BNP2TKI Lembaga yang Tak Bertaji

Oleh Muhammad Iqbal *

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki sistem penempatan dan perlindungan TKI. Setelah ada UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI -diundangkan semasa pemerintahan Presiden Megawati-, pemerintah mulai menjalankan amanat UU tersebut.



Salah satunya, membentuk Badan Nasional Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) langsung di bawah presiden untuk menjalankan regulasi penempatan serta perlindungan TKI secara terpadu.

Dilema

Dalam perjalanannya, BNP2TKI belum sesuai harapan. Meski menurut UU No 39/2004 BNP2TKI memiliki wewenang penuh dalam menjalankan regulasi penempatan dan perlindungan TKI, dalam praktiknya lembaga tersebut masih mandul. Belum punya taji. Padahal, itu merupakan model yang digunakan pemerintah Filipina dalam mengelola penempatan dan memberikan perlindungan kepada pekerjanya di luar negeri.

BNP2TKI merupakan gabungan berbagai unsur dalam satu badan -mulai Imigrasi, Depnaker, Depdagri, Depsos, hingga kepolisian- untuk memberikan pelayanan terpadu dan perlindungan menyeluruh kepada TKI. Kenyataannya, setelah dua tahun berjalan, badan yang memiliki akses kepada presiden itu masih berjalan tertatih-tatih.

Menurut saya, ada beberapa permasalahan yang menghambat BNP2TKI menjalankan kebijakannya. Pertama, anggaran terbatas. Karena pemerintah belum memberikan anggaran dalam porsi di APBN, mereka belum bisa memberikan pelayanan maksimal kepada TKI. Padahal, TKI merupakan salah satu penyumbang terbesar devisa negara. Remittance yang mereka kirimkan bisa menghidupi jutaan rakyat Indonesia di banyak pelosok tanah air.

Seharusnya TKI diperlakukan layaknya seorang investor yang selama ini mendapat tempat spesial di hati para pejabat. Pengangkutan ketika pulang ke kampung dan pembuatan dokumen keberangkatan yang seharusnya digratiskan pemerintah justru belum bisa diwujudkan.

Pemerintah juga harus menyediakan anggaran khusus untuk pemberdayaan TKI di luar negeri dengan memberikan program-program yang bisa menambah skill mereka secara gratis. Selama ini perwakilan RI di luar negeri jarang memberdayakan TKI dengan alasan terbatasnya anggaran. TKI memerlukan sebuah pengembangan diri dan tempat mencurahkan permasalahannya ketika libur.

Kedua, adanya tarik-menarik kepentingan. Selama ini penempatan TKI menjadi lahan basah bagi beberapa oknum pejabat, mulai jual beli job order, bisnis asuransi, bisnis pengangkutan, pelatihan, pungli pada surat rekomendasi, dan lain-lain. Karena itu, BNP2TKI seharusnya diberi wewenang penuh menjalankan regulasi penempatan serta perlindungan TKI. Yang terjadi, ada kesan kuat Depnakertrans tampaknya merasa tersaingi oleh kehadiran BNP2TKI.

Bahkan, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan TKI (Binapenta) masih dipertahankan, padahal seharusnya Ditjen Binapenta dibubarkan. Dilebur ke BNP2TKI, sehingga kebijakannya tentang permasalahan TKI bisa dijalankan satu pintu. Anggaran menjadi satu dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan TKI.

Hal yang sama terjadi pada tenaga kerja di kantor-kantor perwakilan RI di luar negeri. Karena menjadi pejabat Depnakertrans, mereka tetap berinduk ke Ditjen Binapenta. Alasannya klasik, anggaran mereka masih berada di Depnakertrans, bukan di BNP2TKI.

Orientasi atase tenaga kerja seperti itu justru mempersempit ruang gerak BNP2TKI yang seharusnya bisa berbuat banyak di luar negeri dalam menerapkan regulasi penempatan TKI.

Departemen terkait lainnya seperti Deplu dan Imigrasi masing-masing juga memiliki kebijakan berbeda dalam menangani TKI. Bahkan, kalau ditanya data TKI, BNP2TKI tidak memilikinya karena berada di departemen lain seperti Deplu dan Imigrasi.

Ketiga, SDM yang terbatas. BNP2TKI yang merupakan gabungan berbagai departemen dan posisi-posisi pejabat eselon I dan II kebanyakan dijabat orang-orang baru untuk menangani TKI. Akibatnya, banyak di antara mereka yang tidak kompeten menangani permasalahan TKI.

Banyak program yang masih belum menyentuh permasalahan dasar TKI. Kebanyakan program masih bersifat jaminan sosial dan administratif. Padahal, aspek perlindungan di luar negeri merupakan hal yang paling mendasar. Perlindungan bukan hanya asuransi. Namun, yang juga penting dan urgen adalah perlindungan keamanan dan keselamatan TKI. Bukan memperlakukan TKI sebagai objek.

Keempat, buruknya sistem. Selama ini pemerintah terlalu memberikan porsi besar kepada pihak swasta dalam penempatan TKI, sehingga penempatan TKI di luar negeri sering tidak terkontrol. Malahan ada yang menjurus ke sistem perbudakan. Pemotongan gaji TKI sampai enam bulan atau jerat utang, penipuan, pemalsuan dokumen oleh oknum PJTKI (pengerah jasa TKI), ancaman, dan intimidasi sering menimpa TKI.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah membatasi pihak swasta dalam menempatkan TKI. Proses pemberangkatan yang berbelit-belit dan memerlukan biaya besar membuat TKI mudah terjerat calo, bahkan bekerja secara ilegal menggunakan para tekong.

Sistem penempatan TKI harus dipermudah. Menggunakan satu pintu. Tes kesehatan, tes psikologi, dokumen keimigrasian, asuransi, dan biaya-biaya lain harus dipermurah. Sebab, semua itu menjadi beban TKI. Justru pemerintah seharusnya memberikan subsidi kepada TKI, sehingga mereka bisa menikmati hasil jerih payahnya secara utuh.

*. Muhammad Iqbal, peneliti masalah TKI dan migrasi internasional; kini kandidat doktor di Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur

Jawa Pos [Jum'at, 17 Oktober 2008]

0 tanggapan: