One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
SURAT UNTUK KANG NARTO
--illustrasi: RIHAD HUMALA
Cerpen: Hartanti Darsono
Wanita, apakah memang dikodratkan sebagai kaum lemah ya? Penindasan hak asasi di mana-mana, menjadi korban kekerasan dalam rumah sudah biasa, menjadi korban poligami juga bukan hal yang mengejutkan lagi.
’’Lebih baik kamu yang bekerja ke Hong Kong, lagian gaji ke sana kan besar,’’ kang Narto membujuk istrinya yang enggan bekerja ke luar negri untuk jadi pembantu rumah tangga. Bukanya apa-apa pula, Narti memang tak ingin meninggalkan anak semata wayangnya yang masih berusia 2 tahun itu. Usia anak yang seharusnya dia jaga dengan segala kasih sayangnya. Sejak percakapan malam itu Narti mendiamkan suaminya, walaupun dia merasa bersalah juga berbuat seperti itu.
’’Kang, kamu ini ya aneh, masak istri sendiri disuruh kerja jadi pembantu rumah tangga. Apalagi di negri orang, sama saja kamu memisahkan dia dari anakmu ta?’’ Kang Parman yang adik kandung Kang Narto datang berkunjung sore itu ke rumah Narti.
’’Iya juga, tapi kan kamu tahu, saat ini hanya perempuan saja yang bisa lebih cepat mendapatkan pekerjaan daripada laki-lakinya?’’ Kang Narto masih tetap pada pendirianya.
’’Tapi Kang, kan memang kewajiban kita untuk menghidupi anak-istri, kenapa kita harus menyuruh istri kita bekerja berat?’’ Kang Parman yang berprofesi sebagai penjual bakso itu mengingatkan kakak kandungnya.
Waktu berlalu sejak percakapn kakak beradik di beranda rumah Narti, dan ternyata mungkin semua perkataan adiknya bisa membuka mata hatinya. Nyatanya malam itu ketika rembulan telah muncul bulat-bulat di langit, Kang Narto mendekati istrinya yang masih dengan sikap dinginya di tepian ranjang.
’’Dik, maafkan kakang ya, kalau pernah menyuruhmu pergi keluar negri, sebaiknya kita membuka usaha kecil-kecilan saja di kampung, tidak usah memikirkan yang aneh-aneh. Rezeki juga tidak akan ke mana kan? Kang Narto menatap wajah ayu istrinya dengan senyum. Narti pun membalas senyum suaminya, namun hanya Narti sendiri yang tahu tentang arti senyum itu.
’’Iya Kang, aku tahu kok,’’ akhirnya Kakang akan bicara seperti ini, maafkan Narti juga ya? Narti menyandarkan kepalanya di dada suaminya. Malam beranjak menuju pagi, dan entah apa yang membuat mata Kang Narto terlelap dalam tidur yang begitu pulas, setelah salat subuh dia kembali tertidur, dan tanpa dia sadari diam-diam Narti menulis sepucuk surat untuk suaminya.
Kagem suamiku Kang Narto
Kang, saya minta maaf jika harus mneinggalkan kakang dan anak kita. Mohon dijaga baik-baik buah hati kita, saya pergi, tidak perlu dicari, yakinlah suatu hari saya akan kembali untuk Kakang dan anak kita, Salam.
Hong Kong, Maret 2007
--Hartanti Darsono, kini sudah pulang dan menetap di Ponorogo
0 tanggapan:
Posting Komentar