E N O K

Retnayu Ayu


’’You are the love of my life,
i knew it right from the start,
the moment i looked at you,
you found a place in my heart...’’


MP-3-ku terus mendayu-ndayu, meluruh-larutkan hatiku dalam sendu yang suntuk. Aku mendesah, lalu kutarik nafas beratku dalam-dalam, iringi resahku, mengenang kembali kisah beberapa tahun lalu.

’’Kak...’’ sapa manjanya menggelitik telingaku.

’’Hai...’’ balasku. Aku masih jalan pelan keluar dari toko itu. Ah, ia begitumemesonaku.

Enok. Nama sapaan yang sangat kusuka itu nyaris melupakan aku dari rangkaian huruf yang cukup panjang yang membentuk nama lengkapnya.

Aku telah melewati 36 musim di negeri ini, yang semula terasa aneh, dan makin lama makin aneh, yang anehnya: seiring dengan meningkatnya keanehannya meningkat pula ’oke’-nya.

Setiap hari aku mesti mondar-mandir menjalankan pekerjaanku. Berangkat pagi hari lalu pulang kembali ke apartementku menggiring senja. Ah, hidupku selalu saja begitu. Selalu di dalam irama yang tidak menentu. Kadang aku merasa sebegitu jemu. Terlebih, manakala rasa sepi menggerus lubuk hati.

’’Enoooook.......!’’ pekikku, ketika mendapati Enok di suatu sore yang indah setelah sekian lama ia menghilang sejak pertemuan kilat yang sangat indah itu. ’’Wah, Nok! Dari mana saja kamu, kok baru muncul?’’

’’Iya, Kak, aku baru saja ambil holiday!!’’ senyum manis membumbui kalimatnya.

’’Holiday ke mana Nok?’’

’’Ya, biasa Kak, ke Kota Buaya.’’

’’Apa kamu berasal dari Kota Buaya Nok?’’

’’Iya. Kalau Kakak dari mana?’’

’’Kota Apel.’’

’’Oooo....’’

’’Iya, Nok! Dingin...dingin empuk!’’

’’Ah, Kakak!’’

’’Ah!’’

’’AAAhhhh....!!’’

’’Oh...’’

’’Ehm....’’

’’Hahahahaha.......!!!’’

Bumi pun serasa bergetar saat tawa kami meledak bersama. Untung saja kepalaku tak meledak pula karena angan-angan yang menggelembung nyaris tak terkendali: mengangankan kedekatan yang sedemikian dekat dengan Enok! Tapi, apakah ini bukan pungguk merindukan bulan?
’’Kak...?’’
’’Oh, ya?’’
’’Kakak kapan pulang?’’
’’Gak tahu ya Nok. Kenapa emang?’’

’’Nggak kena apa-apa, hehe.....!’’ cengengesnya sambil membalikkan badannya. Seseorang telah menariknya keluar dari toko itu. Seseorang yang ingin kumaki.

Baru dua kali pertemuan kami. Waktunya pun singkat-singkat. Enok boleh pergi, ditarik orang lain atau atas kemauannya sendiri. Tetapi, ia kini serasa telah memenuhi seluruh diriku, seluruh jiwaku. Aku selalu mengangankannya ketika jaga, dan selalu memimpikannya jika tidur. Tidak ada lagi ruang di diriku ini bagi yang lain selain Enok. Tetapi, apa ya yang dirasakan Enok sendiri? Terlalu jauh jarak mesti ditempuh. Terlalu dalam jurang...! Bagaimana aku mesti mengabarkan keadaanku ini kepada Enok? Dengan meneriakkannya, atau membisikkannya? Atau menyerahkan semuanya kepada angin yang mendesau? O....!
Aku tak siap ditolak. Rasanya jauh lebih indah menikmati ini semua di dalam mimpi, daripada harus menghadapi kenyataan jika penolakan itu terjadi.

Kubiarkan kegersangan jiwa ini senantiasa melanda, karena aku sadar bahwa aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Kadang kularikan hati, sesekali kuhibur diri, dan ada pula saatnya mencoba menepis habis semua hasrat yang semakin kuat menjerat. Ah, mengapa bisa jadi begini! Mengapa?

Bila saja aku dapat gadaikan jiwa? Tapi, kepada siapa....? Pertanyaan-pertanyaan hampa terus mengulur, sampai tibilah di hari Minggu yang cerah itu. Kupercepat langkah kakiku, dengan tergesa kusongsong sosok bayang: Enok! Oh, ia sedang menungguku!

’’Kak....!’’

’’Met pagi manisku.....!’’ begitulah godaku, selalu. Dengan santai kami berdua akhirnya melangkahkan kaki memasuki ruang besar perpustakaan pusat, kebanggaan kota ini. Rasanya aku telah sampai di ujung mimpi, dan mendapati kenyataan yang ternyata begitu indah: kami duduk berdampingan di depan komputer. Dan mengalirlah huruf-huruf membentuk sebuah puisi buat Enok:

dirimu yang selalu penuhi lamunanku
membuatku suntuk dibekuk rindu
mengristal segenap kekagumanku
apakah cinta apakah kasih apakah sayang sedia
tak henti mengalir dan bermuara di kedalaman
samodra: hatiku-hatimu

Lalu kutekan ’send’ dan dalam hitungan detik sampailah puisi itu di layar komputer Enok. Seperti yang aku duga, sebuah cubitan diiring kata, ’’Dasar!’’ mendarat di lenganku. []

0 tanggapan: