Kode Etik Koruptor

Oleh: Budi Darma

DULU ada kecenderungan, profesi dan pendidikan itu sejalan. Karena itu, seseorang bisa menjadi pengacara karena mendapatkan pendidikan hukum. Dengan demikian, jangan heran kalau dulu ada ungkapan ''by training and by profession'' karena pekerjaan seseorang tidak jauh amat dari pendidikannya.


Namun, karena perkembangan zaman, seorang dokter bisa menjadi politikus, seorang sarjana sastra bisa menjadi diplomat, dan seorang psikolog bisa menjadi pegawai bank yang tidak ada hubungannya dengan psikologi. Tapi, tentu saja, ''by training and by profession'' pada profesi-profesi tertentu tetap berlaku. Misalnya, pendidikan seorang dokter pasti juga ilmu kedokteran.

Profesi membawa konsekuensi. Yaitu, kode etik seperti kode etik dokter, kode etik wartawan, atau kode etik pengacara.

Karena zaman makin kompleks, jangan heran manakala makelar pun sekarang menjadi profesi seperti ''markus'' alias makelar kasus dalam proses pengadilan. Makelar kasus bisa merupakan profesi tunggal, bisa juga merupakan profesi sampingan. Karena itu, seseorang yang berprofesi pedagang bisa juga mempunyai profesi sampingan sebagai makelar kasus.

Banyak pejabat dan politisi yang juga memiliki profesi lain, yaitu menjadi koruptor. Karena itu, jangan heran, sekian banyak mantan bupati, anggota dewan, dan pejabat-pejabat penting lain ditendang ke bui karena sewaktu melaksanakan tugas-tugas resmi ternyata juga mempunyai profesi lain, yaitu koruptor.

Bukan hanya itu. Ada pejabat dan politikus-politikus aktif yang juga tertangkap basah waktu mencuri. Tidak bisa diragukan lagi, mereka juga punya profesi sampingan, yaitu koruptor.

Tentu, akan ada yang tidak setuju bila koruptor dianggap sebagai profesi karena, antara lain, secara resmi tidak ada pendidikan korupsi. Dengan demikian, tidak ada ungkapan ''he is by training a corruptor and by profession a corruptor''. Pendapat tidak setuju itu sebaiknya tidak perlu dipertimbangkan. Sebab, ''by practice corruption is anyhow a profession''. Koruptor bukan profesi itu das sollen, bukan das sein (kenyataannya koruptor adalah profesi sampingan).

Kendati koruptor hanya profesi sampingan dan harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seharusnya koruptor juga mempunyai kode etik dan menjunjung tinggi kode etik itu, yaitu:

a. Salah satu butir penting konsep filosofi Rene Girard adalah kambing hitam. Jadi, untuk jaga-jaga kalau ketahuan, siapkanlah kambing hitam lebih dulu. Jangan khawatir dosa. Sebab, sebelum mati, pasti koruptor sempat bertobat, sehingga tidak akan masuk neraka.

b. Beramallah sebanyak-banyaknya dari hasil korupsi untuk menutupi perbuatan korup dan untuk mendapat pahala. Sebab, diyakini, beramal pasti mendapat pahala.

c. Kalau merasa kuat, bersikaplah kurang ajar. Misalnya, di hadapan aparat merokok sambil pegang handphone dan kaki bersilang. Bahkan, kalau perlu suruhlah aparat untuk mengambilkan asbak, apalagi kalau sedang disorot TV. Jangan lupa, kalau perlu, gebrak-gebraklah meja. Sangkallah semua tuduhan dengan mempergunakan nama Tuhan Yang Mahaesa.

d. Menangislah untuk meyakinkan bahwa Tuhan Yang Mahaesa bersama koruptor karena koruptor telah mempergunakan nama Tuhan Yang Mahaesa. Inilah yang dalam kamus kepura-puraan dinamakan ''air mata buaya''.

f. Kepura-puraan sangat penting. Karena itu, pura-puralah lupa. Sebab, lupa adalah sifat kodrati manusia. Tapi, jangan pura-pura gila karena harkat koruptor akan jatuh tanpa harga.

g. Kenakanlah pakaian dengan simbol-simbol agama. Sebab, manusia memang mudah terkecoh dengan simbol-simbol agama. Karena itu, publik akan yakin tidak mungkin orang suci menjadi koruptor.

h. Pura-puralah sakit dengan mimik disakit-sakitkan supaya publik merasa iba dan mengutuk aparat: ''Sakit kok digelandang''.

Dalam drama sejarah Shakespeare, Henry VI, ada sebuah ungkapan terkenal. Yaitu, ''the first thing we do, let's kill all the lawyers''. Sebuah ungkapan multitafsir, antara lain, kebencian publik karena dengan pura-pura memperjuangkan kebenaran, sebetulnya pengacara membela penjahat demi kepentingan uang.

Tapi, semua orang tahu, pengacara adalah orang-orang lihai, pandai bersilat lidah, mampu meyakinkan siapa pun bahwa yang benar adalah tidak benar dan yang salah sebenarnya bukanlah salah. Karena itu, koruptor harus menyewa pengacara andal dan mengabaikan keinginan publik untuk berteriak: ''Bunuhlah semua pengacara''.

Lazimnya, kode etik itu imperatif. Misalnya, (harus) menjunjung tinggi nama korps, (harus) siap melayani masyarakat setiap saat, dan (harus) melaksanakan profesi dengan baik. Tapi, karena koruptor adalah profesi sampingan dan harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, kode etiknya juga berbeda. Yaitu, bersifat semi-imperatif, semi-imbauan.

Ingat pula, seperti halnya gerombolan bajingan Bill Sykes dalam kisah Oliver Twist, koruptor juga mempunyai komunitas dan masing-masing komunitas mempunyai aturan. Dalam kalangan akademisi, sementara itu, ada yang dinamakan ''gaya selingkung''. Yaitu, bagaimana mengutip seorang sumber, bagaimana menulis judul artikel dalam sebuah jurnal, bagaimana menyapa rekan sejawat, dan sebagainya. Koruptor pun mempunyai ''gaya selingkung''.

Seorang markus (makelar kasus) wanita, misalnya, harus dipanggil ''bu guru'', seorang penyogok harus dipanggil ''bos'', dan lain-lain sesuai komunitas, situasi, serta kondisi masing-masing koruptor.

Kalau semua koruptor bisa melaksanakan kode etik koruptor dengan konsekuen, dijamin mereka akan bebas. Aparat yang akan menangkapnya justru bisa kena pecat atau penurunan pangkat. Makan korban pada hakikatnya identik dengan salah satu butir kode etik koruptor, yaitu ''carilah kambing hitam''. ''Kambing hitam'' bisa juga diterjemahkan menjadi ''korban''. (*)

*). Budi Darma , sastrawan, guru besar Pascasarjana Unesa


Jawa Pos, Selasa, 17 November 2009

0 tanggapan: