Menganyam Tali Rindu dari Jauh*


(Sekedar Komentar)

Oleh: Mashuri**


’’Berpuisilah agar kamu tidak gila!’’ Itu bukan kredo, manifesto atau sebuah pernyataan yang beraroma doktrin. Itu hanya imbauan sederhana. Di tengah derap kehidupan saat ini, di mana sisi manusia kerap terlindas, maka tetap waras adalah karunia nan bernas. Tentu waras di sini adalah waras yang bersifat mentalitet, dan bukan hanya waras lahiriah. Dengan kata lain, puisi dekat dengan terapi jiwa.



Saya salut dengan beberapa rekan BMI di Hong Kong yang menyempatkan diri berpuisi, meski kesibukan mereka menggunung. Meski hidup ibarat mendorong batu ke atas gunung, dan esok batu itu menggelinding lagi dan didorong lagi: yakni rutinitas yang menjemukan. Rutinitas kalau tidak dihayati memang akan menghilangkan sisi manusiawi. Bahkan, pada taraf tertentu sangat rentan pada kesadaran. Oleh karena itu, akan menjadi sesuatu yang berharga pada seseorang bila mampu berkelit dari rutinitas dan membangun sebuah dunia lain di alam pikiran dan perasaannya.

Ini kiranya yang ingin diperangi oleh saudari-saudari TKW yang penyair itu. Mereka pun mengangankan sebuah kebahagiaan dalam melakoni hidup, membangun sebuah rumah pulang di kalbu mereka sendiri untuk menawarkan kerinduan, mendirikan sebuah negeri cinta di hati mereka sebagai tempat ‘bercinta’ dengan Sang Terkasih, tak jarang juga membangun kalimah-kalimah suci agar hidup tak terkebiri dan menjauh dari Sang Maha Rahim. Mereka melakukannya meski siapa pun tahu bagaimana beban kerja yang disandang oleh mereka.

Kelima kawan BMI ini memiliki gaya yang berbeda-beda dalam mengungkapkan puisinya. Tema yang digarap pun beragam. Meski demikian, ada benang merah yang menghubungkan mereka, yakni perihal kerinduan dan ihwal pulang. Hal itu bisa dimaklumi karena bagaimana pun puisi adalah ungkapan terdalam dari batin manusia. Puisi adalah sebuah cara untuk mengenali keinginan dan hasrat terpendam dari seseorang. jika apa yang diangankan adalah masalah rindu pada yang terkasih, pada rumah, juga keinginan untuk ’bebas’ maka itu pun akan terjelma dalam puisi. Bila diibaratkan, berpuisi adalah mengenal hasrat dasar yang tersimpan di lubang hitam ketaksadaran, yang kerap dipangkas dan direpresi agar tidak mengganggu rutinitas sehari-hari.

Saya di sini hanya sebagai komentator pada puisi kawan-kawan BMI ini. Sekedar komentar. Saya berusaha menikmati puisi-puisi, dengan diselingi celometan. Seperti seorang penonton sepakbola. Masing-masing person menyimpan gelisah dan daya renungnya sendiri. Pun menyimpan gaya berpuisi masing-masing. Ada yang cukup mahir dalam menggunakan diksi, membangun metafora, tapi ada di antaranya yang terjebak dalam lubang klise. Namun soal ini bukanlah hal utama, yang terpenting adalah kemauan mereka untuk berekspresi dan menuangkan pikiran dan perasaannya dalam puisi. Sebab bagaimana pun dengan berpuisi/berkesenian, ada semacam keinginan untuk menghias perasaannya dan luapan jiwanya, agar tidak telanjang dan bisa menakutkan, bila diungkap dalam bahasa/gestur yang kelewat verbal. Mari kita tengok beberapa puisi mereka.

Puisi-puisi Tarini berbicara banyak hal. Mulai dari sesuatu yang serius tentang ungkapan pada Tuhan, Kartini, juga masalah yang berbau lelucon dan keseharian. Soal lelucon itu juga menarik, karena ada hasrat untuk menertawakan diri dan hidup. Dan, tertawa adalah obat mujarab agar tetap bisa melanjutkan hidup lebih enjoy. Tetapi ia tak bisa melupakan kerinduan hatinya pada orang yang dikasihi, baik buah hati, orang tua atau kekasih pujaan.

Bait puisinya berikut ini adalah bukti, bahwa kerinduan itu tetap bersarang di palung jiwanya, meski ia sudah terlelap, meski mata lahirnya tertidur, tapi mata batin kerinduannya masih terjaga, sebuah impian:

Ketika mataku tertidur
Hanya ada mimpi yang akan kurasa
Yang tak seorangpun kan peduli
Yang tak seorangpun kan mengerti

Ketika mataku tertidur
Hanya satu yang kudamba dalam doa
Temukan aku dengan buah hatiku
Temukan aku dengan orangtuaku

Puisi tersebut adalah ungkapan hati dan tak berbau humor. Sebenarnya, jika Tarini bisa mengasah kepekaan humornya, maka ia bisa menghasilkan puisi humor yang bagus. Membuat puisi humor itu sangat sulit, namun jika dilakukan dengan kesabaran dan memiliki sense humor hidup, maka akan bisa memunculkan puisi humor yang bernas. Puisi humor di sini bisa saja mengacu pada tradisi puisi mbeling dalam majalah Aktuil (puisi Remy Silado), atau puisi Joko Pinurbo.

Sedangkan puisi-puisi Tanti seperti cermin sang penyairnya: serius dalam hidupnya. Saya melihat ini bentuk penghayatan untuk mengenali dirinya kembali, agar ia bisa mencari hidup yang lebih bermakna. Ia berbicara tentang kesedihannya dan impian atau keinginannya. Perihal bunda, malaikat kecil, juga tentang pandangannya pada orang-orang yang malang. Memang ada nada skeptis dalam puisi-puisinya, tentang sepi dan kondisi stagnan.

Aku hanya ingin berjalan lintasi birunya awan
Buang sgala keinginan yang hanya terpendam
lepas angan dan penat yang slalu temani
Namun, aku tetap disini

Mungkin yang perlu dibangun adalah bagaimana membangun pralambang atau metafora dalam puisi. Juga mencipta suasana dalam puisi. Ungkapan perasaan memang tidak harus verbal. Bisa menggunakan simbol, lambang atau tanda. Klisenya: cinta dengan mawar, luka dengan darah, atau sebagainya-sebagainya. Jika dipercanggih pun lebih bagus dan berbinar. Kelebihan menggunakan bahasa prismatis adalah puisi memiliki potensi makna yang kaya dan lebih bisa menggambarkan ‘ruang dalam’ meski beda ruang dan waktu. Juga beda pengalaman. Meski begitu, puisi-puisi sepi Tanti telah membuat sebuah rumah dalam batinnya, yang selalu membuat dia bisa pulang, curhat dan meluapkan kepenatan diri.

Sementara itu, puisi-puisi Mega tampak lebih utuh dan lebih jadi sebagai puisi. Bangunan metafor, diksi, serta elemen penopang struktur puisinya sudah cukup baik. Bangunan puisinya bisa dikatakan sudah canggih. Ia berbicara banyak hal, dalam beberapa bentuk ungkapan, mulai dengan lirik, elegi, bahkan balada. Ia berbicara tentang dunianya, juga kepeduliannya pada sesama BMI. Jika ditingkatkan sedikit lagi, puisi-puisi Mega akan sangat menarik dan memiliki pertaruhan sastra yang menjanjikan. Di sisi lain, saya mencatat selalu saja ada kerinduan di sana. Rindu yang memang telah menjadi fitrah manusia. Ini kutipan puisinya dalam ‘Bulan Berpayung Awan’.

rindu kami menjelma bunga randu
putih diterbangkan angin
melayang-layang menjemput angan

Sementara itu, puisi-puisi Kristina lebih bernuansa liris. Ia berbicara tentang perasaan dirinya yang terdalam. Ia berusaha melukiskan suasana batinnya dengan lajur-lajur kesepian, kerinduan dan lain-lainnya. Yah, lagi-lagi kerinduan menjadi topik yang tak habis-habisnya, karena itu memang luapan hati mereka yang paling jujur dan murni.

Detik ini kerinduan menghantam jiwa
Semakin kuat mencengkeram sudut benak
Tak mampu, sungguh tak mampu
Menanti sapamu dihari kelabu

Andai kau ada disini temani perjalanan ini
Tak mungkin air mata kerinduan jadi penghias hari hari

Secara umum puisinya sudah tertata. Namun tak jarang bisa ditemui ungkapan-ungkapan verbal yang sering terjebak pada klise atau pengungkapan perasaan yang bisa dikatakan oleh banyak orang. Coba kalau Kristina mampu membuat kesepian, kerinduan dan cintanya itu dengan ungkapan yang khas Kristina, akan lebih menarik. Sebagaimana pedangdut Kristina yang selalu dianggap sebagai trade mark lirik: ‘jatung bangun aku mengejarmu’.

Puisi-puisi Adepunk mengeksplore tema cinta, baik itu cinta jingga maupun cinta pada orang tua. Cinta adalah tema yang tak pernah kedaluwarsa untuk digali dan dipasu ilhamnya. Sepertinya Adepunk memang seorang pemuja cinta, sehingga puisi-puisinya bertema cinta. Alangkah indahnya cinta itu, jika Adepunk lebih memoles puisinya dengan lebih ketat dan lebih memperhatikan setiap pilihan katanya. Perasaan indah jika disertai dengan pilihan kata yang indah akan menjadi mutu manikam lisan/tulisan berharga. Demikianlah, cinta juga menyimpan rindu dalam jejaring rasanya. Adepunk juga menangkapnya. Lihatlah puisi ini.

Walau aku jauh dinegeri seberang,
Kulantunkan lagu rinduuntukmu,
Selalu kudendangkan lagucinta,
Hanya untukmu...

Demikianlah, berpuisi/bersastra atau berkesenian adalah jalan tengah paling aman untuk mengungkapkan perasaan terdalam, karena bagaimanapun semua orang butuh saluran pelampiasan. Sebagai bentuk ungkapan hati terdalam, sebagai upaya untuk menyampaiakan pemikiran, simpati, bahkan juga kebencian. Di sisi lain, terlebih bersastra/berpuisi adalah jalan menuju kebenaran ---mencari wosing beras, di antara belantara kehidupan, karena sastra, menurut para ahli waskita sastra, adalah jalan kebenaran setelah agama dan filsafat.

Oleh karena itu, agar kita tidak gila maka mari berpuisi! Yeah, seperti slogan penyanyi dangdut: untuk melepas penat dan kesulitan hidup, mari kita berjoget! Tentu dengan berjoget kata-kata, dengan lekuk pinggul diksi dan senggol metafora yang aduhai!

* Tulisan pengantar buku 5 Kelopak Mata Bauhinia, disamping penganatar lain yang ditulis Saut Situmorang
**penulis puisi dan novel, pengampu blog: www.mashurii.blogspot.com

FOTO: diambil dari blog-e Kristina Dian Safitry

0 tanggapan: