Refleksi Peristiwa 30 September 1965
Oleh: Endang Suryadinata
MESKI sudah 44 tahun berlalu sejak peristiwa 30 September 1965, rupanya pepatah Inggris "Time is a healer" (waktu adalah sang penyembuh) belum sepenuhnya berlaku. Setiap ditanya tentang peristiwa itu, pasti mayoritas warga kita mengenangnya dengan perasaan sedih, pilu, atau muncul dendam kesumat.
Peristiwa yang oleh Orba disebut pemberontakan G 30 S/PKI memang punya beragam versi. Sehingga, kebenaran tentang peristiwa itu beragam. Bergantung versi mana yang mau kita percaya.
Lewat artikel ini, penulis tidak berkepentingan dengan pihak yang pro dan anti-Orba maupun pihak yang pro dan anti-PKI. Yang lebih penulis pentingkan adalah masa depan negeri ini. Mengingat, peristiwa 1965 masih terus membelenggu bangsa ini. Bagaimana kita bisa menyambut masa depan jika peristiwa masa lalu seperti itu justru terus dijadikan amunisi atau dagangan untuk melegitimasi kebencian?
Belenggu
Memprihatinkan, saat komunis menjadi "fosil" di berbagai belahan bumi, di sini justru terus menjadi "hantu". Akibatnya, jutaan orang yang merasa menjadi korban peristiwa 1965 hingga kini terus dipenuhi rasa benci kepada pihak lain yang dianggap sebagai pelaku, begitu juga sebaliknya. Setiap pihak justru terus berusaha mewariskan narasi kebencian kepada anak cucu dan generasi mendatang, sesuai dengan kebenaran subjektif masing-masing. Dominasi sejarah oleh Orba menyangkal adanya kebenaran pada pihak lain. "Sejarah yang kutulislah yang paling benar." Begitu kira-kira yang dikatakan oleh penulis sejarah di masa Orba.
Karena itu, langkah berbagai kalangan yang berusaha mendobrak dominasi narasi sejarah oleh Orba patut diapresiasi. Ada perubahan paradigma, sejarah harus mulai ditulis dari sudut pandang korban. Salah satu buku paling menonjol adalah Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Menghayati Pengalaman Korban 1965. Buku itu sangat monumental. Sebanyak 260 orang dari seluruh Indonesia bersaksi melalui metodologi sejarah lisan yang ketat. Paling tidak, dengan yang ditulis para korban tersebut, kini ada perspektif lain dalam memandang peristiwa 1965.
Penulis pernah meneliti serta bertemu dengan korban dan pelaku sejarah 1965 di Kediri pada 2000. Ada saksi sejarah yang ayahnya pernah dibuang di Pulau Buru. Menurut penuturan dia, semua teman ayahnya yang tidak dibuang telah dihabisi. Mayat mereka dibuang di Kali Brantas. Konon, saat melewati Kali Brantas pada 1965, selalu ada tontonan mayat mengapung. Mayat-mayat itu umumnya diikat dengan bambu supaya bisa tidak tenggelam. Ada mayat tanpa kepala, ada jasad dengan usus keluar, ada juga mayat yang terbelah dua.
Nah, ilustrasi itu membenarkan pendapat para sejarawan asing bahwa sejarah Nusantara sejak era Singasari sampai kini selalu diwarnai dengan pertumpahan darah rakyat yang tak berdosa. Bayangkan saja, dalam tragedi 1965 telah jatuh korban lebih dari setengah juta jiwa, bahkan ada yang menyebutkan lebih. Kebayakan disembelih seperti ayam atau kambing. Benar-benar mengerikan! Tak bisa dibayangkan, bangsa yang mengklaim lemah lembut ini bisa melakukan kekejaman di luar batas kemanusiaan.
Mendukung Islah
Syukur, akhir-akhir ini berbagai pihak yang orang tuanya terlibat dalam tragedi 1965 aktif dalam upaya islah atau rekonsiliasi. Di akar rumput juga layak dihargai upaya-upaya islah yang telah dilakukan oleh warga biasa agar dendam kesumat tidak dilestarikan sampai tujuh turunan. Memang, kalau kita mengaku sebagai bangsa beradab, islah adalah solusi yang lebih masuk akal daripada segala cara untuk melestarikan dendam sampai tujuh turunan.
Nah, perkembangan yang positif itu tentu perlu mendapatkan dukungan semua pihak. Sebab, kita punya tanggung jawab untuk mendukung terwujudnya cita-cita islah atau rekonsiliasi.
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, kita tidak layak jatuh menjadi bangsa yang suka mendendam. Budaya Jawa, misalnya, mewariskan ajaran luhur seperti yang terkandung dalam kitab Wanaparwa. Dalam kitab tersebut, di antaranya, berlangsung dialog Drupadi, istri Yudistira, dengan sang suami, setelah Pandawa kalah judi dengan Kurawa dan harus dibuang ke hutan selama 12 tahun. Merasa jengkel dengan kelicikan dan kecurangan para Kurawa, Drupadi memprovokasi Yudistira: "Tuanku seorang kesatria atau bukan? Apakah kesatria harus memaafkan musuh?"
Yudistira menjawab, "Kebencian adalah kesia-siaan? Apa jadinya kalau hinaan dibalas dengan hinaan dan kebencian dengan kebencian? Memaafkan adalah pengorbanan. Memaafkan adalah adat istiadat kita. Memaafkan adalah kebenaran dan penebusan dosa. Jangan membujukku untuk tidak memaafkan. Sebab, memaafkan adalah kebijakan orang arif dan wujud nyata kemenangan atas kebencian."
Mudah-mudahan kita bisa berguru kasih sayang dari sosok seperti Yudistira. Sehingga, negeri ini sungguh-sungguh menjadi bangsa besar di masa depan dan tidak terus terbelenggu oleh persoalan masa lalu seperti peristiwa 1965. Kalau terus menuruti sakit hati, persoalan memang hanya bakal melingkar-lingkar dalam dendam kesumat. Sementara itu, kalau kita berani memaafkan, masa depan yang terang benderang pasti lebih gampang diraih. (*)
*). Endang Suryadinata , penulis tinggal di Belanda
Jawa Pos, Rabu, 30 September 2009
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar