Syaifudin Zuhri dan Islam di Yaman

Oleh : Mohammad Afifi

Seorang teman di Surabaya menceritakan bahwa majelis taklimnya belakangan ini sering dihadiri polisi. Aparat tersebut hadir bukan untuk mengaji, tapi untuk mengawasi. Pengawasan itu, agaknya, dipicu oleh latar belakang pendidikannya. Dia dahulu pernah belajar di Pondok Pesantren Ribath, Tarim, Hadramaut, Yaman. Mungkin karena itu, polisi menduga dan mencurigainya sebagai jaringan Syaifudin Djaelani alias Syaifudin Zuhri yang kemarin digerebek polisi di Jakarta. Sebagaimana diketahui, Syaifudin juga pernah belajar di Yaman.

Padahal, Islam di Yaman sangatlah beragam. Keberagaman itu secara umum dapat dibagi dalam tiga varian. Pertama, Islam bermazhab Syiah Zaidiyah. Pemikiran aliran ini bertitik tolak kepada konsep imamah. Orang-orang Syiah percaya bahwa kepemimpinan umat Islam harus dipegang Ahlu al-Bait, keturunan Nabi Muhammad SAW, seperti Ali bin Husain Zainal Abidin, Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin, dan Ja'far al-Shadiq. Syiah Zaidiyah adalah sekte yang meyakini kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali.

Di Yaman, sekte tersebut berkembang pesat. Awalnya, ia dianut orang-orang pegunungan -sekarang Shan'a (ibu kota negara Republik Yaman)- tetapi kemudian para imam menyebarkannya dengan gigih ke daerah dataran rendah. Oleh karena itu, jumlah penganut sekte ini berkisar 50 persen dari jumlah total penduduk Yaman. Jumlah tersebut -setelah Yaman Utara dan Selatan bersatu, yang kemudian membentuk Negara Republik Yaman- menguntungkan orang-orang Syiah Zaidiyah secara politis. Hingga saat ini, presiden Negara Republik Yaman berasal dari Partai Syiah Zaidiyah, yaitu al-Mu'tamir.

Selain itu, pandangan dan perilaku orang-orang Yaman juga sangat dipengaruhi sekte tersebut. Orang-orang Yaman, baik Syiah Zaidiyah ataupun non-Syiah, sangat mencintai dan menghormati Ahlu al-Bait. Setiap tahun pada bulan Rabiul Awwal mereka menyelenggarakan maulid nabi dengan membaca Barzanji. Ini sebagai tanda penghormatan kepada nabi dan keluarganya.

Tradisi itu tentu mempertemukan orang-orang Syiah Zaidiyah dengan kelompok Islam kedua di Yaman, sufi. Di sini, sufi bukanlah seperti pemahaman orang Indonesia, yaitu ahli ilmu tasawuf atau suluk. Tetapi, ia adalah orang atau kelompok yang bermazhab Syafi'ie dalam fiqih, bermazhab Asy'ari dalam teologi, dan bermazhab Ghazali dalam tasawuf.

Aliran tersebut berkembang di Hadramaut, Yaman Selatan. Di daerah ini, dialog antara Islam dan budaya lokal masih sangat kental. Dialog itu terungkap dalam pandangan banyak suku di Hadramaut. Mereka, menurut LWC Van Den Berg (1989; hlm. 56), tidak melakukan ibadah secara teratur walaupun mereka sangat setia terhadap Islam. Mereka menganggap kerajinan ibadah sebagai tindakan yang tidak cocok dengan laki-laki. Ini berbeda dengan kelompok sufi di perkotaan Hadramaut, di mana mereka sangat taat beribadah.

Namun, kedua kelompok tersebut - sufi desa dan kota- sangat mencintai dan menghormati para sayyid, keturunan nabi. Orang-orang Hadramaut, baik yang lebih tua ataupun yang lebih berpendidikan, akan berdiri untuk mencium tangannya bila seorang sayyid lewat atau datang dalam suatu acara. Penghormatan itu akan semakin bertambah bila sayyid tersebut dianggap sebagai orang suci (wali). Apalagi, dia termasuk orang awas (ahli kasyf), yaitu orang yang mampu menebak dan meramal pikiran orang lain.

Di sini, banyak sayyid wali dan awas yang sangat terkenal, bahkan ada seribu makam wali dan awas di Zambal. Mereka, antara lain, adalah Sayyid Abu Bakar bin Abdullah al-Aidrus serta Sayyid Muhsin bin Salim bin al-Syaikh Abu Bakar. Menurut cerita, karamah Sayyid Abu Bakar, antara lain, pernah membuat mata air dengan menghunjamkan tombaknya ke tanah. Sedangkan doa-doa Sayyid Muhsin selalu diterima Allah. Oleh karena itu, banyak orang Arab dan orang Nusantara memberinya hadiah dengan harapan mendapat berkah darinya.

Karamah tersebut, menurut mereka, tidak hanya diberikan saat sang sayyid hidup. Setelah meninggal pun, dia tetap mampu memberikan berkah kepada para peziarah. Debu kuburan di Zambal, katanya, dapat menyembuhkan segala penyakit. Ini sangat mirip dengan praktik keagamaan di Nusantara. Mungkin karena itu, sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa Islam yang berkembang di Nusantara berasal dari Yaman.

Selain itu, keluarga sayyid juga melahirkan banyak cendekiawan. Salah satunya adalah keluarga al-Mansur, yang mendirikan Pondok Pesantren Ribath Tarim. Pondok tersebut kemudian dilanjutkan Habib Salim al-Syatiri. Di pondok itu, kurikulumnya tidak jauh berbeda dengan pondok pesentren di Indonesia. Para santri belajar Safinah Sullam (fiqih dan teologi), Jawahiru al-Kalamiyah (teologi), Fathul Qarib (fiqih), dan kitab-kitab lainnya.

Namun, pada pertengahan abad ke-19, praktik keagamaan tersebut mendapat tantangan dan kritik tajam dari kelompok Wahabi, varian Islam ketiga di Yaman. Kelompok ini menuduh mereka (Zaidiyah dan Sufi) telah melakukan bidah dan khurafat. Ia menginginkan kemurnian ajaran Islam dengan slogan "kembali kepada Alquran dan hadis".

Selain itu, kelompok tersebut juga menyelenggarakan pendidikan modern untuk memajukan umat. Ia mendirikan banyak sekolah dan universitas. Salah satunya adalah Universitas Jami'atu al-Iman di Shan'a. Bahkan, bukan hanya itu, mereka juga memiliki partai politik, al-Syams (matahari), untuk mewadahi aspirasi mereka di parlemen.

Di sini, ketiga kelompok di atas - Syiah Zaidiyah, Sufi, dan Wahabi- bisa hidup dengan damai dan saling berdampingan. Tetapi, ada kelompok sempalan Wahabi yang menganggap orang di luar mereka adalah kafir. Oleh karena itu, mereka wajib diperangi. Ia sering melakukan teror terhadap kelompok lain. Pemimpinnya adalah Syeikh Moqbil, yang salah satu muridnya adalah Syaifudin Zuhri. Menghadapi itu, pemerintah Yaman tentu tidak tinggal diam. Ia pun mencari dan memburunya.

Dalam konteks ini, terlihat bahwa peta aliran dan pemikiran Islam di Yaman tidaklah tunggal, seperti yang banyak diduga oleh orang, tapi ia sangat jamak dan beragam. Oleh karena itu, wacana yang menunggalkan Islam di Yaman sebagai Islam radikal dan teroris adalah tidak benar. Sebab, hal itu tidak sesuai dengan fakta dan realitas yang ada di Yaman. (*)

*) Mohammad Afifi, alumnus Pascasarjana Antropologi UGM, keluarga Pondok Pesantren Sumber Payung, Ganding, Sumenep, Madura

Jawa Pos, Sabtu, 10 Oktober 2009

0 tanggapan: