Laskar Pelangi Jiwa tentang Wajah Indonesia

* Tomy Su

Sama seperti novelnya, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang laku setengah juta eksemplar itu, ketika difilmkan -digarap Riri Riza dan Mira Lesmana- juga sama larisnya. (Jati Diri Jawa Pos 15 Oktober 2008).



Bahkan, para tokoh negeri ini ikut nonton dan memberikan apresiasi. Mantan aktivis mahasiswa ITB dan Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan M. Fadjroel Rachman memuji Riri, Mira, dan Andrea Hirata dengan memberi sebutan kepada mereka sebagai seniman dan filsuf politik.

Menurut Fadjroel, apa yang disuguhkan ini suatu kritik politik yang cukup berhasil terhadap kehidupan bangsa ini. Sultan Hamengku Buwono X tertarik kepada relasi antara Ikal (tokoh utama) dan A Ling. Namun, Sultan juga melihat Laskar Pelangi sebagai pelajaran tentang panggilan hidup masyarakat plural (Kompas, 8 Oktober 2008).

Tanggapan Sultan itu boleh jadi benar. Sebab, SD (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Gantong, Belitung, yang menjadi seting cerita, ternyata tidak terjebak dalam primordialisme. Sebab, SD itu mau menerima A Kiong, salah satu siswa yang menjadi salah satu tokoh dari 10 Laskar Pelangi. Padahal, jelas dia itu beretnis Tionghoa dan berlatar belakang Konghucu.

Saudara sepupu A Kiong, yakni A Ling, anak pemilik Toko Sinar Harapan yang membuat Ikal (Andrea Hirata) jatuh cinta, juga membuat Laskar Pelangi mengajarkan bahwa perbedaan itu indah dan layak disyukuri.

Saat merenungkan interaksi antara A Kiong atau A Ling dengan Ikal dkk, misalnya, saya jadi teringat sejarah harmonis ketika antara Tionghoa dan Islam tidak dibenturkan, seperti di era awal penyebaran Islam di tanah air.

Kita tentu ingat bagaimana peran Wali Songo atau Raden Patah, raja Islam pertama di Jawa yang beretnis Tionghoa, di tengah rakyatnya yang tentu banyak beretnis Jawa atau Madura.

Saat melihat sepak terjang A Kiong saya juga tiba-tiba ingat pada era 1930-an ketika banyak bermunculan gerakan muslim Tionghoa di luar Jawa. Di Sulawesi, Ong Kie Ho (kelahiran Toli-toli) mendirikan Partai Islam. Penguasa Belanda takut aktivitasnya dan dia dibuang ke Jawa pada 1932.

Di Medan pada 1936, seorang Tionghoa totok, Yap A Siong dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Islam Tionghoa. Pada 1933 di Makassar berdirilah Partai Tionghoa Islam Indonesia (PITII). Setahun kemudian PITII mendirikan suatu "Sekolah Melayu" dan pada 1936 menerbitkan media bernama Wasilah (Makalah 'Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern' oleh sejarawan peranakan Didi Kwartanada).

[]

Tidak heran bila dikatakan bahwa Laskar Pelangi sebagai panggilan jiwa untuk mengapresiasi dan mensyukuri realita Indonesia yang serbamajemuk. Kemajemukan yang heterogen, alami, dan "given" sifatnya merupakan kenyataan Indonesia yang tak mungkin bisa dihindari. Artinya, kita tidak mungkin meminta kepada Sang Pencipta agar kenyataan Indonesia itu homogen atau monokultur, seperti hanya berisi orang sesuku atau seagama. Keberagaman itu merupakan keniscayaan yang harus diterima dan disyukuri sebagaimana para tokoh dalam Laskar Pelangi saling menerima diri mereka.

Karena itu, fakta keberagaman atau pluralitas menuntut respons atau sikap yang tepat pula. Profesor Diana Eck, pemimpin program "Pluralism Project" dari Harvard Divinity School AS mengungkapkan, sikap yang tepat terhadap fakta pluralitasi ialah mengembangkan pemahaman pluralisme, yakni upaya bersama lintas etnis, agama, dan budaya untuk mengupayakan terciptanya common society.

Jujur harus diakui, Andrea berhasil menciptakan common society itu dalam novelnya. Indahnya keragaman dalam common society itu digambarkan dengan sangat natural dalam film Laskar Pelangi.

[]

Oleh sebab itu, Andrea Hirata layak dijuluki sebagai mahaguru multikulturalisme, meski kisahnya berangkat dari lokalitas Belitung. Memang, secara implisit Laskar Pelangi mau menekankan pentingnya pendidikan multikulturalisme ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, adat, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa.

Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme harus menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial sehingga bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat untuk kemudian menjamin kelancaran tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Laskar Pelangi adalah tantangan multikulturalisme bagi setiap pembaca atau penontonnya untuk bisa menjadi pribadi yang bisa menerima dan menghargai perbedaan. Orang lain sungguh dihargai martabat dan eksistensinya. Keunikan personalitasnya, ekspresi keyakinan beragama, serta asal-asul etnisnya harus dihormati.

Tak ada satu pembenaran apa pun untuk segala macam anarki atas kelompok lain. Sudah bukan zamannya lagi menerapkan paradigma sesat atau keliru berdasar ukuran agama atau kebenaran kita sendiri.

Juga segala bentuk diskriminasi, baik oleh negara maupun perseorangan atas kelompok suku atau etnis tertentu di tanah air, baik Tionghoa atau bukan juga harus segera diakhiri.

Pesan yang diusung Laskar Pelangi sungguh mencerahkan dan menantang segala pandangan dangkal, entah fundamentalisme agama atau superioritas ras yang hanya menyekat-nyekat manusia dalam bilik sempit.

* Tomy Su , koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia.

Jawa Pos [Senin, 20 Oktober 2008]

0 tanggapan: