Krisis Global Jadi Alasan, Nasib Buruh Dipertaruhkan

Sepanjang 2009 perhatian, pikiran, dan tenaga bangsa Indonesia seolah tercurah untuk dua pemilihan umum yang digelar pada tahun ini. Setelah pemilihan umum legislatif April lalu, kini bangsa Indonesia tengah bersiap-siap menghadapi pemilihan presiden yang akan digelar Juli mendatang.

Di tengah berbagai janji yang ditebar para calon legislator dan calon presiden/wakil presiden akan perubahan dan perbaikan, berbagai keprihatinan masih tetap dirasakan oleh banyak kalangan. Tak terkecuali para buruh, terutama buruh perempuan. Pergantian pimpinan di pucuk pemerintahan, tak banyak berpengaruh terhadap kondisi mereka. ’’Kondisi perempuan belum berubah,’’ kata Amin Mufityanah, Direktur Yayasan Annisa Swasta, sebuah lembaga yang berkonsentrasi pada persoalan buruh perempuan, mengomentari keadaan ini akhir April lalu. ’’Malah tidak terdengar. Kalah dengan isu lain, terutama politik.’’

Menurutnya belakangan kondisi buruh perempuan justru semakin memprihatinkan. Sejak dulu buruh memang terkena imbas langsung dari jaringan bisnis internasional. Maka saat terjadi krisis global seperti sekarang, imbas ini tak bisa dielakkan. Terlebih di Indonesia banyak perusahaan yang merupakan investasi asing.

Amin menjelaskan bahwa sebenarnya tidak diketahui dengan pasti bagaimana kondisi perusahaan-perusahaan tersebut saat ini. Sebagian di antanya tiba-tiba berhenti beroperasi tanpa alasan pasti. ’’Pindah atau ke mana tidak jelas,’’ kata Amin.

Krisis global juga menjadi alasan berbagai perusahaan untuk tidak memberikan hak buruh sesuai ketentuan. Perusahaan yang mempekerjakan mayoritas buruh perempuan memiliki kecenderungan lebih besar melakukan hal demikian. Sebab biasanya perempuan akan lebih maklum dan bisa menerima alasan tersebut.

Apa yang terjadi di sebuah perusahaan garmen di sebelah barat Yogyakarta membuktikan hal ini. Dengan alasan krisis global, pihak perusahaan menunda pembayaran terhadap para buruhnya yang hampir semuanya perempuan. ’’Padahal belum ada bukti (kalau perusahaan terimbas krisis global) karena perusahaan tetap berproduksi,’’ papar Amin. Dalam kondisi demikian buruh tersebut tetap setia datang ke perusahaan. Menjalankan tugas mereka sambil mengharap upah mereka dibayarkan. Menurut ketentuan hukum, perusahaan terkena denda sebesar 5% per hari untuk keterlambatan pembayaran. Namun, hampir tak ada perusahaan yang memenuhi ketentuan ini.

Tak hanya soal kesejahteraan yang tidak diberikan sesuai ketentuan, sebagian besar perusahaan saat ini juga tidak mau mengangkat buruh tetap. Mereka memilih mempekerjakan buruh yang dikontrak untuk masa tiga hingga enam bulan, sehingga kewajiban dan beban yang harus ditanggung perusahaan lebih ringan. Hal ini menjadikan gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah tidak signifikan. ’’Setelah upah naik, mereka keluar,’’ jelas Amin.

Persoalan lain yang muncul adalah semakin tingginya jumlah perusahaan yang memilih mempekerjakan tenaga outsource (biasa disebut sebagai buruh informal) dalam proses produksinya. Terutama industri-industri padat karya. Bagi sebagian buruh terutama perempuan hal ini dirasa memudahkan karena mereka dapat memperolah penghasilan sementara pekerjaan rumah tangga tetap bisa mereka lakukan.

Mengenai hal ini Amin berpendapat bahwa sebenarnya posisi buruh informal hanya menguntungkan perusahaan dan agen yang merekrut jasa para pekerja lepas ini. Bukan hanya tidak mendapatkan informasi mengenai perusahaan mana yang menggunakan jasa mereka, buruh informal sering kali juga tidak tahu berapa sebenarnya upah yang seharusnya mereka terima. Sistem kerja yang diterapkan di sini bisa disebut sistem sel karena para buruh hanya mengenal pihak yang secara langsung memberi order pada mereka. Sebaliknya perusahaan juga tidak mengetahui siapa saja yang terlibat dalam proses produksi mereka. [sa]

Mei 2009

0 tanggapan: