Autar Abdilah
Membaca Ngaji Kesenian di Surya (1/4), memberi kesan Dewan Kesenian (DK) seolah-olah menjadi alat politik dan (kekuasaan) birokrasi. Kedua, DK menjadi rebutan kalangan seniman. Ketiga, DK menjadi tumpuan aktivitas seni masyarakat. Kajian ini seperti mengulang kembali perdebatan tentang Dewan Kesenian Surabaya pada Agustus 2004.
Hingga kini, tidak ditemukan DK yang menjadi alat politik dan (kekuasaan) birokrasi. Yang terjadi adalah angan-angan seseorang untuk menjadikan DK sebagai alat untuk mendekatkan diri pada eksponen politik dan birokrasi. Melalui angan-angan itu, seseorang juga berharap mendapatkan kue politik yang dibayangkan akan turut serta jatuh kepadanya sebagai pengurus DK. Sedangkan masyarakat memiliki harapan, melalui DK mereka akan berkesempatan tumbuh lebih sehat dan tentunya juga tambahan rezeki.
Faktanya, sebagian besar DK hanya menjadi pelengkap kekuasaan birokrasi untuk menjaga performanya, agar disebut turut menjaga kelangsungan kesenian maupun kebudayaan. Bisa pula DK sebagai mata anggaran khusus bagi beberapa pejabat daerah yang ikut terlibat di dalamnya. Dengan alasan demikian, maka mereka ingin orang-orang atau seniman tertentu yang mereka kenal menjadi pengurus DK. Indikasi ini lebih kuat dibandingkan dengan seniman yang berebut SK (surat keputusan) pengukuhan DK. Jadi, logika yang dibangun dalam empat tulisan Ngaji Kesenian itu terbalik atau salah arah.
Kasus yang dialami seniman Jember adalah permainan dan ketidaktahuan birokrasi di Jember tentang DK. Saya pernah bersitegang dengan Samsul Hadi Siswoyo -yang pada waktu itu menobatkan dirinya sebagai ketua DK, ketika saya menjadi salah seorang tim sosialisasi DK se-Jawa Timur. Semula saya mengira Samsul hadir sebagai kepala daerah yang ingin mengetahui pembentukan DK. Samsul menyatakan bahwa dirinya dikehendaki seniman. Sementara, kebanyakan seniman, termasuk Gatot dan Faturrahman tidak dapat berbuat apa-apa. Samsul seharusnya berposisi sebagai penerima masukan dari seniman dan budayawan.
Sejarah Panjang
DK lahir melalui sejarah panjang dengan berbagai tafsir dan cara memperlakukannya. Setidaknya, terdapat tiga periode tafsir terhadap DK.
Pertama, periode awal berdirinya di Jakarta yang melibatkan (seperti yang disebutkan Bisri Effendy), Ali Sadikin, Salim Said, dan Goenawan Mohammad. Pada periode ini, DK menjadi salah satu benteng pertahanan pemerintah untuk menangkal kaum sosialis-komunis.
Lebih jauh dan lebih penting, DK menjadi pusat komunikasi antar seniman. Pusat komunikasi ini berkaitan dengan kepentingan pemerintah dan seniman. Selanjutnya, didirikan pula Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) sebagai wadah penampilan karya-karya seni para seniman.
Pada masa-masa sebelumnya (tahun 1960-an), lembaga pendidikan seni sudah terlebih dulu berdiri, terutama di Jogjakarta dan Surakarta berupa konservatori yang akhirnya berbentuk akademi. Sejak akhir 1980-an, lembaga seni ini berkembang menjadi Institut Seni, selanjutnya berkembang di Solo, Bandung, Denpasar, hingga Padang Panjang (Sumatera Barat), dan menjadi lembaga pendidikan seni negeri di bawah Depdiknas.
Hubungan antara seniman dan lembaga pendidikan seni ini berjalan sinergis. Artinya, para empu seni pada masa itu diberi kesempatan mengajar. Namun demikian, sebagian empu yang turut membidani kelahiran DK berubah menjadi pemberi legitimasi kesenimanan. Maka, jadilah PKJ-TIM dan Dewan Kesenian Jakarta tempat pembabtisan bagi para seniman. Hal ini kemudian berimbas pada seniman di luar Jakarta.
Periode kedua, memunculkan pemikiran moderat dari Umar Kayam. Dalam periode ini, DK berperan sebagai perantara yang bonafide (meminjam istilah Umar Kayam) untuk mempertemukan para maecenas kepada seniman dan seni. DK menjelaskan dan mengingatkan para maecenas dalam memandang kesenian di tengah cairnya proses migrasi-kebudayaan. Proses itu telah menumbuhkan embrio kapitalisasi dalam kesenian, sehingga proses ideologis bertarung ketat dengan proses sosial dan ekonomi (Umar Kayam: 1981).
Dalam dua periode ini (awal 1970-an hingga 80-an), pemerintah terlibat dalam pemberian SK pengangkatan pengurus DK. Hal ini dilakukan semata-mata guna melindungi kepentingan pemerintah. Dalam aspek seninya, pemerintah tidak ikut campur. Semuanya diserahkan pada seniman. Hubungan seniman dan pemerintah pun cukup harmonis karena banyak kepala daerah memiliki kepedulian. Kepedulian tersebut terutama dalam membendung arus modernisasi. Memasuki 1990-an, kondisi sosial politik mulai berubah. Demokratisasi semakin kuat dikumandangkan.
Pada periode 1990-an yang berujung pada reformasi 1998 cukup menentukan bagi DK. Periode tafsir ketiga ini diawali oleh kesediaan Rudini sebagai Mendagri yang mengeluarkan berbagai instruksi dan SK. Di antaranya disebutkan bahwa DK berperan sebagai pemikir dan konseptor kebijakan pemberdayaan pengembangan seni dan budaya.
DK juga dikukuhkan oleh kepala daerah melalui SK. Perlu diingat bahwa peran pemerintah hanya mengukuhkan dan membiayai pelaksanaan program DK melalui APBD. Bersamaan dengan itu, Salim Said menyosialisasikan berdirinya DK di tingkat provinsi. Salim Said menemui sejumlah gubernur. Kemudian lahirlah kepengurusan Dewan Kesenian Jawa Timur (1998), diikuti oleh sejumlah daerah.
Langkah pelaksanaan peran DK adalah melalui peningkatan aktivitas dan kualitas kesenian, peningkatan apresiasi seni masyarakat, peningkatan kesejahteraan seniman, peningkatan kesadaran terhadap pemberdayaan seni dan seniman menuju peningkatan produktivitas kinerja kesenian (SK Mendagri tentang Petunjuk Pelaksanaan Inmendagri 5 A/1993). Selanjutnya masing-masing daerah dipersilakan menafsirkan sesuai karakteristik daerah.
Dewan Kesenian dan Pemerintah
Keterlibatan pemerintah sempat memunculkan kekhawatiran terhadap independensi DK. Kekhawatiran ini bisa dipahami karena pembiayaan DK dilimpahkan kepada daerah yang disetujui oleh kepala daerah setempat. Di samping itu, DK bukan lembaga yang mengontrol atau mengawasi kebijakan pemerintah tentang kesenian dan kebudayaan, tetapi memberikan masukan pada pemerintah melalui kepala daerah setempat.
Jadi, kekisruhan -bila hendak disebutkan demikian- muncul karena ketidaktahuan seniman sekarang terhadap makna historis berdirinya DK di hampir seluruh daerah di Indonesia sehingga memunculkan berbagai interpretasi terhadap keberadaannya. SK kepala daerah bukan sebagai surat sakti tetapi sebagai kontrak kerja dalam memberikan masukan pada pemerintah melalui kepala daerah setempat, di antaranya tentang bagaimana membangun seni dan budaya ditumbuh-kembangkan berdasarkan karakteristik seni di daerah tersebut.
Memperkuat relasi DK dengan pemerintah, sekaligus mempertegas debirokratisasi DK hanya dapat dilakukan melalui dialog yang intensif. Pemda setempat tidak memperlakukan DK seperti mereka memperlakukan partai politik. DK merupakan mitra kerja pemerintah. Untuk itu, para senimannya juga tidak perlu berebut SK (Surat Keputusan pengukuhan DK).
Berkesenian tidak bergantung pada SK pemda. Yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana pemda memiliki komitmen terhadap pengembangan kesenian di daerah dengan atau tanpa DK. Bila tidak bersedia, maka hak seniman sebagai anggota masyarakat untuk memberikan pernyataan menarik dukungan politiknya pada kepala daerah tersebut.
Faturrahman misalnya, lebih baik menyatakan menarik dukungan politik terhadap bupati Jember, ketimbang terlibat dalam mempersekutukan DK dalam tarik-menarik politik dan kekuasaan birokrasi jika memang bupati Jember tidak kondusif bagi tatanan berkesenian dan berkebudayaan di Jember. Hal yang sama bisa dilakukan seluruh DK. Dengan demikian, DK kembali memasuki jalur sejarahnya.
Autar Abdilah
Sekjen Dewan Kesenian Surabaya 2004-2007
Tulisan ini diterbitkan atas kerjasama Harian Surya, Yayasan Desantara, dan Tantular Institute
Sumber: SURYA, Selasa, 24 November 2009
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar