam plastik, ada roti kering dan ada sebotol air putih "cukup bagi kakek semua ini dan yang terpenting adalah ini" sambung kakek sambil menunjukkan padaku mushaf Al-Qur'an dalam pelukannya

Sejenak aku berdiam diri, ternyata yang ada dihadapanku adalah seorang kakek yang sholeh dan mempunyai banyak pengetahuan tentang ilmu agama..kesempatan bagiku untuk menanyakan hal-hal yang tidak aku ketahui..setelah berpikir sejenak akupun melanjutkan pertanyaanku "kek..memangnya keluarga kakek tidak mencari kakek..?atau dimanakah keluarga kakek sa'at ini hingga kakek seorang diri ditempat ini..?

"Muslimin dan muslimat diseluruh dunia ini adalah keluarga kakek yang sa'at ini ada yang lagi tadabur Al-Qur'an di masjid-masjid dan surau-surau, ada pula yang sedang mengkais rezki untuk anak dan istri yang menanti dirumah" jawab kakek dengan tenang

"Kakek bukan itu maksudku..maksudku istri kakek dan putra-putri kakek begitu kek" sambungku
"Alloh lebih menyayangi mereka ketimbang kakek..maka dari itu Alloh telah mengambil mereka dari sisi kakek dan sa'at ini mereka (istri dan anak-anak kakek) berada dalam tempat yang damai sesuai dengan amal dan ibadahnya" jawab kakek sambil matanya menerawang jauh kedepan..kutunggu dengan harapan kakek akan meneruskan cerita tentang keluarganya, namun lama kutunggu kakek tetap diam hingga akhirnya akupun bertanya "oh..jadi begitu hingga kakek sudah tidak punya tujuan dalam hidup dan akhirnya memilih tempat tinggal disini..?"

"Siapa bilang kakek tidak punya tujuan cucuku..? hidup tanpa tujuan adalah hidup tanpa arah dan kemauan yang akan membuat hidup ini terombang-ambing dalam hal yang tidak menentu..hingga akhirnya hidup akan selalu dirundung masalah, hidup harus punya tujuan yang hendak dicapai dengan semangat membara..dan kakek punya tujuan itu, akhirat adalah tujuan kakek dan dunia adalah ladang untuk menanam amal yang hasilnya bisa kita petik diakhirat kelak..maka dari itu cucuku janganlah kau sia-siakan hidupmu"

Aku manggut-manggut tanda mengerti apa yang dijelaskan oleh kakek itu, sebelum aku membuka pertanyaan lagi..karena masih banyak yang ingin aku tanyakan pada kakek..tapi si kakek keburu pamit "sebaiknya segera kamu pergi dari sini hari telah malam dan sudah sa'atnya untuk kakek tidur..pergilah cucuku, tentukan arah dan tujuan hidupmu"

Belum kujawab kakek itu dengan secepat kilat memanjat pohon dan sekarang sudah berada ditempat peristirahatannya sambil tetap masih memandangiku "kek..bolehkah saya menyusul kakek disana..karena ada banyak hal yang ingin aku tanyakan pada kakek..setelah aku dapatkan jawaban dari kakek aku berjanji akan segera pergi dari sini" pintaku dengan sedikit memelas

"Belum sa'atnya kamu naik kesini cucuku..karena untuk naik kesini dibutuhkan kunci, dan kunci itu tak cukup hanya dengan dihapal tapi yang lebih perlu lagi kunci itu harus diamalkan" jawab si kakek

"Baiklah kek...beri tahu kuncinya untukku dan aku akan mengamalkannya..insya Alloh" harapku "baik..akan kakek kasih tahu kuncinya dan akan kakek tulis diselembar kertas ini, setelah kertas ini ada ditanganmu..jangan coba-coba untuk naik kesini..tapi pergilah dari sini renungkan isi kertas itu dan amalkan dalam kehidupanmu, apakah kamu siap..?tanya si kakek dengan suara gemetar..akupun menyanggupinya dengan ucapan "insya Alloh kek"

Kulihat sekilas kakek menulis dilembaran kertas..dan kertas itu dilipatnya sedemikian rupa hingga akhirnya dilemparkannya padaku yang masih menanti dibawah, dengan tangan gemetar kuambil kertas itu kubuka dengan pelan-pelan dan kubaca begini isinya:

~Berpikirlah menggunakan akal
~Bertindaklah menggunakan hati
~Bekerjalah menggunakan kemampuan
~Berjalanlah dengan tujuan dan
~Beribadahlah dengan keikhlasan
(dan inti dari semua itu hanya satu..yaitu: Keikhlasan)

Setelah kubaca dengan tuntas pesan kakek itu..aku melipatnya dan memasukkan disaku bajuku, dan ternyata aku tidak langsung pulang seperti perintahnya..namun aku hendak memanjat pohon yang ada didepanku..baru sampai dicabang yang terpendek..gedebuk aku jatuh, kubuka mata dan ternyata ahh..aku mimpi dan terjatuh dari tempat tidur, kepalaku benjol karena bersinggungan dengan lantai []

Syaifudin Zuhri dan Islam di Yaman

Oleh : Mohammad Afifi

Seorang teman di Surabaya menceritakan bahwa majelis taklimnya belakangan ini sering dihadiri polisi. Aparat tersebut hadir bukan untuk mengaji, tapi untuk mengawasi. Pengawasan itu, agaknya, dipicu oleh latar belakang pendidikannya. Dia dahulu pernah belajar di Pondok Pesantren Ribath, Tarim, Hadramaut, Yaman. Mungkin karena itu, polisi menduga dan mencurigainya sebagai jaringan Syaifudin Djaelani alias Syaifudin Zuhri yang kemarin digerebek polisi di Jakarta. Sebagaimana diketahui, Syaifudin juga pernah belajar di Yaman.

Padahal, Islam di Yaman sangatlah beragam. Keberagaman itu secara umum dapat dibagi dalam tiga varian. Pertama, Islam bermazhab Syiah Zaidiyah. Pemikiran aliran ini bertitik tolak kepada konsep imamah. Orang-orang Syiah percaya bahwa kepemimpinan umat Islam harus dipegang Ahlu al-Bait, keturunan Nabi Muhammad SAW, seperti Ali bin Husain Zainal Abidin, Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin, dan Ja'far al-Shadiq. Syiah Zaidiyah adalah sekte yang meyakini kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali.

Di Yaman, sekte tersebut berkembang pesat. Awalnya, ia dianut orang-orang pegunungan -sekarang Shan'a (ibu kota negara Republik Yaman)- tetapi kemudian para imam menyebarkannya dengan gigih ke daerah dataran rendah. Oleh karena itu, jumlah penganut sekte ini berkisar 50 persen dari jumlah total penduduk Yaman. Jumlah tersebut -setelah Yaman Utara dan Selatan bersatu, yang kemudian membentuk Negara Republik Yaman- menguntungkan orang-orang Syiah Zaidiyah secara politis. Hingga saat ini, presiden Negara Republik Yaman berasal dari Partai Syiah Zaidiyah, yaitu al-Mu'tamir.

Selain itu, pandangan dan perilaku orang-orang Yaman juga sangat dipengaruhi sekte tersebut. Orang-orang Yaman, baik Syiah Zaidiyah ataupun non-Syiah, sangat mencintai dan menghormati Ahlu al-Bait. Setiap tahun pada bulan Rabiul Awwal mereka menyelenggarakan maulid nabi dengan membaca Barzanji. Ini sebagai tanda penghormatan kepada nabi dan keluarganya.

Tradisi itu tentu mempertemukan orang-orang Syiah Zaidiyah dengan kelompok Islam kedua di Yaman, sufi. Di sini, sufi bukanlah seperti pemahaman orang Indonesia, yaitu ahli ilmu tasawuf atau suluk. Tetapi, ia adalah orang atau kelompok yang bermazhab Syafi'ie dalam fiqih, bermazhab Asy'ari dalam teologi, dan bermazhab Ghazali dalam tasawuf.

Aliran tersebut berkembang di Hadramaut, Yaman Selatan. Di daerah ini, dialog antara Islam dan budaya lokal masih sangat kental. Dialog itu terungkap dalam pandangan banyak suku di Hadramaut. Mereka, menurut LWC Van Den Berg (1989; hlm. 56), tidak melakukan ibadah secara teratur walaupun mereka sangat setia terhadap Islam. Mereka menganggap kerajinan ibadah sebagai tindakan yang tidak cocok dengan laki-laki. Ini berbeda dengan kelompok sufi di perkotaan Hadramaut, di mana mereka sangat taat beribadah.

Namun, kedua kelompok tersebut - sufi desa dan kota- sangat mencintai dan menghormati para sayyid, keturunan nabi. Orang-orang Hadramaut, baik yang lebih tua ataupun yang lebih berpendidikan, akan berdiri untuk mencium tangannya bila seorang sayyid lewat atau datang dalam suatu acara. Penghormatan itu akan semakin bertambah bila sayyid tersebut dianggap sebagai orang suci (wali). Apalagi, dia termasuk orang awas (ahli kasyf), yaitu orang yang mampu menebak dan meramal pikiran orang lain.

Di sini, banyak sayyid wali dan awas yang sangat terkenal, bahkan ada seribu makam wali dan awas di Zambal. Mereka, antara lain, adalah Sayyid Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus serta Sayyid Muhsin bin Salim bin al-Syaikh Abu Bakar. Menurut cerita, karamah Sayyid Abu Bakar, antara lain, pernah membuat mata air dengan menghunjamkan tombaknya ke tanah. Sedangkan doa-doa Sayyid Muhsin selalu diterima Allah. Oleh karena itu, banyak orang Arab dan orang Nusantara memberinya hadiah dengan harapan mendapat berkah darinya.

Karamah tersebut, menurut mereka, tidak hanya diberikan saat sang sayyid hidup. Setelah meninggal pun, dia tetap mampu memberikan berkah kepada para peziarah. Debu kuburan di Zambal, katanya, dapat menyembuhkan segala penyakit. Ini sangat mirip dengan praktik keagamaan di Nusantara. Mungkin karena itu, sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa Islam yang berkembang di Nusantara berasal dari Yaman.

Selain itu, keluarga sayyid juga melahirkan banyak cendekiawan. Salah satunya adalah keluarga al-Mansur, yang mendirikan Pondok Pesantren Ribath Tarim. Pondok tersebut kemudian dilanjutkan Habib Salim al-Syatiri. Di pondok itu, kurikulumnya tidak jauh berbeda dengan pondok pesentren di Indonesia. Para santri belajar Safinah Sullam (fiqih dan teologi), Jawahiru al-Kalamiyah (teologi), Fathul Qarib (fiqih), dan kitab-kitab lainnya.

Namun, pada pertengahan abad ke-19, praktik keagamaan tersebut mendapat tantangan dan kritik tajam dari kelompok Wahabi, varian Islam ketiga di Yaman. Kelompok ini menuduh mereka (Zaidiyah dan Sufi) telah melakukan bidah dan khurafat. Ia menginginkan kemurnian ajaran Islam dengan slogan "kembali kepada Alquran dan hadis".

Selain itu, kelompok tersebut juga menyelenggarakan pendidikan modern untuk memajukan umat. Ia mendirikan banyak sekolah dan universitas. Salah satunya adalah Universitas Jami'atu al-Iman di Shan'a. Bahkan, bukan hanya itu, mereka juga memiliki partai politik, al-Syams (matahari), untuk mewadahi aspirasi mereka di parlemen.

Di sini, ketiga kelompok di atas - Syiah Zaidiyah, Sufi, dan Wahabi- bisa hidup dengan damai dan saling berdampingan. Tetapi, ada kelompok sempalan Wahabi yang menganggap orang di luar mereka adalah kafir. Oleh karena itu, mereka wajib diperangi. Ia sering melakukan teror terhadap kelompok lain. Pemimpinnya adalah Syeikh Moqbil, yang salah satu muridnya adalah Syaifudin Zuhri. Menghadapi itu, pemerintah Yaman tentu tidak tinggal diam. Ia pun mencari dan memburunya.

Dalam konteks ini, terlihat bahwa peta aliran dan pemikiran Islam di Yaman tidaklah tunggal, seperti yang banyak diduga oleh orang, tapi ia sangat jamak dan beragam. Oleh karena itu, wacana yang menunggalkan Islam di Yaman sebagai Islam radikal dan teroris adalah tidak benar. Sebab, hal itu tidak sesuai dengan fakta dan realitas yang ada di Yaman. (*)

*) Mohammad Afifi, alumnus Pascasarjana Antropologi UGM, keluarga Pondok Pesantren Sumber Payung, Ganding, Sumenep, Madura

Jawa Pos, Sabtu, 10 Oktober 2009

Asuransi Kesehatan untuk Seniman, Perlukah?

Oleh M DJUPRI

Gubernur Dr Soekarwo atau Pakde Karwo " sapaan akrabnya" saat membacakan sambutan pada acara silaturahim dan pemberian penghargaan kepada 10 budayawan dan seniman serta tali asih kepada 300 seniman se- Jatim di Graha Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim, Surabaya, Rabu (9/9), melontarkan gagasan perihal pentingnya asuransi kesehatan untuk seniman. Ide yang dikemukakan Pakde Karwo itu muncul spontan, di luar teks pidato, karena mendapat bisikan Bude Karwo, Ny Nina Kirana Soekarwo, yang hadir mendampingi setelah melihat pelawak Srimulat, Kentus, yang berjalan tampak diglak-digluk karena mungkin terserang asam urat.

Gubernur memberikan beberapa alasan tentang pentingnya asuransi kesehatan terhadap seniman. Pertama, peranan kesenian dalam kehidupan berbangsa memiliki arti penting sebagai bentuk nasionalisme. Kedua, keberadaan kesenian tidak kalah penting dibandingkan pembangunan fisik. Ketiga, seni mampu membersihkan jiwa manusia dan menjadikan kita lahir kembali sebagai manusia. Pakde Karwo juga mengutip pidato Presiden AS John F Kennedy bahwa apabila politik itu kotor, maka kesenian mampu membersihkannya. Juga mencuplik sasanti Jawa bahwa seni mampu membasuh jiwa.

Tentang perlunya pemberian asuransi kesehatan untuk seniman, menurut Gubernur Jatim, merupakan komitmen pasangan Pakde Karwo dan Gus Ipul (Saifullah Yusuf) bahwa Pemerintah Provinsi Jatim memerhatikan kehidupan masyarakat Jatim, termasuk seniman. Ia menganalogikan dengan program sekolah gratis sembilan tahun di Jatim yang menelan anggaran Rp 628 miliar pada tahun 2009-1010. Jika pemerintah mampu membantu biaya sekolah siswa dari keluarga kurang mampu dan gaji guru, hal yang sama tentu dapat dilakukan terhadap seniman.

Pemikiran tentang asuransi kesehatan untuk seniman dapat dilakukan di Puskesmas dan balai pengobatan di Jatim yang berdekatan dengan domisili seniman. Pakde Karwo menjelaskan, "Kalau ada seniman yang sakit batuk atau terkena asam urat, misalnya, bisa berobat ke puskesmas". Sambutan gubernur itu secara spontan mendapat tepukan tangan ratusan seniman yang hadir dalam silaturahmi.

Gagasan Pakde Karwo saya anggap orisinal dan baru kali pertama dikemukakan oleh seorang gubernur. Barangkali gubernur-gubernur lainnya di Indonesia belum berpikir ke arah sana. Namun, gagasan orisinal itu perlu dicermati. Dicermati dengan mencari rujukan berdasarkan hukum sebagai landasan operasionalisasi perlunya pemberian asuransi kesehatan untuk seniman. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 mengamanatkan: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Ini berarti bahwa pemerintah tidak mengatur urusan pribadi kehidupan seniman, termasuk masalah kesehatannya.

Rancangan Undang-Undang tentang Kesenian belum pernah dibahas oleh anggota legislatif di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Kepedulian Gubernur Jatim terhadap kesehatan seniman merupakan wacana segar yang memungkinkan direalisasikan di era otonomi daerah yang berjalan sejak tahun 2000. Dalam penjelasan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah "yang diperbarui pada tahun 2000" antara lain disebutkan bahwa kepala daerah sebagai pengayom masyarakat harus mampu berpikir, bertindak, dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat umum daripada kepentingan pribadi, golongan, dan aliran.

Maka gagasan Gubernur Jatim itu sejalan dengan yang diamanatkan dalam penjelasan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, gagasan asuransi kesehatan untuk seniman perlu tindak lanjut dan mendapat tanggapan positif, terutama dari anggota DPRD Jatim serta instansi terkait lainnya, khususnya Dinas Kesehatan Provinsi Jatim dan pihak manajemen rumah sakit umum milik Pemerintah Provinsi Jatim yang tersebar di daerah kota dan kabupaten. Jika pihak legislatif dan eksekutif memiliki kemauan politik dalam menanggapi gagasan gubernur, cepat atau lambat tentu dapat terealisasikan secara bertahap, pelan- pelan tapi pasti.

Mengingat masa bakti Gubernur Jatim masih kurang empat setengah tahun ke depan, hingga tahun 2014 mendatang, kemungkinan gagasan itu bisa terwujud. Untuk dapat merealisasikan gagasan asuransi kesehatan untuk seniman itu memerlukan pembahasan secara matang antarinstansi dan penggodokan dalam sidang di gedung DPRD yang notabene adalah wakil rakyat dan dituangkan dalam peraturan daerah (perda) sehingga memiliki payung hukum.

Kendati saat ini di tengah masyarakat sebenarnya sudah dipraktikkan asuransi kesehatan untuk keluarga miskin (Askin) yangmengatur pengobatan gratis bagi keluarga tidak mampu di rumah sakit pemerintah. Perlukah asuransi kesehatan untuk seniman? Kita, barangkali, belum memiliki data akurat tentang berapa jumlah seniman di antara 36 juta jiwa penduduk Jatim. Jika diasumsikan bahwa seniman Jatim sekitar 1 persen dari jumlah penduduk, sedikitnya terdapat 3,6 juta jiwa peyandang predikat seniman. Mengingat di Provinsi Jatim memiliki aneka ragam kesenian tradisi yang tersebar mulai dari Banyuwangi sampai Magetan dan dari Sumenep sampai Pacitan.

Kesenian tradisi itu gaya Mataraman, Osing, budaya arek, pedalungan, pesisir mapun pedalaman. Mulai dari tari gandrung, kendang jimbe, kuntulan, wayang krucil, wayang beber, wayang jekdong, tari topeng, reyog, ludruk, macapat, kentrung, kesenian bernuansa Islam, maupun seni modern seperti teater, seni rupa, musik, paduan suara, dan lainnya. Di 38 daerah kota dan kabupaten se-Jatim memiliki andalan kesenian tradisi maupun modern yang sampai sekarang tetap dilestarikan para seniman. Mengingat bahwa menjadi seniman atau pekerja seni adalah profesi, seniman adalah anggota masyarakat seperti profesi lainnya, seperti petani, nelayan, buruh, pedagang, dan lainnya.

Di awal tulisan ini disebutkan, ars longa vita brevis atau seni itu panjang dan hidup itu pendek. Maka, asuransi kesehatan untuk seniman kiranya perlu direalisasikan, setelah Pemerintah Provinsi Jatim terlebih dulu memprioritaskan masalah mengatasi jumlah angka kemiskinan dan pengangguran di Jatim.

M DJUPRI Seniman dan Penulis, tinggal di Malang

Kompas, Selasa, 6 Oktober 2009 | 14:57 WIB

Siapa Berhak Melarang Kaum Urban?

Oleh: Binsar M. Gultom

PENATAAN ruang kota di kota-kota besar, termasuk Surabaya, kerap bersinggungan dengan berbagai variabel yang saling terkait. Di antara berbagai variabel tersebut, jumlah penduduk memiliki pengaruh paling utama. Karena itu, komposisi penduduk kota mutlak dicermati, terutama berkaitan dengan pola sirkulasi penduduk kota yang terhitung rumit.


Sudahkah Pemkot Surabaya memanfaatkan Gessy (gateway short message system) yang diklaim sebagai sistem pencatatan dan pengelolaan data sirkulasi penduduk Surabaya secara terpadu? Pertanyaan itu penting diajukan sebagai dasar pengambilan kebijakan yang terstruktur. Tanpa data konkret, kebijakan pemkot niscaya tidak tepat sasaran. Contoh paling aktual untuk dijadikan bahan diskusi adalah sikap pemkot terhadap urbanisasi.

Landasan berpikir apakah yang dipakai pemkot dalam melaksanakan operasi penertiban terhadap para pendatang? Penertiban oleh pemkot lebih dititikberatkan pada pendatang yang menggunakan moda transportasi darat dan laut. Yang dijadikan sasaran adalah Terminal Purabaya, Pelabuhan Tanjung Perak, dan berbagai stasiun kereta api. Selain itu, pemkot acap beroperasi di wilayah-wilayah kumuh.

Anehnya, pemkot terkesan enggan menertibkan pendatang yang menggunakan moda transportasi udara dan wilayah-wilayah elite. Seharusnya, pendatang yang masuk dari Bandara Juanda atau yang bermukim di perumahan mewah, termasuk banyak apartemen, juga dioperasi. Kalau tidak, pemkot telah terjerumus pada politik segregasi kependudukan. Artinya, senada dengan banyak kota lain, penanganan urbanisasi di Surabaya tidak holistik.

Pemkot harus sadar bahwa urbanisasi tidak lagi cukup dipahami sebagai fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pemaknaan seperti itu sudah ditinggalkan oleh para pakar masalah-masalah perkotaan. Yang paling penting untuk dicermati adalah pola perpindahan dan ciri demografi penduduk yang keluar-masuk Surabaya.

Dengan demikian, Surabaya dapat dikembangkan seiring dengan kebutuhan warga yang kerap berubah. Untuk itu, kebijakan yang didasarkan pada pendikotomian kondisi ekonomi kaum pendatang harus diakhiri. Contoh kebijakan yang bersifat dikotomi, seperti telah diuraikan sebelumnya, adalah operasi terhadap pendatang yang tergolong miskin. Padahal, operasi itu justru mencerminkan reaksi pemkot atas kegagalan pengembangan Kota Surabaya.

Ada beberapa argumentasi yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, bercokolnya dominasi paradigma pengembangan kota yang diyakini sebagai fungsi investasi. Pola pikir tersebut tidak tepat diterapkan pada kota-kota besar di negara berkembang. Peningkatan jumlah investasi tidak selamanya bisa menjadi solusi atas upaya pemenuhan kebutuhan pengembangan kota.

Jakarta bisa disebut sebagai contoh konkret. Uang yang beredar di Jakarta sering diestimasi mencapai 80 persen dari uang yang beredar secara keseluruhan. Namun, Jakarta tetap dibayangi karut-marut masalah perkotaan. Selain itu, yang kerap dituding sebagai sumber masalah adalah kaum urban miskin dan unskilled.

Padahal, peran kaum urban tersebut sangat penting sebagai penyangga dan pekerja di berbagai roda kegiatan ekonomi formal. Akankah jalan berpikir yang menimpakan kesalahan kepada pendatang miskin itu diikuti Pemkot Surabaya? Mengapa peran kaum urban dalam pengembangan kota tidak diapresiasi?

Kedua, bertolak belakang dengan poin pertama tersebut, dampak sosial akibat investasi para pemodal tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos tersendiri. Itu terkait dengan sulitnya menemukan formula baku atas biaya sosial yang seharusnya ditanggung mereka. Untuk itu, yang dicitrakan sebagai pembawa masalah bagi Surabaya seharusnya jangan orang miskin saja.

Pernahkah kita perhitungkan secara detail seberapa besar hasil yang didapatkan para investor dalam menjalankan usaha di Surabaya? Berapa banyak fasilitas infrastruktur dan kemudahan mengakses ruang-ruang perkotaan yang telah disediakan oleh Pemkot Surabaya? Seberapa besar pula kerusakan sistem sosial dan lingkungan yang mereka tinggalkan? Sebandingkah itu semua dengan apa yang mereka sumbangkan kepada masyarakat?

Ketiga, stigma terhadap kaum urban miskin perkotaan diperparah oleh kebijakan penataan ruang kota yang terkesan tidak tegas. Harus diakui, warga miskin di Kota Surabaya umumnya berusaha pada sektor ekonomi informal. Sayang, penataan terhadap mereka tidak dijalankan dengan serius. Operasi penertiban pedagang kaki lima (PKL) di beberapa ruas jalan Surabaya bisa dijadikan contoh.

Penertiban itu tidak diimbangi dengan skema pembangunan sentra-sentra penampungan PKL. Berbagai program pembangunan sentra-sentra tersebut memang telah dirancang pemkot. Namun, kecepatan realisasinya tidak sebanding dengan operasi penertiban PKL. Akibatnya, di beberapa wilayah para PKL kembali bermunculan.

Sikap pemkot terhadap fenomena itu perlu dipertanyakan. Mengapa mereka "dibiarkan" kembali berdagang? Bukankah itu bakal melanggengkan citra buruk kaum miskin yang kerap diidentikkan sebagai pembawa masalah? Seharusnya, pemkot menertibkan mereka sekaligus mewujudkan fasilitas sesuai dengan janji yang ditetapkan sebelumnya.

Keempat, kaum urban miskin dianggap sebagai beban. Padahal, kelompok tersebut adalah bagian dari warga kota yang tidak terlalu menikmati subsidi dan fasilitas dari negara. Umumnya, mereka juga hidup sebagai kelompok sosial yang mandiri.

Karena itu, sebetulnya tidak ada yang dapat dijadikan alasan untuk menghalangi siapa saja datang ke Kota Surabaya. Bahkan, wali kota Surabaya pun tidak boleh melarang. Semua warga negara Indonesia berhak berpindah ke mana pun di seluruh wilayah negeri ini. (soe)

*) Peneliti perkotaan Liga Berpikir Bebas (LBB), alumnus S-2 ilmu-ilmu sosial Unair

Jawa Pos, Minggu, 27 September 2009

Islah atau Melestarikan Dendam

Refleksi Peristiwa 30 September 1965

Oleh: Endang Suryadinata

MESKI sudah 44 tahun berlalu sejak peristiwa 30 September 1965, rupanya pepatah Inggris "Time is a healer" (waktu adalah sang penyembuh) belum sepenuhnya berlaku. Setiap ditanya tentang peristiwa itu, pasti mayoritas warga kita mengenangnya dengan perasaan sedih, pilu, atau muncul dendam kesumat.


Peristiwa yang oleh Orba disebut pemberontakan G 30 S/PKI memang punya beragam versi. Sehingga, kebenaran tentang peristiwa itu beragam. Bergantung versi mana yang mau kita percaya.

Lewat artikel ini, penulis tidak berkepentingan dengan pihak yang pro dan anti-Orba maupun pihak yang pro dan anti-PKI. Yang lebih penulis pentingkan adalah masa depan negeri ini. Mengingat, peristiwa 1965 masih terus membelenggu bangsa ini. Bagaimana kita bisa menyambut masa depan jika peristiwa masa lalu seperti itu justru terus dijadikan amunisi atau dagangan untuk melegitimasi kebencian?

Belenggu
Memprihatinkan, saat komunis menjadi "fosil" di berbagai belahan bumi, di sini justru terus menjadi "hantu". Akibatnya, jutaan orang yang merasa menjadi korban peristiwa 1965 hingga kini terus dipenuhi rasa benci kepada pihak lain yang dianggap sebagai pelaku, begitu juga sebaliknya. Setiap pihak justru terus berusaha mewariskan narasi kebencian kepada anak cucu dan generasi mendatang, sesuai dengan kebenaran subjektif masing-masing. Dominasi sejarah oleh Orba menyangkal adanya kebenaran pada pihak lain. "Sejarah yang kutulislah yang paling benar." Begitu kira-kira yang dikatakan oleh penulis sejarah di masa Orba.

Karena itu, langkah berbagai kalangan yang berusaha mendobrak dominasi narasi sejarah oleh Orba patut diapresiasi. Ada perubahan paradigma, sejarah harus mulai ditulis dari sudut pandang korban. Salah satu buku paling menonjol adalah Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Menghayati Pengalaman Korban 1965. Buku itu sangat monumental. Sebanyak 260 orang dari seluruh Indonesia bersaksi melalui metodologi sejarah lisan yang ketat. Paling tidak, dengan yang ditulis para korban tersebut, kini ada perspektif lain dalam memandang peristiwa 1965.

Penulis pernah meneliti serta bertemu dengan korban dan pelaku sejarah 1965 di Kediri pada 2000. Ada saksi sejarah yang ayahnya pernah dibuang di Pulau Buru. Menurut penuturan dia, semua teman ayahnya yang tidak dibuang telah dihabisi. Mayat mereka dibuang di Kali Brantas. Konon, saat melewati Kali Brantas pada 1965, selalu ada tontonan mayat mengapung. Mayat-mayat itu umumnya diikat dengan bambu supaya bisa tidak tenggelam. Ada mayat tanpa kepala, ada jasad dengan usus keluar, ada juga mayat yang terbelah dua.

Nah, ilustrasi itu membenarkan pendapat para sejarawan asing bahwa sejarah Nusantara sejak era Singasari sampai kini selalu diwarnai dengan pertumpahan darah rakyat yang tak berdosa. Bayangkan saja, dalam tragedi 1965 telah jatuh korban lebih dari setengah juta jiwa, bahkan ada yang menyebutkan lebih. Kebayakan disembelih seperti ayam atau kambing. Benar-benar mengerikan! Tak bisa dibayangkan, bangsa yang mengklaim lemah lembut ini bisa melakukan kekejaman di luar batas kemanusiaan.

Mendukung Islah
Syukur, akhir-akhir ini berbagai pihak yang orang tuanya terlibat dalam tragedi 1965 aktif dalam upaya islah atau rekonsiliasi. Di akar rumput juga layak dihargai upaya-upaya islah yang telah dilakukan oleh warga biasa agar dendam kesumat tidak dilestarikan sampai tujuh turunan. Memang, kalau kita mengaku sebagai bangsa beradab, islah adalah solusi yang lebih masuk akal daripada segala cara untuk melestarikan dendam sampai tujuh turunan.

Nah, perkembangan yang positif itu tentu perlu mendapatkan dukungan semua pihak. Sebab, kita punya tanggung jawab untuk mendukung terwujudnya cita-cita islah atau rekonsiliasi.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, kita tidak layak jatuh menjadi bangsa yang suka mendendam. Budaya Jawa, misalnya, mewariskan ajaran luhur seperti yang terkandung dalam kitab Wanaparwa. Dalam kitab tersebut, di antaranya, berlangsung dialog Drupadi, istri Yudistira, dengan sang suami, setelah Pandawa kalah judi dengan Kurawa dan harus dibuang ke hutan selama 12 tahun. Merasa jengkel dengan kelicikan dan kecurangan para Kurawa, Drupadi memprovokasi Yudistira: "Tuanku seorang kesatria atau bukan? Apakah kesatria harus memaafkan musuh?"

Yudistira menjawab, "Kebencian adalah kesia-siaan? Apa jadinya kalau hinaan dibalas dengan hinaan dan kebencian dengan kebencian? Memaafkan adalah pengorbanan. Memaafkan adalah adat istiadat kita. Memaafkan adalah kebenaran dan penebusan dosa. Jangan membujukku untuk tidak memaafkan. Sebab, memaafkan adalah kebijakan orang arif dan wujud nyata kemenangan atas kebencian."

Mudah-mudahan kita bisa berguru kasih sayang dari sosok seperti Yudistira. Sehingga, negeri ini sungguh-sungguh menjadi bangsa besar di masa depan dan tidak terus terbelenggu oleh persoalan masa lalu seperti peristiwa 1965. Kalau terus menuruti sakit hati, persoalan memang hanya bakal melingkar-lingkar dalam dendam kesumat. Sementara itu, kalau kita berani memaafkan, masa depan yang terang benderang pasti lebih gampang diraih. (*)

*). Endang Suryadinata , penulis tinggal di Belanda

Jawa Pos, Rabu, 30 September 2009