Buaya-Godzilla Memangsa KPK

Oleh: Rohman Budijanto

DI antara anak kandung reformasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk yang paling membanggakan. Berkat kinerjanya, citranya mengagumkan. Posisinya sebagai pemberi harapan pada rakyat melebihi citra anak kandung reformasi lain, seperti Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, apalagi parpol yang kini boleh berjumlah banyak itu.


Tidak mengherankan, kini banyak orang, termasuk rakyat kebanyakan, marah atas perlakuan polisi (yang mengaku buaya) kepada lembaga penyapu koruptor itu. Apalagi kejaksaan, yang terkesan bergairah saat KPK dikuyo-kuyo seperti sekarang ini, juga akan menjadi Godzilla bagi KPK. Godzilla, reptil raksasa rekaan sineas ini, dikenal oleh anak-anak kita karena perilakunya yang suka merusak, baik lewat terjangan maupun semburan apinya.

Orang KPK memang tidak boleh kebal hukum. KPK juga pernah mengusut dan menuntut penyidiknya sendiri yang menyimpang. Tapi, kita melihat sangkaan kepada dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, sangat terkesan dicari-cari. Ketika polisi dan jaksa gagal menangkap Djoko S. Tjandra alias Joker dan Anggoro Widjaja, malah KPK yang dipenjahatkan (dikriminalkan) dengan dipersoalkan kewenangannya mencekal. Alangkah berbahagianya dua koruptor itu sekarang.

Kasus pemenjahatan dua pimpinan KPK itu jelas ditanggapi berbeda dengan saat penangkapan Antasari Azhar, ketua KPK yang kini nonaktif itu. Antasari kejeblos kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen diduga karena ulahnya sendiri. Karena itu, ketika dia ditangkap, nyaris tidak terdengar pembelaan publik kepada dia. Yang muncul adalah seruan nyaring: Selamatkan KPK!

Kualitas manusia Antasari ternyata makin tidak berharga ketika dia mengeluarkan "testimoni" yang akhirnya memenjahatkan dua pimpinan KPK lain. Apa untung bagi Antasari dengan membuat kerepotan bagi lembaga yang pernah dipimpinnya ini? Jelas tidak ada. Toh, dia tetap akan diadili karena kasus pembunuhan. Terkesan dia hanya ingin rusak-rusakan.

Mengherankannya, kepolisian dengan senang hati memakan umpan Antasari itu. Berbagai kritik, bahwa mempersoalkan kewenangan semestinya tidak lewat prosedur kriminal, tidak digubris. Kejaksaan juga antusias mendampingi penyidikan itu. Kepolisian dan kejaksaan memang bisa saja menutup telinga terhadap kritik masyarakat karena lembaga ini memang tidak bisa dibubarkan, betapapun jengkelnya kita.

KPK beda. Kalau ada orang-orang yang berkuasa tidak suka terhadap sepak tendang KPK, bisa saja lembaga ini tamat. Kini gejalanya sudah sangat kasat mata. Selain kepungan kejaksaan dan kepolisian, Panja RUU Tipikor juga berencana menyunat kewenangan KPK menuntut dan menyadap serta menyerahkan komposisi hakim tipikor ke ketua pengadilan negeri.

Ini perjuangan ingat melawan lupa. Seakan-akan sudah dilupakan bahwa KPK dimunculkan karena buruknya integritas penuntutan dan integritas peradilan umum kita.

[]

Ke mana SBY ketika cicak mengagumkan akan dimangsa oleh buaya dan Godzilla? Presiden sudah menyatakan tidak akan mencampuri urusan itu. Seakan-akan logika tersebut benar. Tapi, bukankah ketika terjadi polemik tentang pemberantasan korupsi, SBY mengumpulkan ketua KPK, ketua MA, ketua MK, ketua BPK, Kejagung, Kapolri, dan ketua BPKP pada 13 Juli lalu? Atau penangkapan besannya yang mengubah mood pemberantasan korupsi itu? Apakah presiden sudah lebih "rileks" setelah menang pemilu? Ingatlah, pesona SBY saat kampanye lalu diperkuat janji melanjutkan pemberantasan korupsi.

Alangkah ironis, ketika Presiden SBY buka puasa pada Selasa (15 September) bersama pembesar lain di Mabes Polri, di gedung di dekatnya, gedung Bareskrim, dua pimpinan KPK tengah diperiksa dan menunggu penetapan status tersangka oleh Polri. Padahal, pimpinan KPK termasuk undangan VIP dalam buka puasa itu.

Rasanya, layak mempertanyakan reformasi kepolisian generasi sekarang. Banyak yang masih ingat, ketika Sutanto menjadi Kapolri, refleks untuk membenahi diri begitu kuat. Dalam kasus suap pengusutan korupsi BNI, Kabareskrim Komjen Suyitno Landung diusut, diadili, dan divonis 1,5 tahun penjara. Anak buahnya, Brigjen Samuel Ismoko, divonis 20 bulan. Para penyidik yang terlibat juga diberi hukuman disiplin.

Padahal, pengusutan kasus korupsi BNI Rp 1,3 triliun yang dilakukan Landung dkk menghasilkan vonis seumur hidup bagi terdakwanya, Adrian Waworuntu. Belum pernah ada vonis setinggi ini dalam pengadilan kasus korupsi.

Bandingkan dengan kasus Bank Century. Ketika pemerintah sangat direpotkan oleh Bank Century dengan bail out Rp 6,7 triliun, terdakwa penggarong bank itu, Robert Tantular, hanya divonis 4 tahun penjara. Bahkan, terdakwa lain, Lila Gondokusumo, hanya dituntut 3,5 tahun penjara!

Yang juga kentara berbeda: refleks Polri. Di zaman Sutanto, ketika ada indikasi suap dalam penanganan kasus BNI, Sutanto menindak siapa pun yang terlibat. Tak peduli jenderal bintang tiga dan bintang satu di Polri. Kini, ketika kasus Bank Century menyerempet Kabareskrim Susno Duadji, refleks Polri tidak sesigap dulu dalam membersihkan diri. Padahal, mestinya diusut dugaan "ada apa-apa" dalam upaya pencairan uang orang kaya Budi Sampoerna di Bank Century.

Kalau memang ada lembaga (diduga KPK) -seperti yang disindirkan Susno Duadji- menyadap dirinya, mestinya Kapolri malah mengajak kerja sama untuk mencari kebenaran atas kecurigaan itu. Tidak justru membiarkan Susno menganggap dirinya "buaya" yang melawan cicak. Pembuayaan itu jelas merugikan citra Polri. Sebab, mohon diingat, reptil ini identik dengan berbagai kepalsuan: air mata buaya, buaya darat... (*)

*). Rohman Budijanto, wartawan Jawa Pos.
Jawa Pos, Sabtu, 19 September 2009

0 tanggapan: