Kesunyian Siter di Kaki Senja

Oleh: Teguh Budi Utomo

Baginya berkesenian bagai memintal helai kehidupan. Jika memanggul siter di tengah terik pun dia anggap garis takdir. Pasrah dalam kaffah Rukini menyusuri lorong waktu yang bernama kehidupan. “Saya ya begini ini, Mas,” demikian ungkap Rukini. Kalimat-kalimatnya tak panjang. Sakleg tanpa pemanis. Tanpa basa basi ketika mengungkapkan perjalanan melakoni seni siter. Pemain kecapi berusia 53 tahun yang sejak perawan keliling kampung mengamen.

Bermain siter telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Ibu dua putra ini. Apalagi seni tradisi yang biasanya menjadi pasangan dari gelaran pertunjukan Cokekan ini, telah menemani perjalanan hidupnya. Dari siteran pula ia merasakan hitam putihnya perjalanan.

Posturnya memang tak tinggi, namun istri Asmuji demikian kuat. Sekuat jemarinya ketika memetik dawai siter. Kuat dan keras suaranya, namun lembut terasa. Serenada yang dihasilkan menjadikan burung kutilang di hutan wisata Dander, Bojonegoro, enggan terbang.

“Menjadi pemain siter memang susah, jarang yang mau nglakoni” kata Rukini usai manggung dalam Kemah Budaya Jawa di tempat wisata Dander, Kabupaten Bojonegoro, siang di penghujung Oktober 2009.

Bisa jadi di wilayah Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, hanya seorang Rukini yang masih bertahan. Sulit menemukan generasi baru yang rela menggeluti siter. Terlebih sampai melakoni ngamen hingga njajah deso milangkori. Sebagaimana yang dilakoni seorang Rukini. Sebagai pemetik senar dan sindhen (vokal) perhelatan siter.

Terkadang Rukini tak sendiri ketika mengamen. Jika muncul di kantor-kantor pemerintah, hotel, perempatan jalan, Pasar Kebo Bojonegoro atau bahkan sampai di Pantai Boom Tuban bersama pemain kendang, gong bumbung, bukan lagi siteran tetapi Cokekan. Kalau sudah pentas Cokekan biasanya dia menyertakan seorang sindhen. Tentunya di samping dia sendiri sebagai vokalisnya.

Gending-gendingnya pun tak sebatas gending klasik, semacam, Asmorodono, Sinom Parijoto, atau Perkutut Manggung. Tapi juga gending kasaran, sebangsa, Ali-ali, Caping Gunung, Sri Huning bahkan Kembang Kemangi.

“Kalau cokekan, biasanya ditanggap orang sampai Rp 2 juta semalam,” ungkap Rukini menyoal honor yang dia terima ketika pentas Cokekan. Duit sebesar itu, dibagi berempat bersama dua penambuh gamelan dan seorang Sindhen. Mereka bukan satu grup, namun sesekali sepakat pentas bersama dalam gelaran tikar pandhan di sembarang tempat dan waktu berbeda.

Jika sepi tanggapan Cokekan, Rukini ngamen di jalanan. Bahkan sampai ke wilayah Solo, Yogjakarta, Surabaya hingga sampai merambah ke Jakarta.

“Teman saya banyak, makanya bisa ngamen sampai Jakarta.”

Ngamen dengan honor seiklasnya dari penikmatnya biasa ia lakoni hingga sebulan baru pulang. Ia terbiasa tidur di emperan toko dan lapak-lapak pasar yang ditinggal pedagang di malam hari. Dan terkadang jika mendapat rejeki besar juga tidur di losmen murah.

Pekerjaan ngamen, bagi warga Desa Kuncen, Kecamatan Padangan, Bojonegoro ini, bukanlah pekerjaan mudah. Ia musti memanggul sendiri siter. Perangkat musik tradisi yang biasa menjadi pelengkap pertunjukan gamelan Jawa. Kotak seukuran 50 Cm x 1 meter itu, telah menemani Rukini sejak lajang.

Panjang pula goresan hidup yang dijalani putri dari pasutri almarhum Saeran dan almarhumah Diyem asal Solo (Jawa Tengah), selama menjadi pengamen siter. Dia mengenal dunia siter bukan dari seorang guru. Buta huruf yang dialaminya menjadikan rasa dan daya serap suara di telinganya demikian kuat. Ia hanya mendengar dari lantunan siter yang dimainkan almarhum orangtuanya Saeran, untuk kemudian diterjemahkan dalam petikan jemari lentik gadis Rukini semenjak usianya 11 tahun.

“Saya belajar dari alam,” ujar perempuan yang selalu tersenyum sebelum berkata-kata ini. Suaranya renyah ketika tertawa. Halus tutur katanya. Khas seniman tradisional Jawa. Namun, begitu indah dalam nada tinggi ketika melantun.

Bagi seorang Rukini, bergulat dengan siter tak ubahnya memahami perjalanan hidup. Perjalanan nan panjang berkelok. Dari ngamen siter pula ia mengenal beragam sifat orang. Terkadang dilecehkan. Terkadang disanjung. Sering pula dianggap perempuan tak benar, karena dimana dia berpijak disitu pula merebahkan tubuh ringkihnya karena lelah.

Dia sadari tak memiliki tempat berteduh pasti ketika mengamen. Pasrah melakoni hidup berkesenian, tak membuat hatinya kelu. Baginya setiap makluk sudah memiliki takdir. Kalaupun takdir dia sebagai seniman, telah dia terima dengan ikhlas. Dan totalitas seorang Rukini melakoni profesi pengamen siter, telah menjadi khasanah tersendiri para pelaku seni tradisional di Bumi Angling Darmo dan sekitarnya.

Sekalipun begitu, perempuan berumur ini masih terlihat brigas. Nada bicaranya tegas. Setegas cengkok sindhen berpengalaman kala melantunkan gending. Rambutnya yang andan-andan disanggul jatuh ke belakang. Gurat di wajahnya yang sawo matang demikian tegas, menyimbulkan sikap yang kuat menjalani hidup berkesenian.

Baju kebaya merah jambu berornamen lobang, demikian pas memadu kain jarik parang. Sandalnya yang merah muda dan tas perempuan warna serupa, tergeletak di samping kanan dan kiri agak ke belakang siter. Perempuan seniman tradisi ini pun terlihat anggun di atas panggung. Panggung yang dikemas menyatu dengan alam.

Dan dawai asmara pun mengalir seiring bait demi bait gendhing. Dari bibir titis berginju Rukini. Sesekali tampak tersenyum ketika syair gendingnya disenggak para penonton. Ratusan pegiat budaya Jawa pun hanyut dalam ritme petikan siter. Naik turun mengombang-ambingkan emosi jiwa.

Manuk manyar ...
Cucuke dawa...
Entuk anyar ...
Sing tuwa disiya-siya ...


Penggalan bait tembang kasaran dari Gending Sambel Kemangi ini, yang bisa berarti burung manyar paruhnya panjang, dapat yang baru istri tua disia-siakan, begitu ngelangut dan memelas. Iramanya pelog pathet enam demikian kuat. Senggakan para pengunjung pun kian menghidupkan perhelatan. Dan Rukini pun demikian asyik mencandakan nasibnya melalui petikan dawai siternya. (*)

*Naskah ini termuat di rubrik Humaniora, Duta Masyarakat (www.dutamasyarakat.com) 1 November 2009.

0 tanggapan: