Ketika Perempuan Menjadi Buruh Migran


Keutuhan Rumah Tangga Dipertaruhkan

Memiliki keluarga bahagia dan hidup bersama sepanjang masa merupakan harapan semua orang ketika mulai membina rumah tangga. Namun dalam perjalanan, tak jarang sebagian di antara mereka terpaksa menjadikan perpisahan sebagai pilihan karena kebersamaan berubah menjadi siksaan. Ironisnya, pada sebagian kasus hal ini justru terjadi ketika salah satu pihak tengah menegakkan pilar rumah tangga yang ambruk karena salah satu sendinya tak tercukupi: ekonomi.


Itulah yang menimpa sebagian buruh migran perempuan Indonesia. Saat mereka mengadu nasib di negeri asing demi keberlanjutan rumah tangga, sang suami justru menghamburkan uang yang mereka kirimkan. Bahkan, tak sedikit dari suami-suami tersebut yang kemudian hidup bersama perempuan lain.

Menurut pengacara dan advokat Puji Utami, SH yang ditemui pertengahan Mei lalu di Yogyakarta, kasus seperti itu banyak dijumpai di wilayah di mana angka buruh migran cukup tinggi. Perempuan yang memiliki perhatian pada masalah-masalah perempuan ini menuturkan kondisi tersebut membuat buruh migran perempuan berada dalam kondisi sulit. Beban mereka sebagai pencari nafkah dalam rumah tangga harus ditanggung bersama dengan beban lain, menjaga keutuhan keluarga.

Dalam kondisi dimana perempuan ini tak dapat menanggungkannya lagi, perceraian kemudian menjadi pilihan. Utami mengilustrasikan salah satu kliennya, sebut saja N, seorang buruh migran Indonesia di Hong Kong yang akhirnya memilih bercerai karena suaminya tak bisa dipercaya. Menurutnya, selain sebuah rumah yang berhasil dibangun, uang yang dikirimkan N kepada suami tak berbekas lagi. Termasuk uang yang sedianya dimaksudkan sebagai modal usaha.

Ternyata proses perceraian N dengan suaminya tak semulus yang dibayangkan. Suami N berkeras mempertahankan keutuhan rumah tangga dengan alasan yang bisa dikatakan egois, menurut bahasa Utami. ’’Bagaimana ya Bu, dia itu cantik dan bisa cari uang,’’ kata Utami menirukan keberatan suami N atas gugatan cerai yang dilayangkan isterinya. Proses menjadi lebih alot lagi karena suami merasa berhak terhadap harta mereka sekalipun N-lah yang selama ini bekerja.

Pengguna jasa bantuan hukum atau pengacara belakangan memang tidak hanya dimonopoli kaum laki-laki. Seperti kata Utami, perempuan kini semakin banyak yang memiliki kesadaran hukum dan keberanian untuk menyelesaikan persoalan lewat jalur hukum. Meski mengaku 95% kasus yang ditangani merupakan persoalan keluarga bukan berarti Utami menutup diri terhadap kasus lain.

’’Mungkin karena perempuan dianggap lebih telaten,’’ jawabnya ketika ditanya mengapa sebagian besar kliennya datang dengan kasus rumah tangga. Jawaban ini bisa saja benar mengingat perempuan pengacara tak banyak jumlahnya. Apalagi pengacara yang membuka kantor secara mandiri seperti dirinya.

Meski demikian, tak semua kasus yang ditanganinya berlanjut hingga proses hukum. ’’Kalau bisa musyawarah, ya kita musyawarah,’’ kata Utami. Dalam kondisi demikian, Puji memposisikan dirinya sebagai mediator bagi dua pihak yang tengah berseteru.[am]

0 tanggapan: