PETIR

Nyi Penengah Dewanti

Petir itu datang meremangkan roma, aku sendirian dalam gulita. Menerialaplah jiwaku yang kecil ini, mengambil air wudhu, sujud dalam lindungan-Mu Ya Ilahi Robi. Bumi dan langit menyusupkan tali getar. Engkaulah yang Mahabesar Ya Allah, tiada kekuatan yang lebih hebat selain kuasaMu. Lindungilah hamba dari marabahaya yang mengancam.

Hujan dan petir saling bersahutan di luar sana. Menyiram bumi, membelah kota. Semesta bersyukur menyambut rintikkanya, dan aku bertafakur meredam segala ketakutan. Jadikanlah hujan ini berkah Ya Allah, dan jauhkanlah kami dari wabah. Kilat cahaya memasuki jendela memecah sunyi, suaranya membuat detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Kokok ayam melangit bersahutan, membangunkan aku dari tidur semalam. Ternyata aku masih memakai mukena, dan merebahkan diri di atas sajadah. Ah… ketakutan yang berlebihan. Segera aku melepas mukena, dan mengambil air wudhu kembali, melaksanakan shalat subuh. Kemudian bergegas, membereskan buku dan kertas yang masih berserakan. Gara-gara mati lampu semalam, tugasku masih separuh kukerjakan. Semoga dosen pembimbingku tidak mempermasalahkannya aku harap. Aku berjalan keluar kamar, membuka pintu, masih sepi.

”Keyla, sini.” Nita memanggilku dari balik dapur. Aku berjalan menujunya.

”Ada apa Ta?” jawabku.

”Mau aku bikinin mie sekalian?” tanyanya halus, aku memincingkan mata.
”Tumben lo baik banget.” Aku curiga, pasti ada sesuatu yang ia inginkan, biasanya sih seperti itu, pengalamanku selama berteman dengannya.

”Tapi…” Nah, kan baru saja aku membatin.

”Temani aku tidur nanti malam ya, aku takut petir,” tiba-tiba ia mendekat.

”Simbol petir itu perwujudan setan. Ketika petir menggelegar, pasti ada setan di situ. Setan jatuh bagaikan kilat,” bisiknya lagi, bulu kudukku mulai berdiri.

”Key,” tangan Nita menarik bajuku cepat.

”Hmmm… wadha wapha….” mulutku tetap menikmati mie goreng buatan Nita.

”Aku seperti melihat sepasang mata, di balik sinar jendela,” refleks wajahku menoleh ke Nita.

”Ini sudah pagi, Ta. Jangan mengada-ada,” aku duduk merapat ke Nita.

”Serius,” ia mencoba meyakinkanku, dengan tatapannya. Aku beranjak dari kursi, berjalan mendekati jendela.

”Sssrtt…. ” korden jendela kubuka.

”Tuh liat, itu sinar matahari, Odong,” Aku memanggil Nita dengan: Odong, sesekali kalau diantara kami jadi nyebelin. Sebel sayang maksudnya, buat candaan.

”Alhamdulillah Ya Allah,” serunya girang, karena hari sudah menampakan terang.

”Udah ah, aku mandi duluan, ya. Giliran kamu yang cuci piringnya,” aku mengangguk.

Kos ini memang sepi, jauh dari pusat perkotaan, diapit, pemakaman di belakang, dan masjid di sebelahnya. Letaknya yang tidak terlalu ramai, dan murah, membuat kebanyakan mahasiswa seperti aku memilih tempat ini. Alasannya simpel, biar lebih konsen dalam belajar, tidak terlalu bising dengan deru motor dan kendaraan beroda empat.

[]

Lelaki yang duduk di makam.

Sore itu aku pulang kuliah, agak telat dari biasanya. Gara-gara tugas belum kelar. Pak Lucky memberiku jadwal bimbingan di akhir jam kelas sore. Alamat jalan menuju kostan sudah agak sepi, dan gelap. Hal yang paling menakutkan adalah aku harus melewati makam itu sendirian. Aku mencoba menelpon Nita untuk menemani berbincang sejenak melewati jalan. Apesnya Nita tidak mengangkat panggilanku. Jantungku hampir saja copot, di pojok pusara pemakaman ada bayangan hitam sedang menunduk takzim. Pekuburan memang rumah masa depan umat manusia, tapi kenapa aku selalu was-was, hanya melewati pelatarannya saja. Kuamati dengan seksama, jelas itu bukan setan. Perawakannya atletis , tapi kenapa ia sendirian ya, saudaranya yang lain apa tidak ikut mengantar . Sepertinya taburan bunga mawar itu masih baru menghiasi gundukan tanah, masih bagus, dan aku bergegas berjalan cepat meninggalkan kuburan.

Kurebahkan lelah di sofa ruang tamu kost. Tas kutaruh di lantai begitu saja. Vallent diam saja cuek menikmati lembaran majalah fashion. Menoleh sebentar saat aku tiba, dan kembali asyik melanjutkan memilah-milah baju keluaran terbaru, kudengar sayup-sayup tawa dari ruang tengah.

”Lent, biasanya anak-anak yang ngekos di sini? Yang pulang agak larut malam siapa?” tanyaku pada Vallent, memecah keheningan.

“Nia, pulangnya sekitar pukul 8 malam. Ada yang penting?”

”Oh nggak apa-apa, siapa tahu bisa bareng.”

[]

Cuaca semalam agak bersahabat, meski hujan tapi tidak ada gemuruh Guntur, dan kilatan cahaya langit. Aku tidak perlu menemani Nita sesuai janjiku, ia menginap di kostan temennya. Dia mengirimikan sms meminta maaf tidak sempat mengangkat telfon karena sedang di kamar mandi. Rasanya otakku mau pecah, digeber skripsi akhir-akhir ini, pindahan kos ternyata juga menguras waktu dan tenaga. Musim penghujan membuat baju-bajuku tidak kering.

Aku beranjak ke belakang memeriksa jemuran. Lumayan kering, tapi masih sedikit lembab. Mataku berhati-hati mengamati pekuburan, takut tiba-tiba muncul sesuatu yang tidak diinginkan. Benar saja, aku melihatnya lagi, lelaki berkaos hitam itu masih setia duduk di makam. Kebetulan ada semacam rumah kecil yang di bangun untuk, tempat berteduh bagi para penggali lubang makam, di situ ada keranda mayat, beberapa sapu dan sekop untuk membersihkan ataupun menggali kuburan, Apa mungkin dia penjaga makam ya.

[]

Hujan deras turun begitu saja saat aku turun dari angkot. Untung saja aku bawa payung. Bergegas kukibarkan payung hitam motif bunga milikku. Aku peka sekali terhadap warna hitam, entahlah aku dapat menangkap segera, segala hal yang berwarna hitam. Aku tak percaya apa yang kulihat sekarang, diantara hujan yang menderas dan ia masih duduk disamping makam. Antara naluri kemanusiaan, berperang melawan ketakutan aku mencoba memasuki gerbang pintu rumah masa depan, berjinjit menghindari genangan air, tak sengaja aku terlpeleset sebelum sampai temapt di mana lelaki itu berada. Aku mengibaskan dress ku yang sedikit terkena bercak lumpur. Kemudian aku mulai menatap kedepan menuju dia… dia, tidak ada. Mataku tidak mungkin katarak secepat ini, atau mungkin aku rabun tiba-tiba, aku melepas kaca mataku yang berembun terkena tetesan hujan. Memakainya kembali, melihat situasi, dan nihil.

Aku hampir pingsan, di kagetkan Pak Rahman. Dia tersenyum menatapku, tatapannya seakan mengerti kalau aku sedang benar-benar ketakutan.

”Mbak Keyla, baik-baik saja?” tatapan matanya menangkap sinyal kekhawatiran.

“Pak, tadi saya melihat ada lelaki duduk di sebelah makam itu kehujanan. Saya ingin membantunya meminjamkan payung saya untuk berteduh. Saya tidak sengaja jatuh, dan pria itu raib.” Pelan-pelan suaraku bergetar menuturkan.
”Mari saya antar ke luar pintu gerbang Mbak Keyla.” Aku tak mengerti, pertanyaanku tidak langsung dijawab, Pak Rahman. Tapi aku menuruti kata-katanya untuk segera keluar dari kawasan yang menyeramkan buatku.

”Jangan diganggu ya Mbak Keyla, kalau melihat lagi. Bairkan saja.”

”Maksud Bapak?”

”Apapun yang mbak lihat di sekitar pekuburan ini, biarkanlah. Berusahalah untuk bersikap wajar.” Aku mengigil dan merinding, hujan masih sederas tadi.

”Mungkin mereka hanya ingin berkenalan saja dengan Mbak Keyla, dan sesekali menampakan diri. Tapi setelah itu mereka biasanya sudah tidak mengganggu lagi.” Dengan kata sehalus mungkin Pak Rahman menjelaskan. Aku tidak lagi bisa berfikir, segalanya membayang kembali.

Tentang hujan di malam itu, petir, sepasang mata di balik sinar jendela, dan lelaki yang duduk di makam. Dia adalah salah satu warga yang telah dijemput Sang Mahakuasa, ketika selesai melaksanakan shalat subuh sepulang dari masjid. Tidak sengaja ada pohon yang rebah, tumbang jatuh ke tanah menghantam tubuhnya, di jalan depan pekuburan, yang letaknya tidak jauh dari masjid. Setiap yang bernyawa tetap akan mati, begitulah juga manusia yang diciptakan dari tanah.

”Dari bumilah Kami ciptakan kamu, dan ke dalamnya Kami akan menggembalikan kamu dan daripadanya pula Kami akan mengeluarkan kamu sekali lagi.”*

0 tanggapan: