Siapa Berhak Melarang Kaum Urban?

Oleh: Binsar M. Gultom

PENATAAN ruang kota di kota-kota besar, termasuk Surabaya, kerap bersinggungan dengan berbagai variabel yang saling terkait. Di antara berbagai variabel tersebut, jumlah penduduk memiliki pengaruh paling utama. Karena itu, komposisi penduduk kota mutlak dicermati, terutama berkaitan dengan pola sirkulasi penduduk kota yang terhitung rumit.


Sudahkah Pemkot Surabaya memanfaatkan Gessy (gateway short message system) yang diklaim sebagai sistem pencatatan dan pengelolaan data sirkulasi penduduk Surabaya secara terpadu? Pertanyaan itu penting diajukan sebagai dasar pengambilan kebijakan yang terstruktur. Tanpa data konkret, kebijakan pemkot niscaya tidak tepat sasaran. Contoh paling aktual untuk dijadikan bahan diskusi adalah sikap pemkot terhadap urbanisasi.

Landasan berpikir apakah yang dipakai pemkot dalam melaksanakan operasi penertiban terhadap para pendatang? Penertiban oleh pemkot lebih dititikberatkan pada pendatang yang menggunakan moda transportasi darat dan laut. Yang dijadikan sasaran adalah Terminal Purabaya, Pelabuhan Tanjung Perak, dan berbagai stasiun kereta api. Selain itu, pemkot acap beroperasi di wilayah-wilayah kumuh.

Anehnya, pemkot terkesan enggan menertibkan pendatang yang menggunakan moda transportasi udara dan wilayah-wilayah elite. Seharusnya, pendatang yang masuk dari Bandara Juanda atau yang bermukim di perumahan mewah, termasuk banyak apartemen, juga dioperasi. Kalau tidak, pemkot telah terjerumus pada politik segregasi kependudukan. Artinya, senada dengan banyak kota lain, penanganan urbanisasi di Surabaya tidak holistik.

Pemkot harus sadar bahwa urbanisasi tidak lagi cukup dipahami sebagai fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pemaknaan seperti itu sudah ditinggalkan oleh para pakar masalah-masalah perkotaan. Yang paling penting untuk dicermati adalah pola perpindahan dan ciri demografi penduduk yang keluar-masuk Surabaya.

Dengan demikian, Surabaya dapat dikembangkan seiring dengan kebutuhan warga yang kerap berubah. Untuk itu, kebijakan yang didasarkan pada pendikotomian kondisi ekonomi kaum pendatang harus diakhiri. Contoh kebijakan yang bersifat dikotomi, seperti telah diuraikan sebelumnya, adalah operasi terhadap pendatang yang tergolong miskin. Padahal, operasi itu justru mencerminkan reaksi pemkot atas kegagalan pengembangan Kota Surabaya.

Ada beberapa argumentasi yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, bercokolnya dominasi paradigma pengembangan kota yang diyakini sebagai fungsi investasi. Pola pikir tersebut tidak tepat diterapkan pada kota-kota besar di negara berkembang. Peningkatan jumlah investasi tidak selamanya bisa menjadi solusi atas upaya pemenuhan kebutuhan pengembangan kota.

Jakarta bisa disebut sebagai contoh konkret. Uang yang beredar di Jakarta sering diestimasi mencapai 80 persen dari uang yang beredar secara keseluruhan. Namun, Jakarta tetap dibayangi karut-marut masalah perkotaan. Selain itu, yang kerap dituding sebagai sumber masalah adalah kaum urban miskin dan unskilled.

Padahal, peran kaum urban tersebut sangat penting sebagai penyangga dan pekerja di berbagai roda kegiatan ekonomi formal. Akankah jalan berpikir yang menimpakan kesalahan kepada pendatang miskin itu diikuti Pemkot Surabaya? Mengapa peran kaum urban dalam pengembangan kota tidak diapresiasi?

Kedua, bertolak belakang dengan poin pertama tersebut, dampak sosial akibat investasi para pemodal tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos tersendiri. Itu terkait dengan sulitnya menemukan formula baku atas biaya sosial yang seharusnya ditanggung mereka. Untuk itu, yang dicitrakan sebagai pembawa masalah bagi Surabaya seharusnya jangan orang miskin saja.

Pernahkah kita perhitungkan secara detail seberapa besar hasil yang didapatkan para investor dalam menjalankan usaha di Surabaya? Berapa banyak fasilitas infrastruktur dan kemudahan mengakses ruang-ruang perkotaan yang telah disediakan oleh Pemkot Surabaya? Seberapa besar pula kerusakan sistem sosial dan lingkungan yang mereka tinggalkan? Sebandingkah itu semua dengan apa yang mereka sumbangkan kepada masyarakat?

Ketiga, stigma terhadap kaum urban miskin perkotaan diperparah oleh kebijakan penataan ruang kota yang terkesan tidak tegas. Harus diakui, warga miskin di Kota Surabaya umumnya berusaha pada sektor ekonomi informal. Sayang, penataan terhadap mereka tidak dijalankan dengan serius. Operasi penertiban pedagang kaki lima (PKL) di beberapa ruas jalan Surabaya bisa dijadikan contoh.

Penertiban itu tidak diimbangi dengan skema pembangunan sentra-sentra penampungan PKL. Berbagai program pembangunan sentra-sentra tersebut memang telah dirancang pemkot. Namun, kecepatan realisasinya tidak sebanding dengan operasi penertiban PKL. Akibatnya, di beberapa wilayah para PKL kembali bermunculan.

Sikap pemkot terhadap fenomena itu perlu dipertanyakan. Mengapa mereka "dibiarkan" kembali berdagang? Bukankah itu bakal melanggengkan citra buruk kaum miskin yang kerap diidentikkan sebagai pembawa masalah? Seharusnya, pemkot menertibkan mereka sekaligus mewujudkan fasilitas sesuai dengan janji yang ditetapkan sebelumnya.

Keempat, kaum urban miskin dianggap sebagai beban. Padahal, kelompok tersebut adalah bagian dari warga kota yang tidak terlalu menikmati subsidi dan fasilitas dari negara. Umumnya, mereka juga hidup sebagai kelompok sosial yang mandiri.

Karena itu, sebetulnya tidak ada yang dapat dijadikan alasan untuk menghalangi siapa saja datang ke Kota Surabaya. Bahkan, wali kota Surabaya pun tidak boleh melarang. Semua warga negara Indonesia berhak berpindah ke mana pun di seluruh wilayah negeri ini. (soe)

*) Peneliti perkotaan Liga Berpikir Bebas (LBB), alumnus S-2 ilmu-ilmu sosial Unair

Jawa Pos, Minggu, 27 September 2009

0 tanggapan: