Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani

Oleh Muslimin Nasution, Ketua Presidium ICMI

Para pelaku ekonomi dalam masyarakat berbeda-beda keadaannya. Ada kelompok 'kuat', mereka yang menguasai akses kepada teknologi, permodalan, jaringan pasar, dan pembuat kebijakan. Amy Chua, pengarang buku terkenal World on Fire, menyebutnya market dominant. Yang termasuk kelompok ini jumlahnya hanya sedikit, tetapi sangat berkuasa. Market dominant akan menikmati kue ekonomi paling banyak dalam pasar bebas. Semakin bebas, semakin banyak yang mereka dapatkan. Sejarah menunjukkan, jika dibiarkan, mereka akan berubah menjadi tiran.


Dalam sektor pertanian global, keberadaan market dominant ini telah menimbulkan kekhawatiran. Pada 2005, FAO melaporkan bahwa nilai total bisnis komoditas pertanian dunia, khususnya komoditas yang bernilai tinggi dan produk-produk olahannya, semakin didominasi perusahaan-perusahaan transnasional. Misal, hampir 40% nilai total bisnis kopi dikuasai empat perusahaan, sedangkan 455 industri pengolahannya dikuasai hanya oleh tiga perusahaan. Enam industri cokelat terbesar menguasai 50% nilai total bisnis cokelat dunia. Hanya tiga perusahaan yang menguasai 80% pasar kedelai di Eropa dan tiga perusahaan menguasai 70% pasar di AS.

Di tingkat pengecer, dominasi supermarket telah meningkat amat pesat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di seluruh dunia, lima ritel terbesar mengendalikan 30% hingga 96% bisnis eceran produk pangan dan pertanian.

Market dominant saat ini mungkin lebih besar dan lebih berkuasa jika dibandingkan dengan pada 2005. Lalu bagaimana dengan market dominant di sektor pertanian di Indonesia? Keadaannya ternyata sejalan dengan temuan FAO. Nilai tambah bisnis perdagangan kedelai sebagian besar hanya dinikmati lima perusahaan. Harga ubi kayu dan tapioka sangat 'patuh' kepada instruksi sebuah perusahaan, padahal industri tapioka rakyat ratusan jumlahnya. Apalagi pasar terigu yang dimonopoli sebuah perusahaan sejak dahulu. Komoditas lain yang bernilai tinggi, situasinya kurang lebih sama.

Persoalan ini jika terus dibiarkan, tentu mengusik rasa keadilan masyarakat. Untuk mengatasinya, kita memerlukan 'kebijakan yang berpihak' kepada petani. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana yang disebut 'kebijakan yang berpihak' itu.

Di zaman Orde Baru pernah dikeluarkan kebijakan Bukti Serap Susu, yakni industri pengolahan susu diwajibkan membeli susu segar dari peternak dalam negeri dengan harga yang sangat menguntungkan peternak, yaitu dua kali lipat daripada harga sebelumnya. Pada awalnya industri menolak dengan berbagai alasan: susu dari peternak bau nangka karena sering diberi makan daun nangka, kandungan bakterinya banyak, harga terlalu tinggi sehingga pabrik akan bangkrut jika membeli susu dari peternak, dan berbagai alasan lainnya. Industri juga tidak mau menerima susu pada Minggu, padahal sapi memproduksi susu tidak mengenal hari sehingga jika industri tidak mau menerima, sebagian besar susu yang dihasilkan pada Minggu akan terbuang.

Namun demikian, pemerintah waktu itu tetap bergeming dengan kebijakannya yang propeternak. Jika ada industri menolak, industri itu tidak diberi izin untuk mengimpor produk tertentu yang menjadi bahan baku produknya. Kebijakan itu kemudian membuat usaha peternakan dalam negeri bangkit dan peternak menjadi lebih sejahtera. Di sisi lain, ternyata tidak ada industri pengolahan susu yang bangkrut akibat membeli susu dari peternak. Malah peternak dapat memperbaiki kualitas susu yang mereka produksi sehingga memenuhi standar industri.

Di negara lain, kebijakan yang berpihak kepada pertanian dan petani sangat lumrah. Presiden Nigeria mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan industri produsen terigu mencampur 10% terigu dengan tepung singkong. Nigeria adalah salah satu negara produsen utama singkong di Afrika. Adanya kebijakan itu otomatis menciptakan captive market sebesar 200 ribu ton tepung singkong per tahun untuk industri singkong dalam negeri yang banyak dimiliki para petani.

Pemerintah Malaysia tidak segan membebaskan Pajak Ekspor CPO ketika dirasa perlu, dan ketika Pajak Ekspor diberlakukan, 100% pungutan itu dikembalikan lagi ke industri dalam bentuk riset dan pengembangan (48%), marketing atau promosi (13%), penegakan hukum (12%), dan safety net fund (26%) yang digunakan untuk mengendalikan harga minyak goreng dalam negeri. Pemerintah Malaysia juga membuka akses kredit bagi petani dengan mereformasi aturan kredit sehingga sesuai dengan kondisi petani. Misalnya, ada yang disebut Must (modal usahawan tani), yang menyediakan kredit dengan ketentuan di antaranya: 1) pembiayaan untuk semua kegiatan pertanian mulai dari on-farm, processing hingga pemasaran; 2) mengusahakan kegiatan yang kurang dari dua tahun; 3) tidak diperlukan kolateral; 4) tidak ada biaya proses.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah bersedia mewujudkan berbagai kebijakan yang berpihak itu? Jika ya, PR yang perlu segera diselesaikan adalah merumuskan berbagai bentuk kebijakan yang berpihak itu, mulai dari reformasi agraria, credit reform, jaminan harga, jaminan pasar, teknologi, dan persoalan lainnya yang mendasar. []


Media Indonesia, Rabu, 14 Oktober 2009 00:01 WIB

0 tanggapan: