Pentingnya Pendidikan bagi BMI


Oleh Jaladara

Mawar dan Melati adalah dua ga¬dis desa yang sama-sama be¬ker¬ja di luar negeri. Kedua¬nya sa¬ma-sama tamatan SMP. Kemis¬kin¬an dan ketiadaan pekerjaan di negeri sendiri membuat mereka ne¬kad merantau ke tanah se¬be¬rang untuk bekerja, meskipun ha¬nya sebagai pembantu rumah tang-ga. Bekerja sebagai pem¬ban¬tu di luar negeri dirasa lebih ter¬hormat daripada menganggur dan menjadi beban keluarga. Sing¬kat cerita, setelah berta¬hun-tahun bekerja di luar negeri, ke¬duanya berhasil mengumpulkan banyak uang.


Secara rutin Mawar mengi¬rim¬kan uang hasil jerih payahnya pa¬da keluarganya dan seba¬gian di¬tabung untuk masa depannya sen¬diri. Setiap hari ia bekerja mem¬banting tulang mengumpul¬kan uang demi keluarga dan ma¬sa depannya. Ia bangga. Mes¬ki¬pun hanya lulusan SMP, ia bisa be¬kerja dengan menda¬patkan ga¬ji yang relatif lebih besar da¬ri¬pada gaji jika ia bekerja di dalam ne¬geri. Sedangkan Melati, di sam¬ping secara rutin ia mengi¬rimkan sebagian gajinya kepada ke¬luarganya, seba¬gian lagi ia gu¬nakan untuk melanjutkan pen¬didikannya lewat kursus dan pen¬didikan for¬mal (kejar paket C untuk mendapatkan ijazah setara SMA) yang ia lanjutkan dengan me¬ngikuti pendidikan diploma di sela waktu libur kerjanya. Ia tidak puas hanya memiliki ijazah SMP. Kesempatan bekerja di luar ne¬ge¬ri seka¬ligus ia gunakan untuk me¬nuntut ilmu lebih tinggi. Ia ti¬dak ingin selamanya menjadi pem¬bantu rumah tangga. Ia me¬na¬bung sebagian gajinya dalam bentuk tabungan ilmu.

Mari kita bayangkan bagai¬ma¬na masa depan Mawar dan Me¬la¬ti setelah sepuluh tahun be-kerja di luar negeri dan pulang ke kampung halamannya. Ke¬dua¬nya akan pulang dengan ke¬ber-hasilan mengumpulkan uang un¬tuk keluarga dan masa depan me¬reka, serta pengalaman hidup be-kerja di luar negeri. Namun, ada satu nilai lebih dimiliki Me¬la¬ti. Selain menabung dalam ben¬tuk uang, ia juga menabung da¬lam bentuk ilmu yang kelak akan sangat bermanfaat bagi ke¬hi-dupannya setelah tidak lagi be¬kerja sebagai pembantu di luar ne¬geri. Dengan pendidikan yang ia tekuni selama di perantauan, ia memiliki bekal yang cukup un¬tuk mendapat¬kan pekerjaan yang lebih baik daripada pe¬ker¬jaan sebelumnya. Kesempatan un¬tuk dapat bersaing dalam men¬dapatkan pekerjaan yang le¬bih baik, lebih besar daripada ke¬sem¬patan yang dimiliki oleh Mawar.

Kemiskinan dan ketiadaan la¬pangan pekerjaan di dalam ne¬ge¬ri sering menjadi pemicu utama se¬seorang memutuskan untuk be¬kerja di luar negeri. Selain itu, ke¬terbatasan serta rendahnya ting-kat pendidikan yang me¬nye¬babkan seseorang tidak mampu ber¬saing untuk mendapatkan pe-kerjaan yang ada, menjadikan se¬seorang lebih memilih untuk be¬kerja di luar negeri sebagai bu¬ruh migran dengan segala ri¬si¬ko¬nya. Ditambah lagi, adanya iming-iming baik dari seseorang yang pernah bekerja di luar ne¬ge¬ri dan pulang dengan se¬gu¬dang keberhasilan, maupun dari pi¬hak sponsor. Itu semakin mem¬be¬rikan semangat untuk me¬ning¬galkan kampung halaman de¬mi perbaikan ekonomi.

Buruh migran, terutama yang be¬¬kerja sebagai pembantu rumah tangga, sering diidentikkan de¬ngan pekerja tak berpendidi¬kan. Hal ini wajar, karena untuk be¬ker¬ja sebagai pembantu di luar ne¬geri tidak disyaratkan latar be¬la¬kang pendidikan formal yang ting¬gi. Syarat keahlian pun se¬olah dinomorduakan demi me¬menuhi tuntutan permintaan bu¬ruh migran yang sangat tinggi, ter¬utama di kawasan Asia Teng¬gara dan negara-negara Timur Te¬ngah.

Seperti data yang diperoleh da¬ri Kon¬sulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, jum¬lah buruh migran per Agustus 2009 di negara tersebut men¬ca¬pai 131.181 orang. Secara umum, un¬dang-undang kete¬na¬ga¬ker¬ja¬an di Hong Kong lebih ber¬sa¬ha¬bat kepada BMI daripada ne¬ga¬ra-negara lain, meskipun tidak bi¬sa dipungkiri bahwa pe¬lang¬gar¬an, peng¬aniayaan, dan kasus-ka¬sus ketidakadi¬lan lain masih ke¬rap terjadi. Kebijakan pe¬me¬rin¬tah Hong Kong yang mem¬be¬ri¬kan hak libur di akhir pekan serta tang¬gal-tanggal merah kepada se¬mua BMI, selayaknya di¬gu¬na¬kan dengan sebaik-baiknya. Wak¬tu luang ini akan lebih ber¬man¬faat jika digunakan oleh para bu¬ruh migran untuk menambah il¬mu dengan mengikuti kursus-kur¬sus atau pendidikan di lem¬ba¬ga-lembaga pendidikan yang ba¬nyak terdapat di Hongkong.

Memang, seperti kata Evelyn Un¬derhill, sesuatu yang belum di¬kerjakan, seringkali tampak mus¬tahil; kita baru yakin kalau ki¬ta telah berhasil melakukannya de¬ngan baik.

Di samping itu, tidak mudah un¬tuk meluang¬kan waktu dan juga uang untuk melakukan usaha ter¬sebut. Namun, jika kita memiliki ke¬inginan yang kuat untuk me¬nim¬ba ilmu seba¬gai bekal masa de¬pan yang lebih baik, niscaya ki¬ta akan bisa. Kita harus pandai-pan¬dai me¬ngatur anggaran peng¬ha¬silan dan pendapa¬tan dan men¬coba menyisihkannya untuk mem¬biayai pendidikan yang akan ki¬ta ambil. Anggaplah kita tengah me¬nabung sebagian penghasilan ki¬ta dalam bentuk pendidikan, yang suatu saat bisa kita nikmati hasilnya.

Bung Karno pernah berkata bahwa apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan (perubahan), maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.

Maka kita tidak perlu merasa malu atau takut untuk menempuh pendidikan hanya karena bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Justru latar belakang ini harus kita jadikan sebagai pemicu untuk terus belajar dan belajar untuk meningkatkan kualitas diri agar lebih baik lagi. Karena dengan mengupayakan pendidikan, di samping membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan lebih, juga akan mening¬katkan harkat dan martabat kita sebagai manusia yang berpendidikan.

Pengetahuan ini juga akan menye¬lamatkan kita dari perilaku dan tindakan ketidakadilan yang terjadi di kalangan buruh migran. Dengan semakin menge¬tahui hak dan kewajiban sebagai buruh migran seperti yang telah diatur oleh undang-undang pemerintah, jika suatu ketika terjadi ketidakadilan atau pelang¬garan atas hak-hak buruh migrant, kita memiliki pengetahuan dan mengerti bagaimana caranya menuntut hak yang semestinya kita terima dengan jalur dan prosedur yang benar.

Sudah seharusnya buruh migran mulai memotivasi diri untuk meningkatkan jenjang pendidikan lebih tinggi daripada pendidikan yang dibawa ketika mulai menginjakkan kaki di luar negeri. Dengan demikian, akan semakin terbuka pula kesempatan untuk memperluas pilihan hidup saat kembali ke tanah air, sehingga akan dengan mudah menentukan karier, pilihan jenis pekerjaan, ataupun kese¬jah¬teraan untuk masa depan. Seperti yang dikatakan oleh William Feather bahwa cara un¬tuk menjadi di depan adalah memulai seka¬rang. Jika memulai sekarang, tahun depan kita akan tahu banyak hal yang sekarang tidak diketahui, dan kita tak akan mengetahui masa depan jika kita me¬nunggu-nunggu.

Meski agak terlambat, saya mengucap¬kan selamat tahun baru Muharam 1431 Hi¬jriyah, selamat Natal dan tahun 2010. Se¬moga di tahun-tahun yang akan datang kita lebih semangat memperbaiki diri dan memanfaatkan kesempatan yang ada demi masa depan yang lebih baik. Maka teguh¬kan niat dan bulatkan tekad serta mulailah da¬ri sekarang. Cayou taeka! (*)

Berita Indonesia, Edisi 102, Februari 2010

0 tanggapan: