One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
PR bagi Menteri Transmigrasi dan Tenaga Kerja KIB Jilid 2
Melepaskan Gelar ''Bangsa Kuli''
Oleh: Bashori Muchsin
APAKAH negara ini benar-benar cukup kapabel untuk mengembalikan derajat kemanusiaan TKI kita yang bekerja di negara lain sehingga mereka tetap menjadi manusia bermartabat, pantas menjadi pahlawan devisa yang dihormati atau dijauhkan dari segala bentuk praktik ''pembinatangan" (dehumanisasi)? Apakah menteri tenaga kerja dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid 2 nanti mampu menjadi pelindung sejati bagi mereka?
Penghormatan terhadap pahlawan devisa, yang dalam 2009 (laporan setiap mudik TKI) diestimasi telah menyumbangkan pendapatan sedikitnya Rp 6 triliun, sudah seharusnya dilakukan pemerintah atau pihak-pihak lain secara maksimal. Tidak semata karena mereka telah memberikan Rp 6 triliun kepada negeri ini, tetapi juga demi martabat republik ini.
Sayang, manusia (TKI) berharga Rp 6 triliun itu ke depan masih rentan mengalami pelecehan atau praktik-praktik pembinatangan. Tampaknya, kasus yang lebih parah daripada Hajar dan kawan-kawan masih niscaya terulang. Cerita demikian itu mengakibatkan potret TKI kita di negara lain, khususnya negari jiran Malaysia, layaknya sekelompok manusia yang ''halal badan dan darahnya" untuk disiksa, disetrika, diperkosa, atau dijadikan objek kekerasan.
Memang kita tahu bahwa Malaysia merupakan tempat tujuan penempatan TKI yang terbesar. Sedikitnya 2,2 juta TKI bekerja di Malaysia dan hanya 1,2 juta orang yang memiliki izin kerja di sana. Di antara sedikitnya 6 juta TKI yang bekerja di luar negeri, 4,3 juta orang bekerja di sektor informal, seperti pembantu rumah tangga, buruh perkebunan, dan buruh bangunan. Mereka paling rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia karena minimnya perlindungan di sektor informal.
[]
Selama ini, pemerintah belum serius menangani masalah buruh migran. Para TKI hanya dinanti untuk menghasilkan atau "mengekspor" ringgit, real, dolar, dan mata uang lain ke dalam negeri. Akan tetapi, harkat kemanusiaan sebagai orang Indonesia tidak dipedulikan. Mereka sebatas menjadi pejuang merana atas nama keluarga dan tanah air. Sementara di negeri orang, mereka layaknya menjadi objek yang rentan dikriminalisasikan.
Ikhwan (2006) menyebut bahwa sejarah panjang praktik rasialisme, perbudakan, diskriminasi, dan segenap bentuk tindakan intoleransi lain telah menimpa buruh migran Indonesia. Harga diri dan martabat kemanusiaan sebagai entitas sosial dan bangsa telah luluh lantak.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura dalam sebulan rata-rata menerima 90 pengaduan dari para buruh migran wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mereka menelepon, melalui surat, dan melarikan diri (meminta perlindungan) ke kedutaan akibat diperlakukan secara tidak beradab, tidak adil, dan bahkan dalam beberapa hal layaknya budak belian.
Kasus-kasus tersebut mendeskripsikan buramnya potret TKI di negara lain. Itu mengesankan bahwa mereka yang oleh keluarga dan negara dijuluki sebagai "pahlawan devisa" ternyata tidak lebih dari kumpulan manusia yang bergelar bangsa kuli (nation coolies) atau bangsa budak, yang absah untuk disiksa, dianiaya, atau dieksploitasi secara fisik dan non-fisik, khususnya dalam ranah pelecehan hingga "industrialisasi seksual".
Seharusnya, kita memang malu atau kehilangan muka saat anak-anak bangsa yang sudah berkorban segala-galanya menjadi TKI itu dijuluki sebagai segmentasi dan representasi bangsa kuli. Pasalnya, sebuatan demikian merupakan bentuk penghinaan yang sangat merendahkan derajat bangsa ini. Bangsa ini dicabik-cabik dengan perih akibat harkat kemanusiaannya dinodai atau direndahkan dalam stadium "memilukan dan mengerikan" oleh bangsa lain yang semakin sistemis membolehkan dehumanisasi.
Sayang, di antara kita, apakah pejabat atau pengerah jasa tenaga kerja "abu-abu" tidak merasa malu terhadap perlakuan korporasi atau majikan-majikan asing dan sekumpulan oportunis seksual terhadap TKI secara tidak manusiawi. Fatalnya lagi, kita justru memperlakukan TKI tetap sebagai objek komoditas yang terus-menerus diekspor untuk mendulang keuntungan spektakuler.
Nyaris setengah dari jumlah keseluruhan TKI di Malaysia berstatus ilegal atau menjadi manusia-manusia liar yang diberangkatkan dengan cara "diselundupkan" sekelompok jaringan terorganisasi, khususnya oleh kalangan sindikat perdagangan manusia (human trafficking), menunjukkan bahwa kita (pebisnis perdagangan manusia) telah menyiapkan akar kriminogen yang membuat negeri ini layak disebut sebagai eksporter budak. Pasalnya, dengan menyelundupkan TKI itu, kita telah memberikan kesempatan, mengizinkan, membenarkan, dan memberikan jalan bagi sebagian saudara sebangsa itu untuk memasuki "wilayah rawan" diperlakukan secara dehumanisasi layaknya binatang atau bangsa kuli.
Di desa-desa tidak sedikit kita temukan sekelompok orang yang kaya raya secara instan akibat "bekerja": menjadi makelar-makelar pencarian atau pengumpulan TKI, baik yang diberangkatkan secara legal maupun diselundupkan. Kalau ditanya, mengapa mereka rela jadi bagian dari penyelundupan manusia? Jawabannya sangat apologis, apa yang dilakukannya bukanlah mengekspor budak. Tetapi, membebaskan sesama dari kemiskinan dan pengangguran atau memediasi terwujudnya kesejahteraan sosial.
Kalau sudah begitu potret TKI di luar negeri, pemerintah bisa memilah strategi penanggulangannya. Misalnya, memberikan penguatan HAM TKI sejak persiapan berangkat (khusus yang legal), mengenalkan norma-norma yuridis di negara tujuan TKI, dan kiat yang benar ketika harus berhadapan dengan majikan, pengusaha atau perusahaan nakal, serta penegak hukum negara lain yang "cacat". Sementara itu, TKI ilegal tetap wajib dilindungi dengan menguatkan peran atase atau kedutaan untuk semakin "rajin" turun ke barak-barak TKI. (*)
*) Prof Dr Bashori Muchsin MSi, pembantu rektor II Unisma, pernah mengadakan riset ke negara-negara tetangga tentang potret TKI
Jawa Pos, Kamis, 22 Oktober 2009
0 tanggapan:
Posting Komentar