BIG APPLE


Cerpen: HSA

Hari ini hari Minggu pekan ketiga bulan Maret 2005. Dan seperti Minggu-minggu sebelumnya, aku berjalan lenggang kangkung seperti sekretaris yang bangun kesiangan dan ditunggu bos yang akan meeting. Waduh, aku terlambat nih, pasti teman-teman sekampung sudah stand by di Victoria Park. Biasalah kalau Minggu begini, pasti aku ngumpul sama teman-teman sekadar ngobrol melepas rindu setelah disibukkan oleh pekerjaan selama satu minggu.


Kupercepat langkahku, karena aku sudah tak sabar untuk bertemu dengan mereka.

’’Shella...!’’ panggil seseorang dari belakang. Aku pun membalikkan badan, karena aku merasa dipanggil dan memang namaku Shella. Dan kami pun saling bertatap mata. ’’E...e.., Mbak Tari!’’ ucapku seraya melongo saja, seperti tak percaya.

Sudah hampir tiga tahun aku tak bertemu dengan Mbak Tari. Dulu selama di penampungan, waktu mau berangkat ke Hong Kong, kami teman senasib. Apa pun selalu dibagi berdua --kecuali pacar, hehe! Mbak Tari bahkan menganggapku seperti adiknya sendiri. Usia kami hanya terpaut empat tahun, tapi Mbak Tari sudah punya 2 anak, sedangkan aku masih single, karena aku baru lulus SLTA dan langsung daftar ke PJTKI.

Kami saling berpelukan. Yah, seperti tak percaya saja. Tuhan ternyata mempertemukan kembali aku dan Mbak Tari di Hong Kong. Ini pertemuan mengejutkan dan sangat membahagiakan. Kami lalu ngobrol seperti tiada habisnya, menceritakan pengalaman masing-masing.

Namun, selanjutnya aku lebih banyak menjadi pendengar setia dan hanya sesekali menimpalinya bila perlu. Dengan semangat membara, Mbak Tari menceritakan kehidupannya selama di Hong Kong.
Kalau kuperhatikan dandanannya, Mbak Tari pasti hidup mewah. Pakaian yang dikenakannya bermerk, mahal. Pakaian yang tak mungkin dapat kubeli. Soal pakaian, Mbak Tari malah sempat mengejekku. Sudah lama di Hong Kong, tapi cara berpakaianku, kata Mbak Tari, masih saja kuno. Dibilang begitu aku hanya tersenyum kecil. Yah, tujuanku ke Hong Kong memang cari uang untuk ditabung, bukan untuk berfoya-foya, batinku.

’’Shella...!’’ ucap Mbak Tari.

’’E.....e..anu nggak kok Mbak!’’ jawabku.

Aku berkata setengah tergagap. Aku memang sedang melamun tentang keadaan Mbak Tari. Mbak Tari sudah menjalani kehidupan yang glamour walau di Hong Kong ini hanya seorang pembantu rumah tangga. Bagaimana dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil di rumah? Batinku bertanya.

’’Kita jalan-jalan yuk!’’ ajak Mbak Tari.

’’Ok! Eit...!’’ jawabku. ’’Sebentar, ya, Mbak, tak telepon teman-temanku dulu, bilang kalau nanti sore saja aku menemui mereka.’’

’’Ok, silakan!’’
Di telepon, temanku ngedumel, tapi mereka mengizinkan aku pergi bersama Mbak Tari. Dengan catatan, nanti sore aku harus menemui mereka. Yah, hari ini aku jadi seperti orang penting saja, batinku.

’’Beres, Mbak,’’ kataku kepada Mbak Tari, usai menelepon teman-teman, ’’kita ke mana?’’

’’Kamu nurut saja sama aku,’’ kata Mbak Tari.

Aku pun mengikuti Mbak Tari. Sambil berjalan, sesekali kami tertawa bla....bla... kalau ingat waktu-waktu di PT dulu, mandi dengan seember air, kalau tidur dikeroyok nyamuk, apalagi bau WC-nya yang begitu khas: pesing!

Tanpa terasa, kami sampai di Daerah Wan Chai. Aku belum pernah ke tempat ini. Tapi, lain aku lain pula Mbak Tari. Sepertinya dia sudah paham betul daerah ini. Jam yang melingkar di tanganku menunjukkan pukul 2 siang.

’’Ayolah...!’’ ajak Mbak Tari sambil menggandeng tangnku.

Aku terkejut setengah mateng! Mbak Tari menarik tanganku menuju sebuah tempat yang di depannya ada tulisan besar Big Apple dan terdapat sebuah gambar buah apel yang besar sekali. Aku bingung karena tempat itu sangat gelap dan dari dalamnya terdengar hentakan-hentakan musik. Suara itu memekakkan gendang telingaku.

’’Tidak, Mbak!’’ rontaku. ’’Kita pulang saja!’’

Tapi cengkeraman tangan itu begitu kuat. Mbak Tari menarikku masuk ke tempat itu.

Sampai di dalam, aku terkejut bukan kepalang. Di situ banyak gadis belia dan kalau ditilik dari tampangnya, pasti mereka gadis-gadis Indonesia. Mereka berjogetria sambil minum bir. Ada yang berpasang-pasangan dengan bule, tomboi, dan banyak lagi. Sampai usia yang hampir 21 tahun ini, semua itu merupakan pemandangan yang asing bagiku karena mungkin aku kuper alias kurang pergaulan.

Aku berdiri mematung di pojokan dinding tembok. Dan… Mbak Tari ternyata sudah berpelukan mesra dengan seorang bule. Keduanya berpelukan sambil berjoget. Mataku jadi pedih karena kerlap-kerlip lampu yang sangat menyilaukan. Aku bingung tak tahu apa yang mesti kuperbuat. Mbak Tari menghampiriku bersama bulenya.

’’Shella... nih minum!’’ Mbak Tari menyodorkan sebotol bir.

’’Tidak, Mbak, terimakasih!’’ jawabku tegas. Daripada minum bir, lebih baik aku mati kehausan!

Hatiku benar-benar dibuat jengkel oleh Mbak Tari. Dia tak merasa berdosa mengajakku ke tempat menjijikkan ini. Perutku jadi mual melihat tingkah manusia-manusia ini. Diskotik yang biasanya hanya kulihat sekilas lewat sinetron di TV atau baca novel, tanpa sadar kini aku tengah berada di dalamnya. Ini sungguhan, aku tidak sedang bermimpi!

Pikiran dipenuhi banyak tanda tanya yang aku sendiri tak dapat menjawabnya ketika kudengar suara, ’’Buuug!’’ suara itu keras sekali. Seperti pohon pisang yang limbung ke tanah. Mataku jelalatan mencari sumber suara itu.

’’Astaga!’’ ucapku.

Tenyata suara itu berasal dari tubuh Mbak Tari. Mbak Tari limbung ke lantai. Tapi tak seorang pun dari mereka memedulikan Mbak Tari. Bule yang tadi bersamanya juga tidak. Bule itu sudah memeluk perempuan lain.

Dengan cepat kuangkat tubuh Mbak Tari dan kubawa ke pojok sofa. Aku bingung, tak mengerti apa yang harus kulakukan.

Di tengah kepanikan, ternyata masih ada seoarang gadis Indonesia yang berbaik hati. Dia bilang Mbak Tari mabuk. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia berusaha menyadarkan Mbak Tari. Sepertinya dia sudah berpengalaman sekali mengurusi orang mabuk. Buktinya, tak berapa lama Mbak Tari sudah kembali sadar dan aku hanya bisa melongo.

Setelah Mbak Tari sadar dari mabuknya, kuajak dia ke kamar mandi, kusuruh dia membasuh mukanya, terus aku ajak keluar dari tempat laknat itu. Berjalan beberapa saat, ada pohon yang rindang di pinggir jalan. Kuajak Mbak Tari istirahat sebentar di bawahnya. Di sana, beberapa lama kami diam membisu.

’’Shella, maafkan aku yang tak tahu diri ini,’’ ucap Mbak Tari lirih, membuka percakapan.

’’Tak apa, Mbak!’’ ucapku.

Dan kupeluk dia, aku ingin memberikan kedamaian hati dan menghiburnya. Dan tanpa kuminta, Mbak Tari menceritakan dari awal sampai akhir, kenapa dirinya sampai mengenal diskotik.

Mbak Tari bilang uang yang dikirimkan ke Indonesia selama bekerja di Hong Kong sekitar tiga tahun telah dihabiskan suaminya. Tidak hanya itu, suaminya juga tak mau mengurusi dua anaknya. Pekerjaannya tiap hari cuma minum minuman keras. Dan kabar burung terakhir yang diterima Mbak Tari, di desa suaminya bermain dengan perempuan. Mbak Tari sakit hati.

Karena itu Mbak Tari mengenal diskotik, jatuh dari pelukan lelaki satu ke pelukan lelaki lain. Dengan cara begitu Mbak Tari membalas perbuatan suaminya.

Tiap Minggu Mbak Tari datang ke Big Apple. Mbak Tari pun terbius oleh segala kenikmatan dunia fana yang hanya sementara. Big Apple menjadi tempat pelariannya bila hatinya kacau.

’’Dengan minum bir, semua permasalahan dapat dilupakan,’’ kata Mbak Tari dengan berlinangan airmata.

’’Sudahlah, Mbak, yang lalu biarlah berlalu!’’ ucapku. ’’Menurutku, Mbak sebaiknya pulang cuti dulu dan melihat permasalahan yang sesungguhnya. Mbak kan hanya dengar dari mulut orang lain tentang suami Mbak di Indonesia. Mungkin ada orang lain iri melihat keadaan Mbak sekarang.’’

Mbak Tari mengisak.

’’Big Apple bukan tempat yang benar untuk pelarian, Mbak. Malah dengan masuk ke situ masalah akan bertambah. Lupakanlah Big Apple, Mbak, karena di sana Mbak Tari hanya mendapat kebahagiaan semu. Ingatlah selalu pada Yang Kuasa, Mbak. Cepatlah bertobat selagi masih ada kesempatan, Mbak.’’

Mbak Tari mengangguk, kemudian ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Mbak Tari benar-benar kelihatan lelah. Mbak Tari akhirnya tertidur dan kubiarkan dia terlelap dalam mimpinya yang mungkin indah.

Dalam diam aku merenung. Seandainya manusia tidak mengenal tempat seperti Big Apple, mungkin akan lebih baik. Tapi, bukankah orang harus belajar dari pengalaman?

Pikiranku terus berkecamuk dengan Big Apple. Ya, Allah. Maafkan dosa-dosa hamba-Mu ini. Semoga aku tak sampai menginjak tempat itu lagi, tempat manusia suka mengumbar hawa nafsunya demi kebahagiaan sesaat.

Aku sedang termenung berdoa, ketika suara HP-ku mengejutkanku. Mbak Tari pun terbangun. Ternyata teman-temanku dengan setia telah menunggu di Victoria Park. Ah, masih ada sisa waktu sedikit, pikirku.

Aku segera mengantarkan Mbak Tari naik bus. Setelah itu aku menemui teman-teman. Aku mereka damprat. Aku memakluminya karena aku memang salah, tak menepati janjiku. Aku tak menceritakan kepada siapa pun tentang kejadian yang menimpaku di Big Apple tadi.

Sepertinya hanya mimpi. Biarlah kenangan tentang Big Apple itu menjadi hanya milikku sendiri.


Hong Kong, 7 Juli 2005
--hsa sudah pulang dan menetap di tanah air indonesia

0 tanggapan: