Mengupas Hasil Survei Publik DPRD

Pada Agustus lalu, anggota DPRD periode 2009-2014 dilantik di berbagai daerah di Indonesia. Pelantikan wakil rakyat itu disambut demonstrasi. Termasuk di Jawa Timur. Masyarakat meragukan kinerja dewan. Bagaimanakah sebenarnya penilaian masyarakat terhadap kinerja dewan?

TAHUN ini, JPIP kembali menilai empat kinerja fungsional dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) periode 2004-2009 di 38 kabupaten-kota di Jawa Timur. Yaitu, fungsi representasi, legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

Kinerja DPRD penting untuk dinilai karena mereka turut memberikan kontribusi bagi maju tidaknya pembangunan di daerah. Terkait dengan fungsi penganggaran, tanpa persetujuan DPRD, anggaran pembangunan yang diajukan eksekutif tidak bisa keluar. Praktis, program daerah tidak bisa dijalankan. Legislatif adalah mitra eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan di daerah.

Tahun 2009 merupakan masa kerja terakhir jabatan mereka. Karena itu, dipandang sangat perlu kembali menilai kinerja anggota DPRD selama lima tahun mengemban amanat konsituen. Monitoring dan evaluasi kinerja DPRD pernah dilakukan pada 2004 untuk periode jabatan 1999-2004.

Ketidakpuasaan masyarakat luas terhadap kinerja DPRD pada periode sebelumnya berujung pada demonstrasi ketika pelantikan anggota DPRD yang baru. Demonstrasi itu terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Bangkalan, Bojonegoro, Kabupaten Blitar, Jember, Pamekasan, dan Tuban.

Ketidakpuasaan masyarakat terhadap kinerja DPRD itu berbanding lurus dengan hasil-hasil survei publik JPIP. Di daerah-daerah yang terjadi demonstrasi, penilaian masyarakat terhadap kinerja dewan memang rendah. Misalnya saja, Tuban, Bojonegoro, dan Bangkalan.

Masyarakat (responden) menilai kinerja DPRD masih sangat buruk. Survei itu melibatkan 145 orang responden di setiap daerah. Total responden berada di 38 kabupaten-kota di Jawa Timur. Responden terdiri atas penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh pendidikan, pegawai swasta, kalangan dunia usaha, petani, dan sebagainya. Untuk mengawal survei publik tersebut, JPIP menggandeng Unit Pengkajian dan Pengembangan Potensi Daerah (UP3D) ITS Surabaya.

Rerata Jatim di Bawah 3

Kalau dilihat rerata di Jawa Timur, nilai empat kinerja fungsional itu masih di bawah skor 3. Berarti masyarakat tidak setuju bahwa DPRD telah mengakomodasi kepentingan masyarakat di fungsi representasi. DPRD juga dinilai gagal dalam mengakomodasi aspirasi masyarakat. Mereka hanya memperhatikan keinginan para konstituen (partai politiknya). Publik Jatim memberi skor 2,54.

Di fungsi legislasi, DPRD gagal mendorong terbitnya peraturan daerah (perda) yang berpihak kepada kepentingan publik. Misalnya saja, perda yang tidak membebani masyarakat, mampu mempercepat pembangunan di daerah, dan meningkatan pelayanan publik. Faktanya, banyak perda yang terbit di daerah justru merupakan perda retribusi. Perda-perda itu terbukti bisa membebani dunia usaha. DPRD juga dinilai gagal dalam menjalankan hak mereka untuk melahirkan perda-perda inisiatif. Umumnya, usul perda masih dari eksekutif. Nilai rata-rata di Jawa Timur 2,68.

Berdasar hasil penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya di Kabupaten Blitar, Lamongan, dan Kota Surabaya, memang inisiatif DPRD untuk menerbitkan perda masih rendah. Di Kabupaten Lamongan, 68 perda yang terbit selama periode 2004-2009 merupakan inisiatif eksekutif. Begitu pula Kota Surabaya yang berhasil melahirkan 59 perda. Perda yang dihasilkan pada umumnya merupakan perda retribusi. Di Kabupaten Blitar, di antara 53 perda yang terbit, setengahnya merupakan perda retribusi dan revisi perda yang sudah ada tentang urusan wajib.

Ketidakmampuan DPRD dalam membuat perda inisiatif antara lain karena kurangnya kemampuan legislasi anggota DRPD. Pembuatan raperda sering dikontrakkan kepada pihak ketiga. Mulai riset, penyusunan draf naskah akademik, sampai pelibatan dalam pembahasan. "Biaya mahal, bisa mencapai Rp 300 juta per raperda" ungkap M. Syaiful Aris, direktur LBH Surabaya.

Responden juga menilai, dalam fungsi kontrol atau pengawasan, DRPD belum mampu menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Publik di Jawa Timur memberi skor 2,54. Baik terkait hubungannya dengan eksekutif maupun di internal dewan. Tak jarang, banyak anggota dewan yang terlibat kasus korupsi.

Dalam fungsi budgeting, DPRD dinilai gagal untuk mendorong anggaran yang pro-rakyat. Di fungsi itu, skor rata-rata Jawa Timur 2,81.

Dalam survei empat fungsi itu, penganggaran menduduki rata-rata teratas. Sebanyak 10 daerah menunjukkan skor lebih dari 3. Itu berarti DPRD sudah menjalankan fungsinya, walaupun hanya bersifat rutin. Pelaksanaan fungsi tersebut memang mudah dilihat. Mereka cukup mengesahkan APBD dan dianggap sudah menjalankan fungsi mereka. Tetapi, bukan berarti telah mampu mendorong lahirnya anggaran yang memprioritaskan kebutuhan masyarakat yang mendesak dan memperjuangkan usul pembangunan. Sebab, alokasi anggaran masih didominasi untuk mencukupi kebutuhan pegawai.

Tuban, Juru Kunci

Kabupaten Tuban menjadi juru kunci (peringkat 38) di empat kinerja fungsional. Berarti skor Tuban paling rendah jika dibandingkan dengan 37 kabupaten-kota lainnya.

Nilai skor fungsi representasi 1,92, fungsi legislasi 2,06, fungsi kontrol 1,84, dan fungsi penganggaran 2,13. Di antara empat fungsi tersebut, skor fungsi pengawasan paling rendah. Masyarakat menilai, DPRD tidak mampu lagi mendorong terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih. Termasuk di dalamnya meminimalisasi penyimpangan oleh eksekutif.

Hasil survei di daerah itu senada dengan wawancara mendalam yang dilakukan peneliti JPIP. Tidak ditemukan terobosan di empat kinerja fungsional yang dilakukan oleh daerah di pantai utara Jawa itu. Kondisi serupa dialami Bojonegoro. Berdasar hasil penilaian masyarakat, tiga fungsi kinerjanya menduduki peringkat lima besar terendah. Yaitu, representasi, kontrol, dan budgeting. DPRD di daerah tersebut tidak melakukan inovasi yang menonjol.

Sementara itu, di Kabupaten Malang, terdapat kesesuaian antara hasil wawancara mendalam dan hasil survei publik terhadap kinerja DPRD. Di fungsi legislasi, DPRD telah mampu menelurkan 7 perda inisiatif selama lima tahun masa jabatan mereka. Salah satunya tentang penanggulangan HIV/AIDS.

Hal yang aneh terjadi di Kabupaten Blitar. Hasil survei publik menunjukkan masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kinerja dewan. Padahal, berdasar hasil tim peneliti JPIP, DPRD Kabupaten Blitar memiliki sejumlah terobosan. Baik di fungsi representasi maupun legislasi. Di dua kinerja itu, kabupaten tersebut menduduki peringkat 19.

Di kinerja legislasi, DPRD melahirkan perda inisiatif. Di antaranya, Perda tentang Perlindungan TKI dan Prostitusi. Perda Perlindungan TKI merupakan yang pertama di Jawa Timur. Dengan adanya perda itu, diatur sejumlah perlindungan kepada TKI. Di antaranya, menertibkan agen penyalur TKI, pemda harus menyewakan pengacara ketika mereka terjerat kasus di luar negeri, dan mempersiapkan mereka menjadi wirausahawan ketika pulang. Perda tersebut memang sudah selayaknya ada. Sebab, Blitar merupakan salah satu daerah kantong TKI di Jawa Timur. (hnovitasari@jpip.or.id/agm).

Jawa Pos [jpip] Senin, 28 September 2009

0 tanggapan: